SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Minggu, 18 Desember 2011

Between Our Heart #3

Between Our Hearts
3

-ooo-

            Semua yang hidup pasti berubah. Waktu membuat semuanya tak akan sama seperti dulu. Hidup Vita tak sama lagi seperti dulu saat sebuah rahasia terbesar dalam hidupnya terungkap. Orang tua yang ditunggunya berbelas-belas tahun akhirnya ditemuinya. Saudara yang tak pernah disangkanya juga ikut muncul didalam hidupnya kini. Tapi semua orang yang ditunggunya muncul secara tiba-tiba. Langsung dan mengagetkan. Tanpa pernah memberikan ruang untuk Vita menyiapkan hatinya.

            Eyang mengetuk pintu warna cokelat itu. Dipegangnya erat gagang pintu yang terkunci. “Vita, buka sayang.” Tapi tidak ada suara dari dalam. Hanya hening yang menyapa.

            “Vita, buka pintunya.” Sekarang giliran Lili yang merajuk kembarannya untuk keluar dari kamarnya. “Buka apa gue dobrak nih?!”

            Eyang putri, mama dan papa semuanya terkesima mendengar perkataan Lili.

            Lili refleks tersenyum memperlihatkan deretan gigi putihnya seraya mengangkat tangan dan membentuk jarinya seperti huruf V, “He he enggak, Lili cuma bercanda.”

            Lalu satu persatu membujuk Vita. Semuanya berusaha sebisa mungkin. Sampai hari larut tetap saja pintu berwarna cokelat itu tak bergerak membuka diri. Menutup rapat dan menyembunyika sosok didalamnya. Tak membiarkan seorangpun bisa melihatnya.

            Aku menginginkan mereka, tapi bukan sekarang...

-ooo-

            Senyum yang dulu menghiasi wajah Vita seketika hilang entah kemana. Bibir yang dulunya sering berkicau seketika diam tanpa kata. Melihat perubahan sahabatnya itu, Hendra dan Alvent menjadi bingung sendiri. mereka sudah memancing Vita untuk bicara tapi semuanya gagal. Vita merespon hanya dengan mengangguk dan menggelengkan kepala.

            “Ayolah Vit jangan ngangguk sama geleng aja! Emang kita mau dugem apa?!” Alvent jadi gregetan sendiri melihat tingkah laku Vita di kelas hampir setengah hari ini.

            “Elo ada masalah?” tanya Hendra yang kebetulan ada di kelas Vita dan Alvent. Lagi-lagi Vita menggeleng.

            “Masa?”

            Vita mengangguk.

            “Beneran?”

            Vita menggeleng.

            “Nankan! Ketauan kalo boongnya!” Ucap Hendra. “Pokoknya entar pulang sekolah kita ngomongin masalahnya dulu!” lanjutnya dengan tegas.

            Bel istirahat berbunyi. Hendra kembali ke kelasnya setelah memberikan intruksi kepada Alvent untuk mengawasi Vita yang kebetulan satu kelas dengan Vita.

            Alvent mengikuti pelajaran dengan sedikit-sedikit menengok Vita yang duduk di sebrang mejanya. Duduk di sebelah Mona, Vita tampak melamun. Pandangannya menatap papan putih besar di depan kelas tapi matanya tak memiliki fokus.

            To: Hendra
           Vita emang lagi nggak beres!! Kerjaannya ngelamun mulu bro...

          Dan terkirim.

-ooo-

            Benda kecil di dalam kantong celana Hendra bergetar. Sebuah sms dari Alvent ternyata. Setelah membaca buru-buru Hendra membalasnya disela-sela penjelasan guru Biologinya.

            “Awasi terus aja, entar pulang kita culik dia,” gumamnya sembari mengetik. Dan terkirim.

            Tepat sekali. Permainan takdir memang begitu hebat. Setelah pesan terkirim, seorang guru BK dan seorang cewek memasuki kelas Hendra. Seorang cewek yang sangat dikenalnya. Hendra bahkan sampai terpesona dibangkunya. Vita ada di kelasnya sekarang.

            “Vit ngapain disini?” salah satu murid kelas Hendra yang juga kenal dengan Vita berteriak.

            “Elo diusir dari ia 5?” teriak yang lain.

            “Mau nyusul Hendra kali.” Satu orang lagi menimpali. Dan semua murid di kelas itu langsung menggoda Hendra dan Vita.

            Bu Ning mencoba menenangkan kelas itu yang tiba-tiba menjadi gaduh. Wajarlah seorang Vita Marissa akan pindah ke kelas itu. Siapa yang tak tau Vita. Seorang murid yang sangat dikenal di jagat Tri Tunggal. Cewek yang cantik, tinggi, putih, pinter, berprestasi dan juga ramah terhadap sesama. Benar-benar idaman kaum adam.

            “Tenang!” kata Pak Kas membantu Bu Ning menenangkan kelas ia 7 itu. “Ini bukan Vita,” kata-kata yang langung membuat seisi ruang itu tiba-tiba senyap sekejap tapi tidak bertahan lama karena kelas kembali heboh, bahkan lebih heboh dari sebelumnya.

            “Jangan ngawur Pak, jelas-jelas itu Vita!”

            “Iya tuh pak. Mata kita masih normal.”

            Hendra juga ikut terhipnotis dengan cewek yang kata Pak Kas bukan Vita. Semuanya mirip dengan Vita. Tingginya sama, warna kulitnya persis, mukanya jangan ditanya lagi. Jadi, dia siapa kalo bukan Vita?

            “Ini kembarannya Vita,” lanjut Pak Kas sukses membungkam kelas ia 7 termasuk Hendra juga bu Ning yang langsung meneliti kembaran Vita itu. Tak ada yang berkomentar lagi. Semuanya hanya diam dan memandangi kembaran Vita yang ada di depan mereka.

            “Hallo, nama saya Lili, saya kembarannya Vita. Saya ini pindahan dari Singapura,” kata Lili memerkenalkan dirinya dengan sebuah senyum diakhir sesi perkenalannya itu.

            Hendra masih terhipnotis dengan kedatangan kembaran Vita di kelasnya. Kenapa harus di kelasnya? Kenapa tidak satu kelas dengan Vita? Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya sampai sebuah suara mengagetkannya.

            “Aku boleh duduk sini?”

            Hendra menoleh. Oh My God! Itu Lili. “Bo.. boleh,” jawab Hendra sedikit tergagap.

            “Lili,” Lili menyodorkan tangan kanannya setelah duduk dibangku sebelah Hendra.

            Hendra mengaitkan tangan Lili ke tangannya. “Hendra.”

            Dan kata-kata berikutnya mengalir begitu saja dari kedua bibir anak adam dan hawa itu.

-ooo-

            Bel pulang sekolah sudah terdengar lima menit yang lalu. Tapi Alvent dan Vita belum beranjak keluar dari kelas mereka. Sebenarnya mereka sengaja tetap diam di kelas karena sedang menunggu Hendra.

            “Eh Vit, liat tuh Ahsan!” Tiba-tiba Alvent menunjuk seorang cowok hitam manis yang sedang berjalan dengan seorang cewek di depan kelas mereka.

            “Sama siapa tuh?” Vita hanya menaikkan kedua bahunya. Ahsan ini dulu cowok yang sering banget nembak Vita waktu mereka kelas satu dulu.

            “Kayaknya gue kenal tuh,” akhirnya Vita berbicara juga. “Zulfa?”

            “Zulfa siapa?” Alvent sengaja memancing Vita untuk berbicara. Suntuk juga kalo Vita diem terus kayak tadi.

            “Temen les gue tuh. Dasar temen gue juga diembat sama Ahsan,” cibir Vita.

            “Kenapa nih anak senyum-senyum nggak jelas?”Dari balik pintu kelas, Hendra muncul tiba-tiba.

            “Tuh gebetannya Vita punya pacar baru,” goda Alvent.

            Vita yang nggak terima dengan perkataan cowok itu menepuk lengan Alvent pelan. “Gebetan dari Hongkong?”

            “Vit, gue mau nanya dong,” kata Hendra dengan raut serius. “Elo punya kembaran ya?”

            Pertanyaan yang sangat sensitif untuk Vita langsung telak memukul perasaan cewek itu seketika. Membawanya langsung kepada emosi yang tak bisa dijelaskan.

            “Tau darimana lo?” suara Vita langsung berubah jadi ketus. Alvent yang paling ketinggalan informasi hanya bisa
diam ditempat dan mendengarkan perdebatan kedua sobatnya tanpa berani mencela.

            Hendra menghela nafas. “Jadi bener? Lili sekelas sama gue.”

            Satu hantaman lagi dari Hendra memukul telak perasaannya. Lili satu kelas dengan Hendra, dengan cowok yang disukainya dari dulu. Kenyataan yang berat untuk Vita.

            “Tadi waktu jam pelajaran ke 5 Pak Kas ke kelas sama Lili. Gue sama anak-anak ngira elo mau pindah ke kelas kita, ternyata enggak,” Hendra diam sejenak dengan memandang Vita tepat di bola mata cewek itu. “Ternyata itu bukan elo. Kata Pak Kas dia kembaran lo.”

            “Kok elo nggak ngomong sih Vit kalo punya kembaran?” tiba-tiba Alvent bertanya. Pertanyaan yang nggak penting bagi Vita.

            “Hendra barusan ngomong,” jawabnya masih dengan nada ketus.

            Alvent tertegun mendengar jawaban dari Vita tapi tak dihiraukannya. “Kita disinikan mau ngomongin masalahnya Vita! Bukan mau ngomongin kembarannya Vita!” Masih dengan polosnya Alvent belum bisa menyimpulkan masalah yang ada.

            Hendra menutup mukanya dengan kedua telapak tangan sambil menggerutu kelemotan otak sahabatnya itu.

            “Jadi, kenapa seharian ini elo punya muka ditekuk terus?” Alvent masih melanjutkan pertanyaannya.

            Vita duduk di salah satu kursi deretan depan kelasnya. Berhadapan dengan Hendra dan juga Alvent yang berdiri di depannya.

            “Elo mau tau masalah gue?” tanyanya dengan wajah dihiasi dengan senyum yang sedikit dibuat-buat.

            Hendra merasa situasi ini akan menjadi buruk karena melihat ekspresi Vita yang tak enak. “Udah entar gue kasih tau masalahnya,” bisiknya kepada Alvent.

            “Enggak ah,” tolak Alvent seketika dan Hendra hanya bisa pasrah.

            “Gue mau tau,” jawab Alvent kepada Vita sambil mengangguk antusias.

            “Bener?”

            Alvent mengangguk lagi. “Beneran Vita. Siapa tau gue sama Hendra bisa bantuin elo.”

            Vita menghela nafasnya pelan sekali. Seperti setiap nafas yang ditariknya sekarang membuat dadanya sakit.

            Dengan lembut Hendra membungkukan badannya mennyetarakan tingginya dengan Vita. “Kalo nggak mau, nggak usah aja Vit, kita ngerti kok,” lalu seulas senyum memenuhi bibir merah Hendra.

            “Nggak papa kok.”

            Alvent yang memang benar-benar buta masalahnya makin bingung dengan tingkah laku Hendra dan Vita dan sedikit cemburu.

            “Elo mau tau Vent?” Vita mengulang pertanyaannya lagi.

            “Kalo nggak keberatan sih,” jawabnya sambil menaikkan kedua bahunya. Udah bilang iya daritadi masih tanya mulu. Untung gue suka sama lo, batin Alvent.

            Vita berdiri mendekati Alvent dan berhenti diantara tubuh Alvent dan Hendra.

            “Masalah gue itu sebenernya,” sengaja Vita menggantung kalimatnya.

            “Sebenernya?” Alvent penasaran sedangkan Hendra hanya melihat Vita dengan tatapan kasihan.

            “Masalah gue itu Lili!”

-ooo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar