SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Minggu, 23 Desember 2012

Pengorbanan Untuk Cinta



Pengorbanan Untuk Cinta

            Sinar bulan berpendar dengan terang malam ini. Menyinari langit malam yang tampak gelap dan dingin. Suara jangkrik dan sesekali suara tokek berselingan dari kamar Vita. Menemani gadis itu yang sendirian. Mata gadis itu sangat sendu. Pandangannya entah kemana. Malam yang kelam.
            Vita menghela nafas panjang. Gadis itu menatap perutnya. Perutnya masih sama tapi tak akan pernah sama lagi karena di dalam sana ada sebuah kehidupan yang akan direnggutnya. Kehidupan yang tak bisa dipertanggung jawabkannya.
            Air mata itu menetes lagi. Vita terisak lagi, berat dan sesak. Luka yang ditanggungnya semakin lama semakin sakit. Rasa yang dipikirnya akan hilang secara cepat ternyata semakin menusuk dan sakit.
            Vita meraung lagi, berteriak, menjerit entah untuk apa. Masih sakit, sangat sakit. Dia hampir membunuh anaknya sendiri. Hampir menggugurkannya dalam usia dua minggu malam ini tanpa perasaan bersalah.
            “Terserah kamu. Aku nggak akan tanggung jawab sama janin yang kamu kandung. Buang apa kita pisah?”
            Vita menyeka air matanya. Kalimat laki-laki itu masing terngiang di otaknya. Kekasihnya. Laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Laki-laki yang sangat Vita cintai. Tapi setelah semua ini terjadi masih pantaskah Vita mencintai kekasihnya itu?
            “Udah siap?” tanya seseorang yang memasuki kamar Vita dengan menutupi sebagian wajahnya dengan masker dan membalut kedua tangannya dengan sarung tangan latex.
            Vita mengangguk kepada dukun kandungan itu. Orang yang akan membantunya untuk membuang janin di perutnya. Vita terus meremas tepi tempat tidurnya. Meneteskan kembali air matanya sepanjang malam itu.
-ooo-
            Alvent menyusuri koridor kampusnya dengan santai. Earphone menutup telinga kanan dan kirinya. Lagu-lagu berirama kencang keluar dari benda itu. Sedikit menutupi apa yang sedang dipikirkannya sekarang.
            “Vent! Vent!”
            Seorang gadis memanggilnya dari belakang. Sedikit mempercepat langkah kakinya karena Alvent tak menengok juga.
            “Vent!”
            Alvent berhenti setelah punggungnya ditepuk oleh seseorang. Dilihatnya orang itu yang ternyata Nitya, teman sekelasnya.
            “Apaan?” tanyanya dengan mencopot earphone yang masih terpasang di telinganya.
            “Ikut gue.”
            Nitya langsung menyeret Alvent tanpa meminta ijin. Dibawanya Alvent ke tempat yang sepi sehingga dia bisa berbicara berdua dengan sahabatnya yang baru saja melakukan hal gila. Sangat gila.
            “Elo apain Vita?” Nitya langsung menodong Alvent setelah mereka berada di taman belakang Fakultas Ekonomi.
            Alvent mendecak pelan. Ditatapnya Nitya tajam dengan menaikan satu alisnya.
            Nitya yang ditatap Alvent seperti seolah tau jika sahabatnya itu tak ingin hal pribadinya dicampuri oleh orang lain.
            “Tapi Vita juga sahabat gue. Dia udah tiga hari nggak masuk kuliah. Bahkan gue, Yana, Greys, Pia nggak ada yang tau kemana dia. Dan kita yakin elo tau dimana Vita.”
            “Kalo gue tau emang kenapa?”
            “Susah ya ngomong sama orang sedeng kayak elo.”
            Nitya frustasi dengan cowok yang ada di hadapannya ini. Dia mengatur nafasnya agar emosinya tak meledak.
            Plak!
            Sebuah tamparan akhirnya jatuh di pipi Alvent. Ekspresi rasa kecewa Nitya. Pelampiasaan amarah untuk Vita.
            “Elo udah ngerusak masa depan Vita tau nggak. Elo udah ngehamiliin Vita dan sekarang sahabat yang gue sayang itu ngilang tiba-tiba. Siapa yang mesti tanggung jawab? Elo kan? Makannya kasih tau dimana Vita!”
            Alvent mengepalkan tanggannya. Dia tak terima jika dituduh sudah merusak masa depan Vita. Mereka melakukan hal itu berdua, atas dasar cinta. Dan sekarang yang disalahkan oleh gadis di depannya ini hanya dia?
            “Kalo ngomong jangan seenak jidat ya Nit.”
            “Gue mau tanya. Elo udah apain Vita sampe dia ngilang?” Nitya tak menggubris protes dari Alvent. Dia sangat khawatir dengan Vita. “Elo ngehamiliin dia, iya kan?”
            “Gue nggak ngapa-ngapain.”
            Nitya mengibaskan tangannya. Tak percaya dengan ucapan Alvent.
            “Elo denger ya Vent,” ditunjuknya Alvent dengan telunjuknya. “Dari pertama Vita suka sama elo, gue sama yang lain udah nasehatin dia kalo elo bukan cowok yang bisa diajak serius. Elo bisanya cuma maen-maen. Tapi apa? Vita nggak ngedengerin. Dia selalu ngebelain elo meski elo udah buat dia nangis semaleman. Dia tetep sayang sama elo walopun elo cuek sama dia. Sekarang? Mungkin dia bakal tetep cinta sama cowok bajingan kayak elo yang udah ngehamiliin dia tanpa tanggung jawab.”
            Nitya segera berlalu dari hadapan Alvent. Cukup untuk sekarang. Dia dan teman-temannya akan melakukan sesuatu untuk Vita. Akan melindungi salah satu sahabat mereka. Akan mendekapnya agar tak rapuh. Membantunya agar tak terlihat lemah di depan cowok brengsek seperti Alvent.
***
            Dari balik tralis besi kamar, Vita terus menatap bunga yang bermekaran di halaman depan rumah. Berwarna-warni, bermekaran dengan indah. Seketika senyum di wajahnya mengembang.
            “Non Vita ada temennya di depan,” ujar seseorang yang berada di ambang pintu kamarnya.
            Vita berbalik, menatap wanita paruh baya itu dengan bingung. Temannya? Siapa?
            “Siapa bi? Cewek apa cowok?”
            “Cowok.”
            Vita mendesah. Dia mengangguk lalu keluar dari kamar untuk menemui temannya itu. Dia berjalan menuju teras dengan malas. Sesampainya di sana dia melihat seseorang yang sedang duduk sembari memainkan handphone. Seseorang yang sangat dihafal oleh Vita. Objek yang sangat teramat jelas dalam ingatannya.
“Hei Vent,” sapa Vita kepada orang itu. Kekasihnya.
Alvent tersenyum. Memasukkan handphone nya lalu berdiri, mendekat kepada gadisnya itu.
“Gimana keadaan kamu? Masih sakit?” tanyanya sembari mengelus perut Vita. Perut yang beberapa jam yang lalu berisi janinnya.
Vita tersenyum simpul sembari mengangguk. Hatinya terasa sakit. Begitu bahagiakah Alvent dengan ini semua? Senangkah dia setelah pengorbanannya?
“Nah gitu dong, sekarang kan jadi enak, kita jadi nggak ada beban,” kata Alvent ringan sembari tersenyum lalu mendekap gadisnya itu dengan menghujani puncak kepala Vita dengan ciuman.
Dalam dekapan itu Vita menghapus air matanya yang entah mengapa turun begitu saja. Mencoba merasakan kehangatan dari dekapan Alvent yang tiba-tiba terasa kaku dan dingin. Mencoba mengikhlaskan semua yang telah dan akan terjadi. Memilih antara yang harus dipilih. Melepaskan sesuatu untuk mendekap yang lain.
            “Sekarang kita balik ke Jakarta ya?” kata Alvent setelah mengurai pelukannya itu.
            Vita setuju. Sore itu Vita dan Alvent meninggalkan Bandung. Meninggalkan segala kepiluan yang terjadi di kota kembang itu. Kembali menuju Jakarta. Menuju kenyataan yang benar-benar akan dihadapi Vita. Menghadapi semuanya sendirian. Karena ini yang dipilih Vita. Jika Alvent melepas tanggung jawab itu maka dirinyalah yang akan menanggung semua itu.
            Karna cinta tak harus menurut, perlu ketegasan di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar