Pengorbanan
Untuk Cinta
Sinar bulan berpendar dengan terang malam ini. Menyinari langit
malam yang tampak gelap dan dingin. Suara jangkrik dan sesekali suara tokek
berselingan dari kamar Vita. Menemani gadis itu yang sendirian. Mata gadis itu
sangat sendu. Pandangannya entah kemana. Malam yang kelam.
Vita menghela nafas panjang. Gadis itu menatap perutnya.
Perutnya masih sama tapi tak akan pernah sama lagi karena di dalam sana ada
sebuah kehidupan yang akan direnggutnya. Kehidupan yang tak bisa dipertanggung
jawabkannya.
Air mata itu menetes lagi. Vita terisak lagi, berat dan sesak.
Luka yang ditanggungnya semakin lama semakin sakit. Rasa yang dipikirnya akan
hilang secara cepat ternyata semakin menusuk dan sakit.
Vita meraung lagi, berteriak, menjerit entah untuk apa.
Masih sakit, sangat sakit. Dia hampir membunuh anaknya sendiri. Hampir menggugurkannya
dalam usia dua minggu malam ini tanpa perasaan bersalah.
“Terserah kamu. Aku
nggak akan tanggung jawab sama janin yang kamu kandung. Buang apa kita pisah?”
Vita menyeka air
matanya. Kalimat laki-laki itu masing terngiang di otaknya. Kekasihnya.
Laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Laki-laki yang sangat Vita cintai. Tapi
setelah semua ini terjadi masih pantaskah Vita mencintai kekasihnya itu?
“Udah siap?” tanya seseorang yang memasuki kamar Vita
dengan menutupi sebagian wajahnya dengan masker dan membalut kedua tangannya
dengan sarung tangan latex.
Vita mengangguk kepada dukun kandungan itu. Orang yang
akan membantunya untuk membuang janin di perutnya. Vita terus meremas tepi
tempat tidurnya. Meneteskan kembali air matanya sepanjang malam itu.
-ooo-
Alvent menyusuri koridor kampusnya dengan santai. Earphone menutup telinga kanan dan
kirinya. Lagu-lagu berirama kencang keluar dari benda itu. Sedikit menutupi apa
yang sedang dipikirkannya sekarang.
“Vent! Vent!”
Seorang gadis memanggilnya dari belakang. Sedikit
mempercepat langkah kakinya karena Alvent tak menengok juga.
“Vent!”
Alvent berhenti setelah punggungnya ditepuk oleh
seseorang. Dilihatnya orang itu yang ternyata Nitya, teman sekelasnya.
“Apaan?” tanyanya dengan mencopot earphone yang masih terpasang di telinganya.
“Ikut gue.”
Nitya langsung menyeret Alvent tanpa meminta ijin. Dibawanya
Alvent ke tempat yang sepi sehingga dia bisa berbicara berdua dengan sahabatnya
yang baru saja melakukan hal gila. Sangat gila.
“Elo apain Vita?” Nitya langsung menodong Alvent setelah
mereka berada di taman belakang Fakultas Ekonomi.
Alvent mendecak pelan. Ditatapnya Nitya tajam dengan
menaikan satu alisnya.
Nitya yang ditatap Alvent seperti seolah tau jika
sahabatnya itu tak ingin hal pribadinya dicampuri oleh orang lain.
“Tapi Vita juga sahabat gue. Dia udah tiga hari nggak
masuk kuliah. Bahkan gue, Yana, Greys, Pia nggak ada yang tau kemana dia. Dan
kita yakin elo tau dimana Vita.”
“Kalo gue tau emang kenapa?”
“Susah ya ngomong sama orang sedeng kayak elo.”
Nitya frustasi dengan cowok yang ada di hadapannya ini.
Dia mengatur nafasnya agar emosinya tak meledak.
Plak!
Sebuah tamparan akhirnya jatuh di pipi Alvent. Ekspresi rasa
kecewa Nitya. Pelampiasaan amarah untuk Vita.
“Elo udah ngerusak masa depan Vita tau nggak. Elo udah
ngehamiliin Vita dan sekarang sahabat yang gue sayang itu ngilang tiba-tiba.
Siapa yang mesti tanggung jawab? Elo kan? Makannya kasih tau dimana Vita!”
Alvent mengepalkan tanggannya. Dia tak terima jika dituduh
sudah merusak masa depan Vita. Mereka melakukan hal itu berdua, atas dasar
cinta. Dan sekarang yang disalahkan oleh gadis di depannya ini hanya dia?
“Kalo ngomong jangan seenak jidat ya Nit.”
“Gue mau tanya. Elo udah apain Vita sampe dia ngilang?”
Nitya tak menggubris protes dari Alvent. Dia sangat khawatir dengan Vita. “Elo
ngehamiliin dia, iya kan?”
“Gue nggak ngapa-ngapain.”
Nitya mengibaskan tangannya. Tak percaya dengan ucapan
Alvent.
“Elo denger ya Vent,” ditunjuknya Alvent dengan telunjuknya.
“Dari pertama Vita suka sama elo, gue sama yang lain udah nasehatin dia kalo
elo bukan cowok yang bisa diajak serius. Elo bisanya cuma maen-maen. Tapi apa?
Vita nggak ngedengerin. Dia selalu ngebelain elo meski elo udah buat dia nangis
semaleman. Dia tetep sayang sama elo walopun elo cuek sama dia. Sekarang?
Mungkin dia bakal tetep cinta sama cowok bajingan kayak elo yang udah
ngehamiliin dia tanpa tanggung jawab.”
Nitya segera berlalu dari hadapan Alvent. Cukup untuk
sekarang. Dia dan teman-temannya akan melakukan sesuatu untuk Vita. Akan melindungi
salah satu sahabat mereka. Akan mendekapnya agar tak rapuh. Membantunya agar
tak terlihat lemah di depan cowok brengsek seperti Alvent.
***
Dari balik tralis besi kamar, Vita terus menatap bunga
yang bermekaran di halaman depan rumah. Berwarna-warni, bermekaran dengan indah.
Seketika senyum di wajahnya mengembang.
“Non Vita ada temennya di depan,” ujar seseorang yang
berada di ambang pintu kamarnya.
Vita berbalik, menatap wanita paruh baya itu dengan
bingung. Temannya? Siapa?
“Siapa bi? Cewek apa cowok?”
“Cowok.”
Vita mendesah. Dia mengangguk lalu keluar dari kamar
untuk menemui temannya itu. Dia berjalan menuju teras dengan malas. Sesampainya
di sana dia melihat seseorang yang sedang duduk sembari memainkan handphone. Seseorang yang sangat dihafal
oleh Vita. Objek yang sangat teramat jelas dalam ingatannya.
“Hei
Vent,” sapa Vita kepada orang itu. Kekasihnya.
Alvent
tersenyum. Memasukkan handphone nya
lalu berdiri, mendekat kepada gadisnya itu.
“Gimana
keadaan kamu? Masih sakit?” tanyanya sembari mengelus perut Vita. Perut yang
beberapa jam yang lalu berisi janinnya.
Vita
tersenyum simpul sembari mengangguk. Hatinya terasa sakit. Begitu bahagiakah
Alvent dengan ini semua? Senangkah dia setelah pengorbanannya?
“Nah
gitu dong, sekarang kan jadi enak, kita jadi nggak ada beban,” kata Alvent ringan
sembari tersenyum lalu mendekap gadisnya itu dengan menghujani puncak kepala
Vita dengan ciuman.
Dalam
dekapan itu Vita menghapus air matanya yang entah mengapa turun begitu saja. Mencoba
merasakan kehangatan dari dekapan Alvent yang tiba-tiba terasa kaku dan dingin.
Mencoba mengikhlaskan semua yang telah dan akan terjadi. Memilih antara yang
harus dipilih. Melepaskan sesuatu untuk mendekap yang lain.
“Sekarang kita balik ke Jakarta ya?” kata Alvent setelah
mengurai pelukannya itu.
Vita setuju. Sore itu Vita dan Alvent meninggalkan
Bandung. Meninggalkan segala kepiluan yang terjadi di kota kembang itu. Kembali
menuju Jakarta. Menuju kenyataan yang benar-benar akan dihadapi Vita. Menghadapi
semuanya sendirian. Karena ini yang dipilih Vita. Jika Alvent melepas tanggung
jawab itu maka dirinyalah yang akan menanggung semua itu.
Karna cinta tak
harus menurut, perlu ketegasan di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar