SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Minggu, 18 Desember 2011

Between Our Heart #4

Between Our Hearts
4

-ooo-

            Suasana semakin berubah. Rumah yang dulu hangat sekarang menjadi asing bagi Vita. Meja makan yang dulu hanya diduduki oleh dua orang sekarang bertambah tiga menjadi lima orang. Rumah yang dulu hanya terisi oleh suara canda Vita dan eyang sekarang menjadi riuh oleh perdebatan, entah Vita dengan orang tuanya, Vita dengan eyang ataupun Vita dengan Lili. Gadis putih itu belum bisa menerima kenyataan ini.

            “Vita, kalo Lili ngomong jangan dicuekin,” tegur Eyang. Memang sedaritadi Lili mengajak ngobrol Vita tapi tak pernah ditanggapi dan itu membuat sang nenek geram.

            Vita mengalihkan pandangannya dari televisi kepada sang nenek. “Ngapain ngomong kalo itu nggak penting.” Lalu pandangannya menghujam ke Lili. “Nggak usah ngomong sama gue kalo cuma mau nanya-nanya Hendra.”

            “Kan elo sahabatnya dia Vit. Kalo bukan sama lo gue tanya siapa?”

            “Tanya sama tembok!!” jawabnya ketus.

            Eyang yang melihat cucunya semakin brangasan menjadi emosi. “Kamu kalo ngomong yang sopan! Percuma eyang ajarin kamu etika kalo sama sodara aja nggak sopan!!” Bentak sang nenek kepada Vita.

            Lili juga ikut tersentak mendengar Vita berbicara seperti itu. Dipandanginya Vita sampai gadis itu menghilang dibalik kamarnya. “Keliatannya Lili salah terus dimata Vita,” keluhnya.

            Eyang tahu persis perasaan cucunya satu ini. Tak pernah dianggap oleh Vita dan selalu disalahkan oleh kembarannya karena merebut perhatian orang tua mereka, tapi eyang juga tahu perasaan Vita yang terlanjur sakit, bertahun-tahun ditinggal keluarganya dan tiba-tiba keluarga yang diinginkannya muncul dengan seorang yang mirip dengan dirinya, bersama Lili saudara kembar yang tak pernah Vita tahu.

            Sambil mengelus puncak kepala Lili sang eyang menenangkan cucunya itu. “Kamu jangan ngomong gitu, mungkin sekarang Vita belum bisa terima kenyataan ini.”

            Lili melihat eyangnya yang tersenyum kepada dirinya dan refleks dia juga ikut tersenyum. “Tapi kapan Vita bisa nerima Lili? Di sekolah, di rumah, Lili nggak pernah dianggep sama dia,” ujarnya pelan. Tiba-tiba Lili merasakan matanya panas.

            “Setiap Lili ajak ngobrol, dia selalu diem. Kalo Lili mau ikut Vita main bareng Alvent juga Hendra nggak pernah dibolehin. Lili ikut mainpun itu gara-gara diajak Hendra tapi,” kata-kata Lili terhenti, air mata sudah membasahi pipinya, telapak kanan tangannya langsung menghapus air itu. “Tapi Vita selalu nyuekin Lili. Kata Vita, Lili ini cuma orang yang nyusahin dia dan dia bilang dia nggak pengen punya sodara kayak Lili,” sambungnya lagi dengan tangisan yang lebih kencang. Eyang yang melihat itu langsung mendekap tubuh Lili erat. Badannya juga ikut berguncang mengikuti irama dari tubuh Lili yang menangis terisak.

            “Lili yang sabar ya, pasti nanti Vita nerima Lili,” ucap Eyang.

            “Lili sayang sama Vita yang. Lili takut kalo pisah lagi sama dia, Lili takut kalo Lili nanti nggak bisa liat dia lagi, Lili takut kalo Lili nanti nggak     ”

            “Ssst,” Eyang mengurai pelukannya dan memandang mata Lili tajam. “Kalo kamu berusaha buat deketin Vita pasti nanti hatinya akan luluh dan Vita juga akan sayang sama kamu. Eyang bisa bilang gini karena eyang tahu Vita, ngerti?”

            Lili mengangguk dan lagi-lagi Lili menghapus air mata yang terlanjur membasahi mata dan pipinya. Mendengar ucapan eyangnya Lili menjadi sedikit tenang. Mungkin sekarang dia harus lebih bersabar agar bisa diterima oleh Vita.

            Masih dalam satu frame cerita yang sama. Dengan tokoh hidup yang sama. Satu rumah tetapi berbeda tempat, berbeda suasana dengan satu permasalahan yang sama. Vita yang baru saja membentak saudara kembarnya langung pergi dari ruang keluarga itu. Masuk ke kamarnya dengan diiringi bantingan pintu cokelat kamarnya yang membuat ukiran namanya yang tergantung di pintu itu berayun ke kiri dan kanan.

            Bipp....

            Baru saja cewek itu menelungkupkan tubuhnya di kasur, handphonenya sudah bergetar. Ada satu pesan dari Hendra.

            “Gue ke rumah elo bareng Alvent sekarang,” Vita mengeja isi pesan tersebut. “Ngapain mereka ke sini, nggak tau orang lagi kesel aja,” gerutunya. Dilihatnya jam dinding kamarnya yang menunjukan pukul empat sore.

-ooo-

            Sambil mengayuh sepeda masing-masing Hendra dan Alvent menyusuri jalanan menuju rumah Vita yang diapit oleh bukit-bukit itu dengan santai. Sengaja mereka ke rumah Vita sore ini karena mereka ingin mengajak cewek itu untuk melihat matahari tenggelam. Kegiatan yang sering mereka lakukan dulu tapi sekarang hampir tak pernah lagi.

            “Kangen gue ngeliat matahari tenggelem lagi,” kata Alvent yang tetap mengayuh sepedanya.

            “Gue juga,” jawab Hendra tanpa mengalihkan pandangannya ke depan, melihat pohon-pohon yang menjulang dikejauhan.

            Lalu mereka kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bayangan saat mereka masih kecil, bermain sepeda atau hujan-hujanan tiba-tiba berkelebat di otak mereka dan tanpa mereka sadari bibir mereka tersungging seulas senyuman. Senyuman yang menemani mereka dalam perjalanan sampai ke rumah Vita.

            “Vita disms aja apa kita yang masuk?” tanya Alvent setelah mereka sampai di depan gerbang rumah Vita.

            “Masuklah! Nggak sopan tau mau bawa pergi anak orang nggak ijin dulu,” jawab Hendra. “Ketok pintunya Vent!” tanpa turun dari sepedanya, Hendra menyuruh Alvent masuk ke rumah Vita.

            “Elo juga ikut! Turun!” Alvent langsung menarik kaos Hendra dan memaksanya turun dari sepedanya.

            Ting tong, suara bel dibunyikan mereka satu kali.

            Ting tong, dua kali.

            “Lama amat keluarnya,” gerutu Alvent.

            Ting tong, tiga kali.

            Ceklek!

            Akhirnya pintu berwarna putih dihadapan Hendra dan Alvent terbuka. Seorang perempuan berkulit putih bersih dengan kaos merah dan celana kain panjang menyambut mereka.

            Hendra dan Alvent terdiam ditempatnya, meneliti perempuan di depannya ini. Jujur saja orang itu sangat asing bagi keduanya. Baik Hendra ataupun Alvent belum pernah melihat perempuan itu.

            “Cari siapa dek?” tanya perempuan dihadapan Alvent dan Hendra.

            Hendra dan Alvent langsung salah tingkah. Sebenarnya mereka sudah punya jawabannya yaitu ingin mencari Vita tapi tiba-tiba tak ada yang menjawab, mereka takut kalau-kalau mereka salah rumah.

            “Kami cari Vita tante, eh bu, eh teteh,” jawab Alvent yang tak karuan.

            Perempuan tadi tersenyum geli melihat tingak dua orang pemuda dihadapannya. “Panggil tante aja. Kalian temen sekolahnya Vita?”

            Alvent dan Hendra mengangguk. Mereka semakin penasaran dengan identitas perempuan itu.

            “Saya mamanya Vita,” ujar perempuan dihadapan Alvent dan Hendra yang ternyata mama dari Vita. Mama dari sahabatnya. Tidak bisa dipercaya untuk Alvent dan Hendra bisa betemu dengan mamanya Vita secepat ini setelah seminggu yang lalu bertemu dengan kembarannya. Sunggu keajaiban!

            “Ya udah tante panggilin Vita dulu ya,” ucapnya lagi yang melihat bahwa teman dari anaknya ini tak akan bicara.

            Alvent memandang punggung mama sahabatnya itu menghilang dari pandangannya lalu buru-buru melihat Hendra yang juga masih takjub dengan semua itu.

            “Itu beneran nyokapnya Vita?” tanya Alvent memastikan.

            Hendra memandang Alvent dan mengangkat bahunya. “Iya mungkin.”

            Suasana menjadi hening. Alvent geleng-geleng kepala sendiri sedangkan Hendra melihat-lihat foto-foto di ruang tamu rumah Vita.

            “Vit,” tiba-tiba Alvent memanggil Vita yang membuat Hendra kaget.

            “Gue bukan Vita Vent, gue Lili,” jawab orang yang dipanggil Alvent tadi.

            “Sorry Li, abisnya mirip sih.” Alvent merasa bersalah, untuk kesekian kalinya dia salah manggil Lili jadi Vita, kalo manggil Vita sih nggak pernah salah jadi Lili. Baginya dan Hendra mending salah manggil Lili jadi Vita daripada Vita jadi Lili bisa kacau entar urusannya. Melihat itu Hendra yang duduk disebelahnya menjadi tertawa.

            “Namanya juga kembar pasti miriplah,” protes Lili yang membuat Hendra tertawa semakin keras.

            “Rasain lo Venta,” cela Hendra yang makin puas melihat muka sahabatnya yang innocent itu.

            “Maaf deh kalo gitu,” ujar Alvent.

            “Iya, gue juga bercanda ini. Oh iya, kalian mau ngapain ke sini?”

            “Mau pergi sama Vita,” jawab Alvent. “Elo mau ikut?” tawarnya kemudian.

            “Gue?” Lili menunjuk dirinya sendiri dan Alvent mengangguk. “Enggak deh, entar ganggu.”

            Hendra mengerenyitkan keningnya, bingung sama maksudnya Lili. “Ganggu gimana? Elokan juga temen kita, kembarannya Vita pula,” ucap Hendra diplomatis. “Udah ikut aja biar rame, ya nggak Vent?”

            “Bener tu kata Hendra, ikut aja deh,” bujuk Alvent lagi.

            Lili sudah membuka mulutnya untuk menjawab bujukan Alvent dan Hendra tapi tiba-tiba Vita muncul ditengah-tengah mereka dan membuat Lili langsung tidak bersuara. Vita sedang menghujamkan pandangannya ke dirinya.

            “Yuk berangkat!” ucap Vita sedikit membentak.

            Hendra dan Alvent langsung berdiri dari sofa merah yang berada di ruang tamu itu. “Jadi ikut nggak Li?” tawar Hendra lagi.

            “Nggak usah!” protes Vita tiba-tiba.

            “Guekan tanya ke Lili bukan ke elo Vit,” ucap Hendra yang mecoba sabar menghadapi sahabat ceweknya yang sedang labil akhir-akhir ini.

            “Tapi gue enggak mau pergi kalo Lili ikut. Elo tinggal pilih, kalo elo ajak gue, Lili nggak ikut,” Vita memandang Hendra taajam. “Tapi kalo lo ajak Lili,” sekarang giliran Lili yang ditatap Vita, “Gue yang nggak ikut,” sambungnya.

            Lili tercekat mendengarnya, tatapan Vita belum lepas dari matanya, seolah-olah sedang mengunci pergerakannya. Hendra yang mendengarnya juga ikut diam. Tak perbah disangkanya, Vita sahabatnya yang supel bisa jadi bringasan seperti ini.

            “Emang apa salahnya pergi sama Lili?” tanya Hendra yang masih kekeh mengajak Lili.

            Vita melepaskan tatapannya dari Lili dan sekarang ditatapnya Hendra. “Gue nggak suka sama dia!”

            Alvent yang melihat kondisi ruangan itu semakin pansa mencoba mendinginkan dengan mencarikan solusi yang lebih baik. “Pergi sama Vita ajalah Ndra, tadi Lili juga udah nolak kitakan?”

            Hendra menggeleng, ditatapnya Vita semakin tajam. “Gue males pergi sama cewek yang emosian kayak dia Vent. Mending gue pergi sama Lili, walopun mukanya sama tapi hatinya beda.”

            Alvent melongo mendengar jawaban Hendra. Tegas dan tanpa dibuat-buat.

            “Elo maukan pergi sama gue Li?” tatapan Hendra berubah menjadi lembut saat bertemu dengan mata sayu milik Lili.

            Lili masih diam. Wajahnya jadi pucat. “Yuk Li,” tiba-tiba Hendra menarik tangan Lili tanpa menunggu jawaban dari mulutnya. Mereka berdua keluar melewati Alvent dan Vita yang menatap mereka.

            Vita tak bisa bicara lagi. Hendra lebih memilih Lili daripada dirinya. Memilih orang yang belum lama dikenalnya daripada dia yang telah berbelas-belas tahun bersahabat.

            “Elo nggak papa Vit?” tanya Alvent yang khawatir dengan keadaan cewek itu. Vita menggeleng pelan.

            “Mending pergi sama gue yuk?” tawar Alvent dan lagi-lagi Vita menggeleng.

            “Gue mau tidur aja Vent. Nggak papakan?”

            Alvent mengangguk mengerti, mungkin bukan sekarang, pikirnya.

            “Ya udah, istirahat aja gih, muka lo pucet banget.”

            “Makasih,” ucap Vita lalu menghilang dari hadapan Alvent.

            Dengan tersenyum Alvent meninggalkan rumah Vita. Mengayuh sepedanya yang tiba-tiba jadi berat. Dia tahu Vita suka dengan Hendra. Dia tahu Vita cemburu dengan Lili. Dia tahu jika dia tak lebih dari seorang sahabat bagi Vita.

            Kapan elo liat gue Vit?, batinnya berbicara pelan.

-ooo-

Between Our Heart #3

Between Our Hearts
3

-ooo-

            Semua yang hidup pasti berubah. Waktu membuat semuanya tak akan sama seperti dulu. Hidup Vita tak sama lagi seperti dulu saat sebuah rahasia terbesar dalam hidupnya terungkap. Orang tua yang ditunggunya berbelas-belas tahun akhirnya ditemuinya. Saudara yang tak pernah disangkanya juga ikut muncul didalam hidupnya kini. Tapi semua orang yang ditunggunya muncul secara tiba-tiba. Langsung dan mengagetkan. Tanpa pernah memberikan ruang untuk Vita menyiapkan hatinya.

            Eyang mengetuk pintu warna cokelat itu. Dipegangnya erat gagang pintu yang terkunci. “Vita, buka sayang.” Tapi tidak ada suara dari dalam. Hanya hening yang menyapa.

            “Vita, buka pintunya.” Sekarang giliran Lili yang merajuk kembarannya untuk keluar dari kamarnya. “Buka apa gue dobrak nih?!”

            Eyang putri, mama dan papa semuanya terkesima mendengar perkataan Lili.

            Lili refleks tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya seraya mengangkat tangan dan membentuk jarinya seperti huruf V, “He he enggak, Lili cuma bercanda.”

            Lalu satu persatu membujuk Vita. Semuanya berusaha sebisa mungkin. Sampai hari larut tetap saja pintu berwarna cokelat itu tak bergerak membuka diri. Menutup rapat dan menyembunyika sosok didalamnya. Tak membiarkan seorangpun bisa melihatnya.

            Aku menginginkan mereka, tapi bukan sekarang...

-ooo-

            Senyum yang dulu menghiasi wajah Vita seketika hilang entah kemana. Bibir yang dulunya sering berkicau seketika diam tanpa kata. Melihat perubahan sahabatnya itu, Hendra dan Alvent menjadi bingung sendiri. mereka sudah memancing Vita untuk bicara tapi semuanya gagal. Vita merespon hanya dengan mengangguk dan menggelengkan kepala.

            “Ayolah Vit jangan ngangguk sama geleng aja! Emang kita mau dugem apa?!” Alvent jadi gregetan sendiri melihat tingkah laku Vita di kelas hampir setengah hari ini.

            “Elo ada masalah?” tanya Hendra yang kebetulan ada di kelas Vita dan Alvent. Lagi-lagi Vita menggeleng.

            “Masa?”

            Vita mengangguk.

            “Beneran?”

            Vita menggeleng.

            “Nankan! Ketauan kalo boongnya!” Ucap Hendra. “Pokoknya entar pulang sekolah kita ngomongin masalahnya dulu!” lanjutnya dengan tegas.

            Bel istirahat berbunyi. Hendra kembali ke kelasnya setelah memberikan intruksi kepada Alvent untuk mengawasi Vita yang kebetulan satu kelas dengan Vita.

            Alvent mengikuti pelajaran dengan sedikit-sedikit menengok Vita yang duduk di sebrang mejanya. Duduk di sebelah Mona, Vita tampak melamun. Pandangannya menatap papan putih besar di depan kelas tapi matanya tak memiliki fokus.

            To: Hendra
           Vita emang lagi nggak beres!! Kerjaannya ngelamun mulu bro...

          Dan terkirim.

-ooo-

            Benda kecil di dalam kantong celana Hendra bergetar. Sebuah sms dari Alvent ternyata. Setelah membaca buru-buru Hendra membalasnya disela-sela penjelasan guru Biologinya.

            “Awasi terus aja, entar pulang kita culik dia,” gumamnya sembari mengetik. Dan terkirim.

            Tepat sekali. Permainan takdir memang begitu hebat. Setelah pesan terkirim, seorang guru BK dan seorang cewek memasuki kelas Hendra. Seorang cewek yang sangat dikenalnya. Hendra bahkan sampai terpesona dibangkunya. Vita ada di kelasnya sekarang.

            “Vit ngapain disini?” salah satu murid kelas Hendra yang juga kenal dengan Vita berteriak.

            “Elo diusir dari ia 5?” teriak yang lain.

            “Mau nyusul Hendra kali.” Satu orang lagi menimpali. Dan semua murid di kelas itu langsung menggoda Hendra dan Vita.

            Bu Ning mencoba menenangkan kelas itu yang tiba-tiba menjadi gaduh. Wajarlah seorang Vita Marissa akan pindah ke kelas itu. Siapa yang tak tau Vita. Seorang murid yang sangat dikenal di jagat Tri Tunggal. Cewek yang cantik, tinggi, putih, pinter, berprestasi dan juga ramah terhadap sesama. Benar-benar idaman kaum adam.

            “Tenang!” kata Pak Kas membantu Bu Ning menenangkan kelas ia 7 itu. “Ini bukan Vita,” kata-kata yang langung membuat seisi ruang itu tiba-tiba senyap sekejap tapi tidak bertahan lama karena kelas kembali heboh, bahkan lebih heboh dari sebelumnya.

            “Jangan ngawur Pak, jelas-jelas itu Vita!”

            “Iya tuh pak. Mata kita masih normal.”

            Hendra juga ikut terhipnotis dengan cewek yang kata Pak Kas bukan Vita. Semuanya mirip dengan Vita. Tingginya sama, warna kulitnya persis, mukanya jangan ditanya lagi. Jadi, dia siapa kalo bukan Vita?

            “Ini kembarannya Vita,” lanjut Pak Kas sukses membungkam kelas ia 7 termasuk Hendra juga bu Ning yang langsung meneliti kembaran Vita itu. Tak ada yang berkomentar lagi. Semuanya hanya diam dan memandangi kembaran Vita yang ada di depan mereka.

            “Hallo, nama saya Lili, saya kembarannya Vita. Saya ini pindahan dari Singapura,” kata Lili memerkenalkan dirinya dengan sebuah senyum diakhir sesi perkenalannya itu.

            Hendra masih terhipnotis dengan kedatangan kembaran Vita di kelasnya. Kenapa harus di kelasnya? Kenapa tidak satu kelas dengan Vita? Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya sampai sebuah suara mengagetkannya.

            “Aku boleh duduk sini?”

            Hendra menoleh. Oh My God! Itu Lili. “Bo.. boleh,” jawab Hendra sedikit tergagap.

            “Lili,” Lili menyodorkan tangan kanannya setelah duduk dibangku sebelah Hendra.

            Hendra mengaitkan tangan Lili ke tangannya. “Hendra.”

            Dan kata-kata berikutnya mengalir begitu saja dari kedua bibir anak adam dan hawa itu.

-ooo-

            Bel pulang sekolah sudah terdengar lima menit yang lalu. Tapi Alvent dan Vita belum beranjak keluar dari kelas mereka. Sebenarnya mereka sengaja tetap diam di kelas karena sedang menunggu Hendra.

            “Eh Vit, liat tuh Ahsan!” Tiba-tiba Alvent menunjuk seorang cowok hitam manis yang sedang berjalan dengan seorang cewek di depan kelas mereka.

            “Sama siapa tuh?” Vita hanya menaikkan kedua bahunya. Ahsan ini dulu cowok yang sering banget nembak Vita waktu mereka kelas satu dulu.

            “Kayaknya gue kenal tuh,” akhirnya Vita berbicara juga. “Zulfa?”

            “Zulfa siapa?” Alvent sengaja memancing Vita untuk berbicara. Suntuk juga kalo Vita diem terus kayak tadi.

            “Temen les gue tuh. Dasar temen gue juga diembat sama Ahsan,” cibir Vita.

            “Kenapa nih anak senyum-senyum nggak jelas?”Dari balik pintu kelas, Hendra muncul tiba-tiba.

            “Tuh gebetannya Vita punya pacar baru,” goda Alvent.

            Vita yang nggak terima dengan perkataan cowok itu menepuk lengan Alvent pelan. “Gebetan dari Hongkong?”

            “Vit, gue mau nanya dong,” kata Hendra dengan raut serius. “Elo punya kembaran ya?”

            Pertanyaan yang sangat sensitif untuk Vita langsung telak memukul perasaan cewek itu seketika. Membawanya langsung kepada emosi yang tak bisa dijelaskan.

            “Tau darimana lo?” suara Vita langsung berubah jadi ketus. Alvent yang paling ketinggalan informasi hanya bisa
diam ditempat dan mendengarkan perdebatan kedua sobatnya tanpa berani mencela.

            Hendra menghela nafas. “Jadi bener? Lili sekelas sama gue.”

            Satu hantaman lagi dari Hendra memukul telak perasaannya. Lili satu kelas dengan Hendra, dengan cowok yang disukainya dari dulu. Kenyataan yang berat untuk Vita.

            “Tadi waktu jam pelajaran ke 5 Pak Kas ke kelas sama Lili. Gue sama anak-anak ngira elo mau pindah ke kelas kita, ternyata enggak,” Hendra diam sejenak dengan memandang Vita tepat di bola mata cewek itu. “Ternyata itu bukan elo. Kata Pak Kas dia kembaran lo.”

            “Kok elo nggak ngomong sih Vit kalo punya kembaran?” tiba-tiba Alvent bertanya. Pertanyaan yang nggak penting bagi Vita.

            “Hendra barusan ngomong,” jawabnya masih dengan nada ketus.

            Alvent tertegun mendengar jawaban dari Vita tapi tak dihiraukannya. “Kita disinikan mau ngomongin masalahnya Vita! Bukan mau ngomongin kembarannya Vita!” Masih dengan polosnya Alvent belum bisa menyimpulkan masalah yang ada.

            Hendra menutup mukanya dengan kedua telapak tangan sambil menggerutu kelemotan otak sahabatnya itu.

            “Jadi, kenapa seharian ini elo punya muka ditekuk terus?” Alvent masih melanjutkan pertanyaannya.

            Vita duduk di salah satu kursi deretan depan kelasnya. Berhadapan dengan Hendra dan juga Alvent yang berdiri di depannya.

            “Elo mau tau masalah gue?” tanyanya dengan wajah dihiasi dengan senyum yang sedikit dibuat-buat.

            Hendra merasa situasi ini akan menjadi buruk karena melihat ekspresi Vita yang tak enak. “Udah entar gue kasih tau masalahnya,” bisiknya kepada Alvent.

            “Enggak ah,” tolak Alvent seketika dan Hendra hanya bisa pasrah.

            “Gue mau tau,” jawab Alvent kepada Vita sambil mengangguk antusias.

            “Bener?”

            Alvent mengangguk lagi. “Beneran Vita. Siapa tau gue sama Hendra bisa bantuin elo.”

            Vita menghela nafasnya pelan sekali. Seperti setiap nafas yang ditariknya sekarang membuat dadanya sakit.

            Dengan lembut Hendra membungkukan badannya mennyetarakan tingginya dengan Vita. “Kalo nggak mau, nggak usah aja Vit, kita ngerti kok,” lalu seulas senyum memenuhi bibir merah Hendra.

            “Nggak papa kok.”

            Alvent yang memang benar-benar buta masalahnya makin bingung dengan tingkah laku Hendra dan Vita dan sedikit cemburu.

            “Elo mau tau Vent?” Vita mengulang pertanyaannya lagi.

            “Kalo nggak keberatan sih,” jawabnya sambil menaikkan kedua bahunya. Udah bilang iya daritadi masih tanya mulu. Untung gue suka sama lo, batin Alvent.

            Vita berdiri mendekati Alvent dan berhenti diantara tubuh Alvent dan Hendra.

            “Masalah gue itu sebenernya,” sengaja Vita menggantung kalimatnya.

            “Sebenernya?” Alvent penasaran sedangkan Hendra hanya melihat Vita dengan tatapan kasihan.

            “Masalah gue itu Lili!”

-ooo-

Between Our Heart #2

Between Our Hearts 2

by Mayangsari Vitaism on Monday, December 12, 2011 at 7:46pm
Between Our Hearts
2

-ooo-

            Vita memandang gadis itu sampai menghilang dari pandangannya. Vita tak menyangka bahwa perkataan Alvent tadi benar. Ada perempuan yang benar-benar mirip dengannya bukan hanya mirip tapi sama. Persis. Kembar.

            Masih dengan keterpukauan permainan takdir, Vita kembali ke kelasnya setelah lama terdiam terpaku di tempatnya berdiri tadi. Banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada eyang putri tentang ini semua. Dia ingin meminta penjelasan langsung dari bibir neneknya itu. Tanpa ada pengecualian tanpa ada yang ditutupi. Dia ingin semuanya dijelaskan secara gambalang.

            Selama ini jika Vita ingin mengetahui keluarga kandungnya eyang putri selalu menutupi. Menceritakan hanya sebagian. Memberitahu bahwa Vita terpaksa tinggal bersama dirinya karena orang tuanya kerja di Singapura. Tapi yang tak pernah gadis itu duga, eyang putrinya menutupi satu bagian hidupnya yang sangat sensitif jika disentuh. Tentang orang tua yang lebih memilih saudara kembarnya daripada dirinya untuk tinggal bersama. Bahkan dia tak pernah tau jika dirinya memiliki saudara kembar.

-ooo-

            Gadis bernama Lili itu melihat bangunan sekolah barunya ditemani dengan kepala sekolah. Di sini dia akan melanjutkan pendidikannya. Memulai adaptasi dengan lingkungan baru, teman yang baru dan saudara yang baru dia temui selama tujuh belas tahun terpisah. Bersama dengan orang tuanya, dia akan memperbaiki kisah masa lalu yang pahit untuk saudaranya. Mencoba menyembuhkan luka yang tak mereka ketahui dalamnya.

-ooo-

            Di kantin itu suasana begitu gaduh. Suara piring yang terpukul sendok, suara murid-murid berteriak pesanannya, suara air yang dituang dan semua macam suara yang memang selalu hadir saat jam istirahat. Sedangkan di pojok kantin sedang duduk tiga orang murid dengan makanan dan minuman masing-masing dihadapannya.

            Kening Hendra berkerut saat melihat salah satu sahabatnya melamun. “Kenapa lo Vit?”

            Vita tak bergeming. Pandangannya jauh menatap kedepan.

            “Vit?!” Hendra sedikit berteriak berbarengan dengan siku Alvent yang menyenggol lengan Vita dan membuat gadis itu terkejut.

            “Apaan sih!” kesalnya. “Kalo manggil nggak usah teriak-teriak bisa nggak?” cerca Vita yang sebal dengan kelakuan Alvent dan Hendra. Pipinya digembungkan, kebiasaannya kalo dia lagi marah.

            Alvent berdecak, males jika Vita udah bad mood gini. Pasti nanti ujung-ujungnya dia dan Hendra yang akan salah, seperti tadi, niatnya Cuma mau manggil eh malah dapet jawabannya kayak gitu.

            “Elo kenapa Vit?” ulang Hendra lagi. Berusaha sabar jika Vita udah pasang muka masem kayak gitu.

            “Nggak papa,” jawabnya ketus sambil mengasuk-aduk jus jeruk dihadapannya.

            Hendra menatap Alvent curiga dan cowok itu hanya mengangkat kedua bahunya untuk menjawab pertanyaan tersirat dari Hendra tadi. Lalu ketiganya kembali dengan aktivitas masing-masing. Hendra dan Alvent melahap bakso masing-masing sedangkan Vita masih berkutat dengan pikirannya yang tak terarah makin ruwet.

            “Gue sebelll!!!” Akhirnya tanpa paksaan gadis itu mengungkapkan pikirannya. Alvent melirik Hendra dengan seyum kecil dibibirnya. Dasar nggak bakat bohong, pikir Alvent.

            Hendra tertawa puas melihat Vita mengakui kegelisahannya. Memang selama ini gadis itu selalu cerita tentang semua masalahnya kepada dia dan Alvent. Dan hari ini untuk kesekian kalinya setelah mengatakan ‘Nggak papa’ gadis itu akan membocorkan masalahnya tanpa mereka minta.

            Dengan lancar semua pikirannya meluncur melalui kata-kata lewat bibir merahnya. Semuanya tanpa terkecuali. Semua keresahan Vita saat melihat perempuan yang sama persis dengan dirinya. “Masa gue punya kembaran sih?” tanyanya diakhir ceritanya.

            “Mungkin kebetulan aja,” hibur Avent yang disetujui dengan anggukan kepala Hendra.

            “Kebetulan yang memang betul gue kembar gitu maksud lo?” ucap Vita yang maish bad mood.

            Hendra megusap puncap kepala Vita lalu memegang kedua bahunya, menghadapakan gadis itu pada dirinya dan menatapnya tajam. “Kalo emang elo kembar pasti eyang putri ngasih tau cucunya ini, nggak mungkin dia bohong.” Lalu Hendra menyeringai, “Kalo elo emang kembar gue seneng kok, jadi gue bisa liat keajaiban dunia.”

            Alvent terbahak saat mendengar kalimat terakhir Hendra. Ada benarnya juga jika Vita memang kembar maka akan ada keajaiban dunia yang nyangkut di SMA Tri Tunggal.

            “Puas lo semua! Ketawa aja terus!” protesnya lalu meninggalkan kedua sahabatnya yang sedang menertawainya sampai perlu membungkukan badan segala.

            “Vit tunggu,” ucap Alvent yang mengejar Vita dan kemudian disusul dengan Hendra.

-ooo-

            Lili bersama kedua orang tuanya menginjakan kaki di sebuah rumah sederhana di daerah Bandung selatan. Rumah yang sederhana tapi teduh. Inilah kali pertama gadis itu melihat Indonesia secara nyata. Ternyata Indonesia lebih indah dari bayangannya.

            “Ini rumah eyang Li,” jelas sang Papa yang melihat raut bingung diwajah putrinya itu.

            Lili mengangguk mengerti. Mata sipitnya menyapu pandangan ke semua penjuru. Rumah sederhana berlantai dua dengan taman kecil di depannya. Bukit-bukit menjulang di belakang rumah eyangnya itu. Semuanya tampak seperti lukisan yang alami. Lukisan dari sang Pencipta.

            “Kita akan tinggal disini selama di Indonesia,” lanjut sang Papa menjelaskan. “Yuk masuk.”

            Lili mengekor kedua orang tuanya yang terlebih dahulu memasuki gerbang rumah sang eyang. Kecuali dari foto, Lili sebenarnya tak pernah langsung bertemu dengan ibu dari papanya itu.

            Suara bel dibunyikan beberapa kali. Setelah sedikit menunggu akhirnya pintu berwarna cokelat itu terbuka. Seorang wanita tua dengan kaca mata tergantung dilehernya muncul dari dalam.

            Eyang putri keluar dan tercengan melihat Pras dan Ira dihadapannya juga Vita. Semenjak kapan Vita bersama orang tuanya.

            “Kalian?” ucap eyang tampak kaget dengan kedatangan putra dan keluarganya itu. “Vita kok sama kalian?” tanya eyang bingung.

            Lili tersenyum kecut. “Ini Lili bu, bukan Vita,” jelas Pras kepada ibunya.

            Dan eyang putri semakin shok setelah mengetahui dan ingat bahwa dia bukan Vita. Dia itu Lili.

-ooo-

            Vita, Hendra dan Alvent sengaja mampir ke warung es kelapa muda setelah pulang sekolah. Siang-siang saat matahari sedang terik-teriknya memang cocok untuk menikmati es plus air kelapa muda.

            “Sruupp.” Suara dari gelas Alvent terdengar nyaring sekali ditelingan Vita dan membuat gadis itu tertawa.

            “Segitunya lo Vent. Jorok tau!” ejek Vita yang melihat gelas Alvent sudah kosong. Sepertinya bocor.

            “Namanya juga cowok Vit,” belanya yang tak mau kalah.

            “Enggak gitu juga kali Vent.” Hendra nggak terima. Baginya cowok tetap harus menjaga etika. “Gue cowok tapi enggak slengekan kayak elo.”

            “Terserah lo pada deh,” akhirnya Alvent menyerah. Gimana bisa menang kalo satu lawan dua. Curang! Mainnya keroyokan!

-ooo-

            Tepat di depan gerbang, Vita diturunkan Alvent dari sepedanya. Cukup adil hari ini. Berangkat dengan Hendra dan pulang nebeng Alvent. Memang hidup Vita bak di surga. Selalu diantar jemput dengan dua orang ganteng kayak Alvent dan Hendra.

            “Kok rame sih rumah lo.” Hendra berjinjit ingin melihat tamu yang ada di rumah Vita. Emang kepo banget ini orang.

            “Tau tuh, temen eyang kali. Biasalah perkumpulan nenek-nenek,” jawabnya ngaco yang bikin mereka ketawa. “Thanks ya. Gue masuk dulu.”

            “Oke.” Jawab Alvent dan Hendra bersamaan.

            Vita masuk ke dalam setelah sahabat-sahabatnya tak terlihat dari pandangannya. Sebenarnya dia juga penasaran dengan tamu yang ada di rumahnya. Masa benar sih itu perkumpulan nenek-nenek?

            Dengan langkah cepat Vita memasuki rumahnya. Melewati teras dan sampai di ruang tamu. Ada empat orang di sana plus dengan eyang putri. Semuanya sedang duduk dan mengobrol di sofa warna merah marun itu. Tapi saat Vita masuk, semua perhatian di ruang itu beralih ke dirinya. Dan Vita sangat tercengang saat mendapati perempuan mirip dirinya sedang duduk di sebelah eyang putri.

            “Vita udah pulang?” Eyang putri berdiri dan mendekati cucunya itu. “Ini mama sama papa Vita,” lanjut snag eyang menjelaskan perlahan lalu menunjuk perempun yang duduk di sampingnya tadi. “Itu Lili saudara kembar kamu.”

            Kaki gadis itu lunglai seketika. Tapi sisa tenaga yang dimilikinya masih mampu menopang tubuhnya. Ternyata benar keajaiban dunia terdampar di Bandung seperti kata Alvent dan Hendra. Dia memiliki kembaran. Dan sekarang di depannya juga ada kedua orang tuanya. Orang tua yang meninggalkannya selama tujuh belas tahun.

            “Enggak...enggak..” Vita menggelengkan kepalanya perlaha. Wajahnya jadi pucat seperti kertas. Matanya memandang ketiga orang di depannya lalu beralih ke eyang putri. “Vita udah nggak punya orang tua yang, apalagi kembaran.” Ucapnya yang diselingi dengan air mata yang mulai menjalar ke pipinya.

            “Vita udah nggak punya orang tua.”

            Gadis itu meninggalkan ruang tamu yang tegang itu. Meninggalkan eyang putri dan ketiga orang yang disebutkan eyang putrinya sebagai orang tua dan saudara kembarnya. Vita mengunci kamarnya rapat. Lalu menelungkupkan badannya dikasur dan terisak. Sekarang semuanya telah jelas dia telah mengetahui bahwa satu rahasia besar dalam hidupnya terungkap. Dia memiliki saudara kembar!

-ooo-

Sabtu, 10 Desember 2011

Between Our Heart #1

Between Our Hearts
1

            Titik-titik hujan menjadi saksi seuatu peristiwa penting keluarga itu. Seorang wanita paruh baya memandang bayi mungil dipelukannya. Rasa kasihan terpancar dimata tuanya itu. Tak pernah ia sangka bahwa bayi sekecil ini akan berpisah dengan orang tua kandungnya.

            “Kau yakin Pras akan meninggalkan bayi ini denganku?” Wanita paruh baya itu memalingkan pandangannya dari si bayi kepada sepasang suami istri dihadapannya sekarang. Lebih tepatnya kepada sang suami yang notabennya anaknya sendiri.

            “Iya bu,” kata sang suami yang tak yakin dengan jawabannya sendiri. “Ini yang terbaik untuk dia sekarang,” sambungnya lagi.

           “Sedangkan kau Ira?” Sekarang pandangan wanita paruh baya itu menghujam sang istri yang juga sedang menggendong seorang bayi. “Kau tega memisahkan bayi ini dengan ibunya sendiri juga dengan kembarannya?”

            Wanita bernama Ira itu tak kunjung menjawab pertanyaan ibu mertuanya. Rasa bersalah dan berdosa sebagai seorang ibu menusuk tajam ke hatinya. Sekarang hati dan otaknya tak mau bekerja sama. Logika dan perasaan bersebrangan satu sama lain.

            “Kalau begitu aku akan menjaga bayi ini,” kata wanita paruh baya itu saat melihat menantunya tak kunjung berbicara. “Dan sekarang kalian boleh pergi ke Singapura bersama putri yang kalian bawa.”

            Tanpa berbicara, sepasang suami istri itu keluar dari sebuah rumah sederhana. Meninggalkan salah satu putinya kepada orang tua mereka. Saat ini mereka harus mampu memilih. Perasaan tidak sepenuhnya berperan dalam kondisi sekarang ini karena sekarang yang mempunyai kuasa adalah logika. Dan logika yang menyeret mereka dalam ketegasan yang benar-benar tegas. Melepaskan salah satu putri mereka yang belum genap  satu bulan bersama eyangnya dan tak tau kapan akan bisa melihatnya lagi.

-ooo-

            Aku merindukan apa yang mereka sering sebut dengan orang tua.

            17 tahun kemudian...


            “Vita sarapannya dimakan dulu,” nasehat sang eyang kepada cucu kesayangannya itu. “Sampe habis,” lanjutnya lagi saat melihat Vita hanya menyendok nasi gorengnya satu kali.

            “Iya..iya...” jawab Vita sambil menghabiskan sepiring nasi goreng spesial plus telor mata sapi dihadapannya.

            “Vita..Vita..” Seseorang memanggil Vita dari luar. Sepertinya Vita mengenali suara itu. Suara sahabat-sahabatnya dari kecil. Sahabat yang selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Ya, mereka Hendra dan Alvent.

            “Tunggu!!” Balas Vita dengan berteriak juga. “ Aku berangkat sekolah dulu yang,” pamit Vita setelah sarapannya habis dan tak lupa mencium tangan eyangnya sebelum berangkat sekolah.

            “Hati-hati.” Sang eyang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat cucu perempuannya itu berlari ke luar rumah. Sekarang cucu kecilnya telah tumbuh jadi remaja. Parasnya cantik, kulitnya putih, badannya tinggi dari biasanya gadis di daerah mereka dan cucunya itu memiliki senyum yang manis. Dan seulas senyum mengembang dibibir sang eyang tepat disaat punggung Vita hilang dari pandangannya.

            “Lama amat lo nyet,” cibir Hendra saat Vita muncul dari pintu.

            Vita menyeringai lebar, tau bahwa sekarang dirinya memang salah. “Hehe sorry deh Ndra tadi sarapan dulu.”

            “Ya udah, berangkat aja sekarang,” kata Alvent nimbrung. “Daripada lo berdua berantem entar kita jadi telat.” Nasehatnya.

            “Siap!!” Hendra dan Vita bergaya bak tentara yang sedang hormat kepada atasannya. Beginilah sikap mereka kalu Alvent telah memberi wejangan-wejangannya.

            “Lebay,” ujar Alvent sambil menaiki sepeda hijaunya. “Lo ikut gue apa Hendra Vit?” tanya Alvent kemudian.

            Vita memandangi kedua sahabatnya itu yang sudah berada disepedanya masing-masing. Alvent dengan sepeda
gunungnya warna hijau sedangkan milik Hendra warna Biru. “Hendra aja deh,” ucapnya sambil mendekati sepeda milik Hendra dan bersiap menaikinya.

            “Siap?” tanya Hendra kepada Vita yang telah berdiri dibelakangnya.

            “Siap!” jawabnya dengan memperkuat pegangannya pada kedua pundak Hendra.

            “Berangkaaatttt!!!!”

            Sepeda Hendra melaju di depan Alvent. mengayuh dan mengayuh disusul dengan Alvent. Ketiga sahabat itu tertawa bersama dijalan menuju sekolah mereka. Diapit dengan bukit-bukit suara mereka terdengar nyaring. Vita yang berdiri di belakang Hendra berusaha menyeimbangkan badannya dengan gerakan sepeda Hendra saat belok atau saat jalanan turun. Momen yang sangat disukainya dalam bagian hidupnya. Naik sepeda berdua dengan Hendra. Romantis bukan?

            Sedangkan bagi Alvent, momen ini adalah momen yang paling buruk dalam perjalanan hidupnya. Melihat orang yang disayanginya dalam boncengan orang lain. Dan yang paling membuatnya makin seperti pengecut adalah saat dimana tak ada alasan yang melarang Vita untuk lebih memilih Hendra dibanding dirinya karena Vita bukanlah siapa-siapanya. Vita hanya sahabatnya dan juga sahabat Hendra. Kapan elo ngerti perasaan gue, batin Alvent ditengah senyumnya.

            “Eh Vit, kemaren elo kita pangil kok nggak nyaut?” Kata Alvent saat mereka sedang melalui koridor sekolah menuju kelas mereka.

            Alis Vita naik, bingung dengan ucapan Alvent. “Kapan?”

            “Kemaren. Ya nggak Ndra?” Hendra mengangguk.

            “Kemaren gue di rumah kok,” jawab Vita dengan jujur. “Salah orang kali lo berdua.”

            Alvent dan Hendra berpandangan. Bagi mereka mengenali Vita itu tak perlu harus melihat satu jam baru bisa meyakinkan orang itu Vita, tapi hanya sekilas melihat mereka tahu bahwa itu Vita atau bukan.

            “Nggak mungkin!” Kata Alvent dan Hendra hampir bersamaan.

            “Terserah deh kalo nggak percaya. Tanya aja sama eyang gue sana.” Vita ngeloyor meninggalkan Alvent dan Hendra yang berhenti di depan kelas anak kelas sepuluh. Kemarin Vita benar-benar berada di rumah membantu sang eyang membuat brownies cokelat kesukaannya.

            “Terus yang kita liat siapa Vent?” tanya Hendra bingung. Alvent hanya menaikan kedua bahunya dan menyusul Vita menuju kelasnya.

-ooo-

            Vita sedang memandang papan tulis yang berisi rumus-rumus matematika. Hanya melihatnya bisa membikin Vita pusing apalagi harus mengerjakan soal-soal di buku paket yang dibelinya dengan harga super mahal itu. Kadang dia kasihan kepada sang eyang yang sudah membelikan buku-buku paket yang akhirnya tak pernah dibaca Vita kecuali bila kepepet.

            “Ssst...” Suara yang disertai dengan gulungan kertas dimejanye membuat Vita bangun dari lamunan sesaatnya.

            “Apaan?” sautnya dengan suara pelan saat mengetahui bahwa Alvent yang memanggilnya tadi.

            Vita memandang Alvent yang sedang menunjuk-nunjuk keluar jendela. Menunjuk kepala sekolah mereka. Vita bingung dengan maksud sahabatnya itu.

            “Apaan?” tanyanya lagi yang masih tak mengerti. Alvent masih saja menunjuk keluar.

            “Alvent! Vita!” Tegur pak Adi yang mendengar keributan dari mereka berdua.

            Vita dan Alvent langsung diam dan memperhatikan pelajaran lagi. Tapi tak lama dari itu ada kertas yang mendarat di meja Vita.

            Liat keluar, cewek yang sama kepsek, mukanya mirip sama elo!!!

            Kening Vita berkerut membaca surat dari Alvent. Mana ada orang mirip dengannya? Bagi Vita, wajahnya itu edisinya terbatas! Cuma satu di muka bumi ini! Untuk menghilangkan rasa penasarannya Vita bergegas berdiri dan meminta ijin kepada pak Adi untuk ke toilet.

            “Jadi nanti kamu akan sekolah disini. Semoga kamu suka ya.” Samar-samar Vita mendengar percakapan antara Kepala Sekolahnya dengan seseorang. Sepertinya murid baru. Tapi wajah murid itu tak terlihat oleh Vita karena tertutupi badan dari kepseknya.

            Vita bersembunyi di samping dinding salah satu kelas saat sang kepsek dan murid baru lewat, tepat saat murid baru itu dihadapannya, Vita menahan nafas, kakinya seperti ingn luruh ke dalam bumi. Murid baru itu, murid yang daritadi ingin dilihatkan Alvent kepadanya. Murid baru yang benar-benar mirip dengannya. Bentuk wajahnya, bentuk tubuhnya, semuanya mirip dengan Vita. Dia sekarang bagaikan bercermin. Dan mulai sekarang Vita ada dua!!!

-ooo-