SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Senin, 21 November 2011

Ternyata Aku Suka Kamu (Dia atau Aku)

            Ternyata Aku Suka Kamu

            Dia Atau Aku


            -ooo-


            Jika setiap orang bisa setia dengan satu cinta, maka dalam dunia cinta tak akan ada luka yang harus disembuhkan...


            Deru suara mobilnya baru saja menghilang, tenggelam dalam keheningan malam. Alvent baru saja mengantar Vita pulang. Terlalu larut sehingga pintu rumah Vita sudah terkunci rapat.

            Ceklek!

            Dengan pelan Vita memutar kunci miliknya. Satu putaran, dua putaran lalu pintu terbuka. Suasana gelap langsung menyambut Vita dari dalam rumahnya. Dengan langkah pelan Dia memasuki dan menutup pintu kembali. Sedikit berjinjit, Vita melangkah ke kamarnya. Satu, dua, tiga,

            Trek!!

            Tepat di anak tangga ke tiga, lampu ruang tamu menyala. Terang dan menyilaukan. Vita buru-buru membalikan badannya dan melihat seorang cowok berdiri tak jauh dari tempatnya menyilangkan tangan ke dada. Abangnya berdiri di sana. Menatapnya tajam seolah menagih penjelasan.


            “Gue enggak ngapa-ngapain sama Alvent,” ulang Vita kepada Hendra. Sudah berulang kali Vita menjelaskan mengapa Dia pulang selarut ini kepada abangnya itu tapi Hendra tetap tak percaya.

            “Tapi lo liat dong Vit ini jam berapa?” tukas Hendra sembari melihatkan arlojinya kepada sang adik. “Jam setengah dua belas!”

            Vita cemberut dan diam. Dia tak bisa berkata apa-apa lagi karena ini merupakan kesalahannya. “Iya, gue salah,” ucapnya.

            “Terus tadi nggak masuk sekolah kenapa?”

            Telak sekali pertanyaan Hendra. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin pepatah itu sangat mewakili keadaan Vita sekarang.

            “Emm.. tadi gue..”

            “Gue apa?” potong Hendra. “Gue pergi sama Alvent iya?” Hendra murka. Tak pernah Ia pikirkan adik ceweknya ini dengan mudahnyaberbohong.

            “Gue enggak bermaksud kayak gitu, maaf.” Air mata mulai membasahi pipi Vita. Dia menangis juga takut. Jujur saja Vita tak pernah melihat abangnya semarah ini.

            “Masuk kamar!”

            Vita tersentak dan langsung lari memasuki kamarnya. Dibantingnya pintu kamar dan menelungkupkan badannya ke kasur. Menangis sejadi-jadinya. Lama sekali cewek itu menangis sampai lelah dan terlelap.


            “Maafin gue ya Vit, gue nggak bermaksud buat elo sedih. Gue cuma nggak pengen elo kenapa-kenapa. Gue sayang sama elo.”

            Cup

            Hendra menyium kening adiknya sesaat sebelum Ia keluar dari kamar Vita. Menutup pintu dan membiarkan Vita kembali dengan bebas ke mimpinya.


            -ooo-


            Hari menjelang pagi. Kicauan burung mulai bersahutan. Sinar matahari berebut memasuki celah kecil dari jendela kamar Vita. Sedangkan sang empunya masih tergolai lemas di atas tempat tidurnya.

            Kring.... kring....

            Suara itu menyakiti telinga Vita. Memaksa cewek itu terbangun untuk keselamatan pendengarannya. Dengan malas Vita bergegas ke kamar mandi. Membersihkan badannya dan bersiap untuk memulai hari.

            “Ssst dah mata gue bengkak amat,” ucapnya ketika Dia melihat pantulan bayangannya dari kaca. “Nangis berapa jam sih gue?”

            Lama sekali Vita menghabiskan waktunya di kamar mandi. Walaupun tomboy ternyata Vita tak kalah sibuknya dengan cewek-cewek genit yang jika sudah memasuki kamar mandi.

            “Non, buruan, udah ada yang nunggu,” suara bi Inah menembus memasuki kamar mandi. Menggangu kenyamanannya.

            “Iya Bi.”


            Vita menuruni anak tangga dengan tergesa, Dia penasaran dengan orang yang dikatakan bi Inah. Dipikirannya saat ini hanyalah Alvent atau mungkin abangnya? Vita jadi kikuk sendiri melihat abangnya yang sedang sarapan di ruang makan. Ada rasa canggung setelah kejadian tadi malam. Kejadian saat melihat Hendra murka karena kesalahannya.

            “Gue berangkat duluan.” Baru saja Vita duduk, Hendra suda ngeloyor pergi tanpa melihat ke Vita sebentar saja. Air matanya keluar lagi. Vita menangis.

            Andai Bunda di rumah, past abang nggak akan marah lama-lama, batin Vita.

            Hanya meminum susu, Vita langsung berangkat sekolah. Bahkan Dia hampir lupa bahwa ada seseorang yang menunggunya sedari tadi.


            “Hai Vit,” sapa seorang cowok saat Vita menampakan dirinya di hadapan cowok tadi. Vita tercengang dengan orang yang menyapanya di pagi hari ini. “Hai,” balasnya singkat.

            “Ngapain ke sini?”

            “Mau jemput kamu dong.”

            “Buat apa?”

            “Masak mau nganter pacarnya nggak boleh?”


-ooo-


            Alvent menatap refleksi cermin di depannya, sembari sesekali tersenyum, Dia merapikan lagi seragam putih abu-abunya. Setelah puas dengan penampilannya Dia turun ke bawah, menyeruput susu cokelat bikinan Bi Inem, pembantunya dari Dia berumur 3 tahun.


            To: Vita (Bebek China)
            Gue jemput elo sekarang...


            Setelah menekan tombol send di layar handphonenya. Alvent mengambil kunci mobil dan meluncur ke rumah Vita.


-ooo-


            Vita menatap layar handphonenya, ada satu sms dari Alvent. setelah membaca cepat-cepat Dia hapus sms itu.

            “Sms dari siapa?”

            “Ha? Bukan dari siapa-siapa. Biasa sms nggak penting dari operator,” kilah Vita cepat.


-ooo-


            Alvent menatap lurus rumah berlantai dua dengan cat biru itu. Tak pernah disangkanya jika sekarang Dia tahu tempat tinggal gadis yang dicintainya. Dia sangat berharap hari ini adalah hari baik baginya. Hari yang spesial di tanggal
yang spesial ini. Tanggal 11 bulan 11 tahun 2011.

            Alvent turun dari jazz merahnya. Dengan langkah perlahan, Dia memasuki pekarangan rumah Vita. Melihat ada Bi Inah sedang menyiram bunga-bunga peliharaan Vita, maka Alvent menghampirinya dan meminta untuk memanggilkan Vita.

            “Loh aden nggak tau kalo non Vita udah berangkat?” Tanya Bi Inah bingung.

            Kening Alvent berkerut. “Berangkat sama siapa Bi?”

            Lalu Bi Inah memberitahu. Bahwa anak majikannya itu sudah dijemput oleh pacarnya tadi pagi. Jawaban yang membuat Alvent lemas. Ternyata selama ini penantiannya sia-sia. Vita sudah ada yang memiliki.

            “Pacarnya siapa Bi?” Alvent penasaran dengan pacar gadis yang ditaksirnya sejak lama itu.

            “Namanya den Rian, temennya den Hendra.”

            Terjawab sudah penantian Alvent lima tahun ini. Mungkin kejadian kemarin bukan alasan yang kuat bahwa Vita juga menunggunya. Menunggu dengan waktu yang lama hanya untuk satu cinta. Berpindah dari satu hati ke hati yang lain hanya untuk menemukan hati yang pantas untuk didiami. Hati yang memang nyaman untuk di satukan dengan hatinya.


-ooo-


            Rian menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang SMA Persada. Sekolah yang dulu membuat banyak kenangan dalam hidupnya. Bangunan yang mempertemukan Dia dengan gadis di sebelahnya ini. Cintanya dengan Vita memang karena cinta lokasi. Cinta antara kakak kelas dengan adik kelas. Cinta yang bermula dari peristiwa MOS. Pandangan pertama dan berlanjut hingga pandangan-pandangan berikutnya. Pandangan yang tetap sama seprti satu tahun yang lalu saat Dia memandang Vita yang masih mengenakan seragam putih birunya dan dengan kucir lima di kepalanya. Membuat rindu ingin kembali.

            “Aku turun ya.” Suara Vita membuyarkan kenangan yang sedang berputar di otak Rian. Suara yang dirindukannya tiga bulan belakangan ini.

            “Oke, hati-hati. Belajar yang serius.” Rian memandang Vita lembut, tersenyum dan mengusap ujung kepala Vita seperti biasanya. “Love you dear.”

            Rian melihat Vita. Lalu mendengarkan jawaban dari gadis itu seperti layaknya kekasih yang sering mencurahkan kasih sayang melalui kata-kata. Rian tetap bertahan di tempatnya. Mengawasi punggung Vita hingga menghilang bersama siswa-siswi lainnya.

            Rian sangat yakin jika Vita adalah cinta sejatinya, walaupun keadaan sekarang memang susah untuk keduanya. Mereka harus menjalani hubungan jarak jauh karena Rian melanjutkan pendidikan di UGM. Dan ini membutuhkan kepercayaan berlipat dan rasa cinta yang tak akan pergi hanya karena tempat dan waktu.


-ooo-


            Selama jam pelajaran Vita selalu gusar. Dia merasa tidak enak dengan Alvent. Sudah berkali-kali dicobanya untuk sms ataupun telepon tapi satupun tidak dijawab cowok itu. Dan jam istirahatpun dipilihnya untuk menghampiri cowok itu.

            “Vent!!!” Panggil Vita saat melihat Alvent di lapangan basket saat jam istirahat. Tapi Alvent tak bergeming, cowok itu tetap memfokuskan matanya dengan bola berwarna orange itu.

            “Vent! Vent!” Vita mencoba memanggil Alvent lagi, sekarang dengan frekuensi suara yang lebih keras. Tapi tetap saja Alvent tak berpaling. Akhirnya Vita menyerah, Dia lebih memilih menghapirinya daripada teriak-teriak dari lantai dua sekolahnya seperti orang gila.

            “Gue mau ngomong sama elo.” Vita sudah berada di depan Alvent. Dengan paksa Alvent ditarik ke pinggir lapangan. Sekarang mereka berdua sedang dalam keadaan yang tidak bisa dijelaskan. Vita ingin bicara dengan Alvent empat mata.

            “Gue mau minta maaf.” Ucap Vita kemudian. Berbicara tepay di manik mata Alvent, sehingga mengunci pandangan cowok itu dari hal-hal yang lain.

            “Nggak ada yang perlu dimaafin.” Jawab Alvent cuek. Dia masih sakit hati atau mungkin cemburu dengan status Vita sekarang.

            “Mending kita nggak usah deket kali ya. Anggep aja kita bukan temen masa kecil atau sebangsanya. Anngep aja kita ini temen satu angkatan yang nggak saling kenal. Anggep aja kita kenal karena tugas wawancara dari Pak Christ. Anggep aja..”

            “Ssst,” telunjuk Vita menghentikan perkataan Alvent yang dianggapnya ngelantur. “Elo ngomong apa sih?”

            “Gue nggak mau jadi orang ketiga di hubungan kalian. Walaupun gue suka sama elo tapi Gue masih punya harga diri Vit.” Alvent akhirnya mengungkapkan perasaannya. Vita terdiam mendengar ucapan Alvent, ternyata Alvent telah mengetahui semuanya. kenyataan yang terlalu cepat diungkap. Kenyataan yang pahit untuk Vita maupun Alvent.

            “Tapi gue nggak mau jauh dari elo.” Kata-kata Vita terdengar memelas. Matanya berubah menjadi sendu. Memohon agar Alvent tak menjauhinya karena hanya statusnya kini.

            “Gue tetep mau deket sama elo tapi saat elo udah nggak punya ikatan apapun sama orang lain.” Lalu Alvent meninggalkan Vita di pinggir lapangan basket. Dalam langkahnya Dia mendengar isak tangis Vita. Dia ingin kembali di tempat Vita. Memeluk gadis itu, berbicara bahwa Dia tak akan menjauhinya. Mengatakan bahwa Dia tetap mencintainya walaupun sulit. Tapi itu tak bisa dilakukannya. Bahkan Alvent telah menghiraukan kata hatinya itu.



-ooo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar