SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Minggu, 28 Oktober 2012

Sandiwara Cinta 5






Sandiwara Cinta
Part 5

***

    Tidak seperti biasa, pagi ini Vita begitu malas untuk bergerak. Badannya sedari tadi hanya menggulung-gulung di atas kasur. Ke kanan dan ke kiri bergantian. Diambilnya handphone munggil di atas meja kecil itu. 12 panggilan tak terjawab dan 5 pesan tertera di layar handphone.
    Hendra, Yana, Nitya, Hendra, Hendra, Hendra, Yana, Yana, Yana, Hendra, Hendra, Alvent ♥
    Vita mengrenyitkan keningnya. Alvent? Siapa Alvent? Namanya terlalu asing bagi Vita. Bahkan dia baru tahu jika di phonebook nya ada yang bernama Alvent ditambah dia menyinpan nomor itu dengan simbol hati. Vita meneliti angka-angka yang berjejer itu. Masih penasaran. Nama Alvent betanda hati apa maksudnya?

***
    Vita meneguk jus mangga yang berada dihadapannya dengan lambat-lambat. Dilihatnya Yana dan Nitya yang sedang berada bersamanya. Menunggu jawaban dari kedua sahabatnya itu.
    “Alvent siapa sih?” ulangnya sambil menyenderkan badannya ke kursi Cafe Latansa.
    Yana tampak melirik Nitya. Dia bahkan tak tahu harus bagaimana.
    Jangan bilang tentang Alvent dihadapan Vita.
    Kata-kata Hendra kemarin benar-benar membuat kedua sahabat Vita ini bimbang. Vita sudah kembali pada ingatannya yang dulu dan melupakan segala kejadian setelah kecelakaan maut itu. Melupakan apa yang sudah terjadi pada gadis itu belakangan ini bahkan melupakan Alvent yang begitu mencintainya.
    “Yaudah kalo kalian nggak mau cerita, gue bisa cari tau sendiri.”
    Vita bangkit dari kursinya. Mengambil tas dan berjalan keluar dari tempat itu. Sedangkan Yana dan Nitya hanya bisa berdiam melihat langkah Vita yang cepat-cepat itu.
***
    Alvent membaringkan tubuhynya di rumput taman belakang fakultasnya. Dipandanginya awan siang itu dari celah daun-daun mangga yang menutupinya. Ada sebersit rasa sakit yang masih dirasakan. Secepat itukah dia harus merelakan Vita. Semudah itukah dia dilupakan oleh gadis yang telah merebut hatinya. Alvent tersenyum, senyum yang seperti mengejek dirinya sendiri. Dia seperti pecundang siang itu. Dia laki-laki tapi dia hanya bisa diam ketika cintanya lari ke orang lain. Tak ada kata-kata, tak ada perlawanan yang dia lakukan untuk mempertahankan cinta Vita, mempertahankan cinta pertamanya.
    Alvent menutup mata, dalam gelap itu dia berharap bahwa rasa sakit itu segera pergi. Pergi dan hilang entah kemana.
    Siang itu cuaca begitu teduh. Sinar matahari tak begitu menyengat di kulit. Angin pun bertiup sepo-sepoi. Vita yang duduk santai di taman itu tersenyum memandangi seorang laki-laki yang sedang tidur di bawah pohon mangga. Entah bagaimana bisa dia bisa bertemu dengan laki-laki yang sedang dicarinya. Vita mendekat dan duduk persis di samping laki-laki itu. Laki-laki yang di phonebook nya bernama Alvent dengan simbol hati. Vita mengangkat tangannya, ingin menyentuh hidung Alvent tapi tangan itu berhenti diudara ketika melihat laki-laki dihadapannya ini sudah membuka mata.
    “Sorry.” Vita buru-buru menarik tangannya. Meremas-remasnya gugup.
    Alvent tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Vita. Dia melihat Vita ingin menyentuh hidungnya. Kebiasaan Vita yang entah mengapa membuat Alvent senang. Dia senang jika Vita menyentuh hidungnya. Dengan cepat Alvent bangun dan duduk di samping Vita yang sedang gugup.
    Alvent sengaja tetap diam. Dia tak ingin mengatakan apa-apa kali ini. Baginya mengetahui bahwa Vita ada di sampingnya sudah membuatnya bahagia. Dia sudah bahagia kali ini. Ada sesuatu yang hangat menjalar di hatinya yang membuat rasa sakitnya memudar.
    Vita juga ikut diam. Bahkan dia tak berani melihat Alvent. Dia sangat malu. Tapi jika dia terus menerus diam akan sampai kapan?
    “Yang tadi sorry ya, gue nggak maksud apa-apa kok,” kata Vita dengan cepat. Nadanya tak beraturan.
    Alvent tersenyum, geli jika melihat Vita sedang gugup.
    “Nggak masalah.”
    “Gue boleh tanya sesuatu nggak?”
    Alvent menaikkan salah satu alisnya. “Apa?”
    Vita menggigit bibirnya. Dia ragu untuk sesaat.
    “Elo yang namanya Alvent ya?”
    Alvent tersenyum getir. Dia sudah menduga. Vita belum mengingatnya atau mungkin Vita memang benar-benar tidak ingin mengingatnya.
    “Iya. Gue Alvent. Kenapa emang?” katanya mulai dingin menanggapi Vita.
    Vita tampak bersalah setelah melihat ekspresi Alvent. Ada kekecewaan di mata laki-laki itu.
    “Gue salah tanya ya? Kok mukanya nggak enak gitu sih?”
    Alvent memandangi Vita. Dia begitu menyayangi gadis itu bahkan sampai saat ini. Walaupun Vita melupakannya.
    “Enggak kok. Gue nggak enak badan aja. Ada yang mau ditanyain lagi?”
    Vita menggeleng lemah. Dia sudah tak berani menanyakan apa-apa pada Alvent. Entah mengapa dia takut jika membuat laki-laki itu terluka tapi jika dia tak bertanya dia tak akan tahu ada hubungan apa dia dengan Alvent.
    “Keliatannya nggak ada. Gue pergi dulu kalo gitu.”
    Alvent bangkit, membersihkan celana lalu melangkah meninggalkan Vita yang masih duduk kaku di tempatnya.
    Alvent tetap melangkah sampai ada seorang gadis yang menyamai langkahnya. Dia berhenti ternyata Vita mengikutinya.
    “Kenapa ngikutin gue?” tanyanya heran.
    Vita hanya tersenyum saat Alvent bertanya. Dia harus mengetahuinya sekarang.
    “Gue mau tanya lagi. Ikut gue bentar.”
    Vita mengapit lengan Alvent dan menariknya ke bangku terdekat. Vita mengambil handphonenya dan menunjukannya kepada Alvent. Sedangkan Alvent merasa bingung saat Vita menyodorkan benda mungil itu. Dilihatnya ada namanya di layar handphone Vita.
    “Apaan nih? Elo mau ngasih hape ini ke gue? Sorry gue bisa beli sendiri.” Alvent menyerahkan kembali benda itu ke Vita dan bangkit.
    “Bukan.”
    Vta buru-buru memegang tangan Alvent. Mencegah laki-laki itu pergi lagi.
    “Liat deh,” Vita kembali mempelihatkan hanphonenya kepada Avent. “Ini nomor elo kan?”
    Alvent mengangguk. Benar itu memang itu nomornya.
    “Tapi yang bikin gue bingung, gue ngerasa nggak pernah kenal sama elo dan satu lagi gue ngesave nomornya pake tanda hati gini. Aneh nggak sih?”
    Pertanyaan tadi begitu menusuk Alvent pada titik sensitifnya. Menusuk dan menghantamnya dengan telak.
    “Seinget gue ya, gue nyimpen nomor yang pake hati gini buat nyimpen nomor Hendra soalnya dia pacar gue.”
    Vita masih melanjutkan kata-katanya tanpa melihat Alvent. Tanpa melihat bahwa laki-laki itu sudah ingin marah dan berteriak di hadapan Vita. Frustasi dengan sikap Vita yang dengan mudah menghapusnya dari hidup gadis itu.
    “Sebenernya kita ada hubungan apa sih?”
    Alvent melepas tangan Vita yang masih memegang lengannya dan mengembalikan hanphone gadis itu.
    “Kita temenan.”
    “Nggak mungkin kalo cuma temenan. Gue cuma bakal nyimpen nomor pake tanda hati gini buat orang yang gue sayang.”
    Alvent memalingkan pandangannya dari Vita. Dia tak tahu harus bagaimana.
    “Siniin hapenya.”
    Alvent merebut kembali benda itu lalu menekan-nekan tombolnya dan mengembalikannya kepada Vita.
    “Nomor gue udah gue hapus dari phonebook lo. Anggep aja kita nggak pernah kenal dan anggep kalo kejadiaan ini nggak pernah kejadian. Masalahnya selesekan?”
    Alvent tersenyum lalu meninggalkan Vita. Langkahnya cepat-cepat. Matanya terasa panas. Dia ingin menangis. Dan di tengah keramaian siang itu air mata Alvent mengalir juga. Jatuh satu demi satu walaupun sudah disekanya. Telah ditahannya. Tapi kesedihan itu tak bisa dihindarinya. Ternyata seperti ini rasa sakitnya. Sakit yang benar-benar sakit. Cinta yang diharapkan menumbuhkan bulir-bulir kebahagian ternyata hanya bisa menjatuhkan kepedihan.