Ternyata Aku Suka Kamu
Peluk Aku Boleh???
-ooo-
Biarkanlah hening ini terus menyapa. Membiarkan semesta membawa dengan caranya.
“Lupakanlah saja diriku... bila itu bisa membuatmu... kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala...”
Benda mungil itu terus bergetar, menyerukan lirik-lirik lagu untuk tanda panggilan masuk, tapi sayang si empunya tak mau mengangkat, membiarkan rasa cemas menggantung orang di sebrang sana.
“Kok nggak diangkat?” Alvent gusar dengan suara handphone Vita.
“Nggak penting juga,” jawab Vita sambil melirik layar handphone miliknya. “Yana,” katanya lirih.
Lalu hening menyelimuti mereka. Lagi dan lagi mereka tak meyuarakan satu katapun. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Masih saling beradaptasi dengan situasi yang tak seperti dulu, tak sehangat dulu, tak seceria dulu.
-ooo-
“Kurang ajar banget nih orang nggak angkat telepon gue!!!” Yana menggerutu sendiri. Sebal sama sikap Vita yang menghiraukan panggilan via handphonenya. Sepuluh kali Dia menghubungi Vita dan sepuluh kali juga tak dijawab oleh Vita.
“Awas aja kalo entar ketemu, gue gorok!” Masih dengan kesal, Yana balik badan ingin masuk ke kelasnya tapi...
Brakk!!!
Dia menabrak seseorang. Cowok. Tinggi dan ganteng!
“Ck.” Cowok itu berdecak. Kesal juga pagi-pagi udah ditabrak sama cewek yang nggak Dia kenal.
“Maaf, maaf.” Buru-buru Yana meminta maaf. Menyesali kecerobohannya.
Cowok itu sedikit menunduk, melihat Yana yang sedang membungkukan badannya sambil terus-terusan meminta maaf.
“Elo temennya Vita ya?” Tanyanya yang membuat Yana menghentikan aktivitas meminta maafnya.
Yana mendongak dan mengangguk.
“Sekarang Vita masuk?”
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Nggak tau gue, abisnya udah dihubungi nggak diangkat-angkat juga.” Yana malah curhat.
“Pasti dibawa Alvent kabur,” gumamnya lalu pergi dari hadapan Yana tanpa pamit. Hilang begitu saja.
Yana bingung melihat cowok itu. Datang tiba-tiba dan pergi seenaknya. Percakapan yang singkat tapi menimbulkan rasa penasaran di hati Yana. Kenapa cowok itu mencari Vita? Ada hubungan apa? Yana makin pusing.
-ooo-
Mobil itu makin jauh dari pusat kota. Menjauh dari kebisingan Jakarta menuju ke sebuah suasana baru. Suasana yang diinginkan. Suasana yang dapat membangkitkan kenangan.
Diam. Alvent dan Vita tetap bertahan dalam kebisuan. Tak ada yang mau memulainya. Tak ada yang mau mengungkit kenangan terlebih dahulu. Semuanya tetap kukuh dalam pendirian. Saling menunggu sampai ada salah satunya yang tak mampu mengatasi keheningan itu.
Keduanya bertahan. Keheningan yang mereka lalui selama berpuluh-puluh kilometer, berpuluh-puluh suara musisi yang berganti, ocehan penyiar radio yang menghiasi, mereka lalui begitu saja. Tanpa ada kesan. Hanya sebuah keheningan yang luar biasa.
Bahkan mereka tetap diam walaupun tempat yang dituju sudah sampai. Tempat yang sudah tak asing bagi keduanya. Tempat yang tetap sama seperti 5 tahun yang lalu. Pohon mangga yang besar. Dua buah ayunan di batangnya. Tak ada yang berubah bahkan suasananya, tetap indah dan damai.
Alvent duduk di sisi kanan sedangkan Vita di sebelahnya. Beban tubuh keduanya membuat goyangan dari ayunan itu.
“Vit.” Akhirnya belenggu keheningan itu pecah. Alvent tunduk dalam keinginannya. Keinginan untuk membuka masa lalunya. Di sini. Di tempat ini.
Vita menoleh, melihat wajah Alvent. Dia terdiam, tersihir oleh tatapan mata Alvent. Tatapan mata itu makin tajam. Lebih tajam saat terakhir Dia menatapnya 5 tahun yang lalu. Ternyata bagi Vita semuanya telah berubah. Waktu telah merubahnya.
“Apa?” Jawab Vita setelah sadar dari lamunannya tadi.
Alvent tersenyum kepada Vita. Manis sekali.
“Ada banyak hal yang pengen gue ceritain ke elo.” Alvent menerawang ke depan, mengalihkan pandangannya dari Vita. “Tapi gue takut elo nggak mau dengerin.”
Vita tertawa mendengarnya. “Masa gue kayak gitu sih? Gue ini anaknya baik tau,” kata Vita. “Udah ayo mau ngomong apa gue dengerin,” sambungnya lagi.
Alvent menatap Vita lagi. Menceritakan apa yang seharusnya diceritakan. Membagi apa yang seharusnya dibagi. Dan semuanya dengan lancar meluncur dari bibir Alvent. Semuanya tak terkecuali. Semua perasaannya selama ini. Selama Dia menanti Vita kembali di kehidupannya.
Vita diam dan mendengarkan apa yang sedang dicurahkan Alvent kepadanya. Semuanya, tak ada yang dilewatkan. Bukan sekedar mendengar. Bukan sekedar menjadi pendengar. Dia ikut merasakan apa yang sedang diceritakan Alvent. Betapa cowok itu rindu pada dirinya. Mencari sosoknya dalam cewek lain. Mempertahankan perasaanya yang entah apa itu namanya dan mencari pelabuhan hati sementara selama menunggu Vita kembali ke pelukannya. Vita benar-benar mendengarkan tak sedetikpun Dia memotong perkataan Alvent.
“Makasih ya Vit udah mau dengerin gue,” kata Alvent setelah curahan hatinya selesai.
Vita mengangguk dan terseyum. “Sama-sama.”
Keheningan kembali menyapa keduanya. Alvent diam. Vita diam. Keduanya diam. Sepertinya mereka suka dengan suasana ini. Dimana hembusan nafas satu sama lain terdengar. Dimana hanya semesta yang tahu takdir di antara mereka.
Vita tak menatap Alvent sepenuhnya. Terkadang mencuri pandang lewat ekor matanya. Kagum dengan cowok di sebelahnya ini. Cowok yang setia. Setia dengan perasaannya. Perasaan yang dipendam 5 tahun lamanya. Bukan hal mudah untuk tetap setia pada satu perasaan saat dimana tak ada kepastian. Tapi Alvent berbeda, Dia mampu menjaganya. Menjaga perasaannya hanya untuk Vita seorang. Perasaan yang dianggap cinta monyet bagi Vita dulu.
“Tapikan elo punya cewek.” Kata-kata itu terlontar dari mulut Vita begitu saja. Sederhana tapi sangat mengusik. Bahkan Vita tak menyadarinya.
Alvent tersenyum kecut mendengarnya. Ada rasa cemburu yang tersirat dari suara Vita. Tapi apa benar itu cemburu atau hanya perasaan Alvent saja?
“Tau dari mana lo berita kayak gitu? Ternyata elo perhatian juga ya.”
Vita melotot. Nggak percaya ternyata Alvent ini benar-benar narsis. Narsis tingkat dewa. “Gue itu disuruh Pak Christ buat wawancara elo. Jadi, sebelumnya gue udah cari-cari informasi tentang lo dulu.”
“Masa sih? Bilang aja kalo elo emang perhatian,” kata Alvent dengan mengedipkan matanya.
“Tau ah.”
“Yah Vita jangan ngambek dong,” kata Alvent sambil mencolek dagu Vita. Genit banget ternyata.
“Gue emang punya cewek tapi dulu,” sambung Alvent sengaja biar Vita nggak marah lagi.
“Maksudnya?” Benar ternyata Vita langsung tertarik dengan bahan pembicaraan Alvent.
“Kemaren gue habis putus. Jadi sekarang gue jomblo.”
“Jomblo ngenes,” cela Vita.
“Emang gue poconggg,” jawab Alvent tak terima dikatai Vita. “Sekarang gue ah yang marah.”
“Yee marah bilang-bilang. Sok atuh marah aja emang gue peduliin gitu???”
“Curang deh, masa tadi elo marah gue harus baik-baikin lo biar nggak marah. Eh gue lagi marah malah didiemin,” kata Alvent lalu menggembungkan mulutnya. Bener-bener ngambek sama Vita.
Bumm!!
Pipi Alvent dipukul Vita. Gembungannya jadi hilang. Benar-benar jahil Vita. Dia tertawa lepas sekali. Tertawa yang tidak dibuat-buat. Suasana antara mereka sedikit demi sedikit menjadi cair. Skat yang ada saat pertama bertemu kembali mulai luntur. Mereka sudah merasa nyaman satu sama lain. Tak ada lagi rasa canggung itu. Semuanya lenyap seiring waktu yang berjalan.
Alvent mengejar Vita yang lari dari hadapannya. Ingin membalas kejahilan Vita. Mereka jadi seperti anak kecil. Seperti 5 tahun yang lalu. Saling mengejar dengan mengitari pohon mangga. Pohon yang mereka putari dulu.
Dan hap!
Alvent berhasil menangkap Vita dari belakang.
“Hayo lho mau kemana,” bisiknya di telinga Vita. Sekarang mereka benar-benar dekat.
“Ah gue nyerah deh Vent. Lepasain gue ya.”
Tapi pelukan Alvent dari belakang tubuh Vita makin erat. “Boloh gue minta permintaan ke elo Vit?”
“Apaan?”
“Boleh gue peluk elo?”
Vita mengangguk dan membalikan badannya. Memeluk Alvent seperti apa yang cowok ini inginkan. Memeluknya dengan erat. Seperti tak ingin melepaskan sahabat kecilnya kembali.
Alvent juga memeluk Vita seperti apa yang Dia inginkan. Menelungkupkan kepalanya di bahu cewek yang Dia sayangi ini. Nyaman sekali. Pelukan yang memang Dia inginkan dari dulu. Pelukan yang sudah kembali. Dia berterimakasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan mereka kembali. Mempertemukan dengan Vita, sahabat kecilnya. Sahabat yang mungkin sekarang ada rasa yang berbeda. Dia ingin lebih dari sekedar sahabat.
“Boleh gue minta satu permintaan lagi?” tanya Alvent sambil mengurai pelukannya.
“Apa lagi?”
“Boleh gue cium elo???”
“.....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar