Between Our Hearts 2
by Mayangsari Vitaism on Monday, December 12, 2011 at 7:46pm
2
-ooo-
Vita memandang gadis itu sampai menghilang dari pandangannya. Vita tak menyangka bahwa perkataan Alvent tadi benar. Ada perempuan yang benar-benar mirip dengannya bukan hanya mirip tapi sama. Persis. Kembar.
Masih dengan keterpukauan permainan takdir, Vita kembali ke kelasnya setelah lama terdiam terpaku di tempatnya berdiri tadi. Banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada eyang putri tentang ini semua. Dia ingin meminta penjelasan langsung dari bibir neneknya itu. Tanpa ada pengecualian tanpa ada yang ditutupi. Dia ingin semuanya dijelaskan secara gambalang.
Selama ini jika Vita ingin mengetahui keluarga kandungnya eyang putri selalu menutupi. Menceritakan hanya sebagian. Memberitahu bahwa Vita terpaksa tinggal bersama dirinya karena orang tuanya kerja di Singapura. Tapi yang tak pernah gadis itu duga, eyang putrinya menutupi satu bagian hidupnya yang sangat sensitif jika disentuh. Tentang orang tua yang lebih memilih saudara kembarnya daripada dirinya untuk tinggal bersama. Bahkan dia tak pernah tau jika dirinya memiliki saudara kembar.
-ooo-
Gadis bernama Lili itu melihat bangunan sekolah barunya ditemani dengan kepala sekolah. Di sini dia akan melanjutkan pendidikannya. Memulai adaptasi dengan lingkungan baru, teman yang baru dan saudara yang baru dia temui selama tujuh belas tahun terpisah. Bersama dengan orang tuanya, dia akan memperbaiki kisah masa lalu yang pahit untuk saudaranya. Mencoba menyembuhkan luka yang tak mereka ketahui dalamnya.
-ooo-
Di kantin itu suasana begitu gaduh. Suara piring yang terpukul sendok, suara murid-murid berteriak pesanannya, suara air yang dituang dan semua macam suara yang memang selalu hadir saat jam istirahat. Sedangkan di pojok kantin sedang duduk tiga orang murid dengan makanan dan minuman masing-masing dihadapannya.
Kening Hendra berkerut saat melihat salah satu sahabatnya melamun. “Kenapa lo Vit?”
Vita tak bergeming. Pandangannya jauh menatap kedepan.
“Vit?!” Hendra sedikit berteriak berbarengan dengan siku Alvent yang menyenggol lengan Vita dan membuat gadis itu terkejut.
“Apaan sih!” kesalnya. “Kalo manggil nggak usah teriak-teriak bisa nggak?” cerca Vita yang sebal dengan kelakuan Alvent dan Hendra. Pipinya digembungkan, kebiasaannya kalo dia lagi marah.
Alvent berdecak, males jika Vita udah bad mood gini. Pasti nanti ujung-ujungnya dia dan Hendra yang akan salah, seperti tadi, niatnya Cuma mau manggil eh malah dapet jawabannya kayak gitu.
“Elo kenapa Vit?” ulang Hendra lagi. Berusaha sabar jika Vita udah pasang muka masem kayak gitu.
“Nggak papa,” jawabnya ketus sambil mengasuk-aduk jus jeruk dihadapannya.
Hendra menatap Alvent curiga dan cowok itu hanya mengangkat kedua bahunya untuk menjawab pertanyaan tersirat dari Hendra tadi. Lalu ketiganya kembali dengan aktivitas masing-masing. Hendra dan Alvent melahap bakso masing-masing sedangkan Vita masih berkutat dengan pikirannya yang tak terarah makin ruwet.
“Gue sebelll!!!” Akhirnya tanpa paksaan gadis itu mengungkapkan pikirannya. Alvent melirik Hendra dengan seyum kecil dibibirnya. Dasar nggak bakat bohong, pikir Alvent.
Hendra tertawa puas melihat Vita mengakui kegelisahannya. Memang selama ini gadis itu selalu cerita tentang semua masalahnya kepada dia dan Alvent. Dan hari ini untuk kesekian kalinya setelah mengatakan ‘Nggak papa’ gadis itu akan membocorkan masalahnya tanpa mereka minta.
Dengan lancar semua pikirannya meluncur melalui kata-kata lewat bibir merahnya. Semuanya tanpa terkecuali. Semua keresahan Vita saat melihat perempuan yang sama persis dengan dirinya. “Masa gue punya kembaran sih?” tanyanya diakhir ceritanya.
“Mungkin kebetulan aja,” hibur Avent yang disetujui dengan anggukan kepala Hendra.
“Kebetulan yang memang betul gue kembar gitu maksud lo?” ucap Vita yang maish bad mood.
Hendra megusap puncap kepala Vita lalu memegang kedua bahunya, menghadapakan gadis itu pada dirinya dan menatapnya tajam. “Kalo emang elo kembar pasti eyang putri ngasih tau cucunya ini, nggak mungkin dia bohong.” Lalu Hendra menyeringai, “Kalo elo emang kembar gue seneng kok, jadi gue bisa liat keajaiban dunia.”
Alvent terbahak saat mendengar kalimat terakhir Hendra. Ada benarnya juga jika Vita memang kembar maka akan ada keajaiban dunia yang nyangkut di SMA Tri Tunggal.
“Puas lo semua! Ketawa aja terus!” protesnya lalu meninggalkan kedua sahabatnya yang sedang menertawainya sampai perlu membungkukan badan segala.
“Vit tunggu,” ucap Alvent yang mengejar Vita dan kemudian disusul dengan Hendra.
-ooo-
Lili bersama kedua orang tuanya menginjakan kaki di sebuah rumah sederhana di daerah Bandung selatan. Rumah yang sederhana tapi teduh. Inilah kali pertama gadis itu melihat Indonesia secara nyata. Ternyata Indonesia lebih indah dari bayangannya.
“Ini rumah eyang Li,” jelas sang Papa yang melihat raut bingung diwajah putrinya itu.
Lili mengangguk mengerti. Mata sipitnya menyapu pandangan ke semua penjuru. Rumah sederhana berlantai dua dengan taman kecil di depannya. Bukit-bukit menjulang di belakang rumah eyangnya itu. Semuanya tampak seperti lukisan yang alami. Lukisan dari sang Pencipta.
“Kita akan tinggal disini selama di Indonesia,” lanjut sang Papa menjelaskan. “Yuk masuk.”
Lili mengekor kedua orang tuanya yang terlebih dahulu memasuki gerbang rumah sang eyang. Kecuali dari foto, Lili sebenarnya tak pernah langsung bertemu dengan ibu dari papanya itu.
Suara bel dibunyikan beberapa kali. Setelah sedikit menunggu akhirnya pintu berwarna cokelat itu terbuka. Seorang wanita tua dengan kaca mata tergantung dilehernya muncul dari dalam.
Eyang putri keluar dan tercengan melihat Pras dan Ira dihadapannya juga Vita. Semenjak kapan Vita bersama orang tuanya.
“Kalian?” ucap eyang tampak kaget dengan kedatangan putra dan keluarganya itu. “Vita kok sama kalian?” tanya eyang bingung.
Lili tersenyum kecut. “Ini Lili bu, bukan Vita,” jelas Pras kepada ibunya.
Dan eyang putri semakin shok setelah mengetahui dan ingat bahwa dia bukan Vita. Dia itu Lili.
-ooo-
Vita, Hendra dan Alvent sengaja mampir ke warung es kelapa muda setelah pulang sekolah. Siang-siang saat matahari sedang terik-teriknya memang cocok untuk menikmati es plus air kelapa muda.
“Sruupp.” Suara dari gelas Alvent terdengar nyaring sekali ditelingan Vita dan membuat gadis itu tertawa.
“Segitunya lo Vent. Jorok tau!” ejek Vita yang melihat gelas Alvent sudah kosong. Sepertinya bocor.
“Namanya juga cowok Vit,” belanya yang tak mau kalah.
“Enggak gitu juga kali Vent.” Hendra nggak terima. Baginya cowok tetap harus menjaga etika. “Gue cowok tapi enggak slengekan kayak elo.”
“Terserah lo pada deh,” akhirnya Alvent menyerah. Gimana bisa menang kalo satu lawan dua. Curang! Mainnya keroyokan!
-ooo-
Tepat di depan gerbang, Vita diturunkan Alvent dari sepedanya. Cukup adil hari ini. Berangkat dengan Hendra dan pulang nebeng Alvent. Memang hidup Vita bak di surga. Selalu diantar jemput dengan dua orang ganteng kayak Alvent dan Hendra.
“Kok rame sih rumah lo.” Hendra berjinjit ingin melihat tamu yang ada di rumah Vita. Emang kepo banget ini orang.
“Tau tuh, temen eyang kali. Biasalah perkumpulan nenek-nenek,” jawabnya ngaco yang bikin mereka ketawa. “Thanks ya. Gue masuk dulu.”
“Oke.” Jawab Alvent dan Hendra bersamaan.
Vita masuk ke dalam setelah sahabat-sahabatnya tak terlihat dari pandangannya. Sebenarnya dia juga penasaran dengan tamu yang ada di rumahnya. Masa benar sih itu perkumpulan nenek-nenek?
Dengan langkah cepat Vita memasuki rumahnya. Melewati teras dan sampai di ruang tamu. Ada empat orang di sana plus dengan eyang putri. Semuanya sedang duduk dan mengobrol di sofa warna merah marun itu. Tapi saat Vita masuk, semua perhatian di ruang itu beralih ke dirinya. Dan Vita sangat tercengang saat mendapati perempuan mirip dirinya sedang duduk di sebelah eyang putri.
“Vita udah pulang?” Eyang putri berdiri dan mendekati cucunya itu. “Ini mama sama papa Vita,” lanjut snag eyang menjelaskan perlahan lalu menunjuk perempun yang duduk di sampingnya tadi. “Itu Lili saudara kembar kamu.”
Kaki gadis itu lunglai seketika. Tapi sisa tenaga yang dimilikinya masih mampu menopang tubuhnya. Ternyata benar keajaiban dunia terdampar di Bandung seperti kata Alvent dan Hendra. Dia memiliki kembaran. Dan sekarang di depannya juga ada kedua orang tuanya. Orang tua yang meninggalkannya selama tujuh belas tahun.
“Enggak...enggak..” Vita menggelengkan kepalanya perlaha. Wajahnya jadi pucat seperti kertas. Matanya memandang ketiga orang di depannya lalu beralih ke eyang putri. “Vita udah nggak punya orang tua yang, apalagi kembaran.” Ucapnya yang diselingi dengan air mata yang mulai menjalar ke pipinya.
“Vita udah nggak punya orang tua.”
Gadis itu meninggalkan ruang tamu yang tegang itu. Meninggalkan eyang putri dan ketiga orang yang disebutkan eyang putrinya sebagai orang tua dan saudara kembarnya. Vita mengunci kamarnya rapat. Lalu menelungkupkan badannya dikasur dan terisak. Sekarang semuanya telah jelas dia telah mengetahui bahwa satu rahasia besar dalam hidupnya terungkap. Dia memiliki saudara kembar!
-ooo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar