SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Minggu, 18 Desember 2011

Between Our Heart #4

Between Our Hearts
4

-ooo-

            Suasana semakin berubah. Rumah yang dulu hangat sekarang menjadi asing bagi Vita. Meja makan yang dulu hanya diduduki oleh dua orang sekarang bertambah tiga menjadi lima orang. Rumah yang dulu hanya terisi oleh suara canda Vita dan eyang sekarang menjadi riuh oleh perdebatan, entah Vita dengan orang tuanya, Vita dengan eyang ataupun Vita dengan Lili. Gadis putih itu belum bisa menerima kenyataan ini.

            “Vita, kalo Lili ngomong jangan dicuekin,” tegur Eyang. Memang sedaritadi Lili mengajak ngobrol Vita tapi tak pernah ditanggapi dan itu membuat sang nenek geram.

            Vita mengalihkan pandangannya dari televisi kepada sang nenek. “Ngapain ngomong kalo itu nggak penting.” Lalu pandangannya menghujam ke Lili. “Nggak usah ngomong sama gue kalo cuma mau nanya-nanya Hendra.”

            “Kan elo sahabatnya dia Vit. Kalo bukan sama lo gue tanya siapa?”

            “Tanya sama tembok!!” jawabnya ketus.

            Eyang yang melihat cucunya semakin brangasan menjadi emosi. “Kamu kalo ngomong yang sopan! Percuma eyang ajarin kamu etika kalo sama sodara aja nggak sopan!!” Bentak sang nenek kepada Vita.

            Lili juga ikut tersentak mendengar Vita berbicara seperti itu. Dipandanginya Vita sampai gadis itu menghilang dibalik kamarnya. “Keliatannya Lili salah terus dimata Vita,” keluhnya.

            Eyang tahu persis perasaan cucunya satu ini. Tak pernah dianggap oleh Vita dan selalu disalahkan oleh kembarannya karena merebut perhatian orang tua mereka, tapi eyang juga tahu perasaan Vita yang terlanjur sakit, bertahun-tahun ditinggal keluarganya dan tiba-tiba keluarga yang diinginkannya muncul dengan seorang yang mirip dengan dirinya, bersama Lili saudara kembar yang tak pernah Vita tahu.

            Sambil mengelus puncak kepala Lili sang eyang menenangkan cucunya itu. “Kamu jangan ngomong gitu, mungkin sekarang Vita belum bisa terima kenyataan ini.”

            Lili melihat eyangnya yang tersenyum kepada dirinya dan refleks dia juga ikut tersenyum. “Tapi kapan Vita bisa nerima Lili? Di sekolah, di rumah, Lili nggak pernah dianggep sama dia,” ujarnya pelan. Tiba-tiba Lili merasakan matanya panas.

            “Setiap Lili ajak ngobrol, dia selalu diem. Kalo Lili mau ikut Vita main bareng Alvent juga Hendra nggak pernah dibolehin. Lili ikut mainpun itu gara-gara diajak Hendra tapi,” kata-kata Lili terhenti, air mata sudah membasahi pipinya, telapak kanan tangannya langsung menghapus air itu. “Tapi Vita selalu nyuekin Lili. Kata Vita, Lili ini cuma orang yang nyusahin dia dan dia bilang dia nggak pengen punya sodara kayak Lili,” sambungnya lagi dengan tangisan yang lebih kencang. Eyang yang melihat itu langsung mendekap tubuh Lili erat. Badannya juga ikut berguncang mengikuti irama dari tubuh Lili yang menangis terisak.

            “Lili yang sabar ya, pasti nanti Vita nerima Lili,” ucap Eyang.

            “Lili sayang sama Vita yang. Lili takut kalo pisah lagi sama dia, Lili takut kalo Lili nanti nggak bisa liat dia lagi, Lili takut kalo Lili nanti nggak     ”

            “Ssst,” Eyang mengurai pelukannya dan memandang mata Lili tajam. “Kalo kamu berusaha buat deketin Vita pasti nanti hatinya akan luluh dan Vita juga akan sayang sama kamu. Eyang bisa bilang gini karena eyang tahu Vita, ngerti?”

            Lili mengangguk dan lagi-lagi Lili menghapus air mata yang terlanjur membasahi mata dan pipinya. Mendengar ucapan eyangnya Lili menjadi sedikit tenang. Mungkin sekarang dia harus lebih bersabar agar bisa diterima oleh Vita.

            Masih dalam satu frame cerita yang sama. Dengan tokoh hidup yang sama. Satu rumah tetapi berbeda tempat, berbeda suasana dengan satu permasalahan yang sama. Vita yang baru saja membentak saudara kembarnya langung pergi dari ruang keluarga itu. Masuk ke kamarnya dengan diiringi bantingan pintu cokelat kamarnya yang membuat ukiran namanya yang tergantung di pintu itu berayun ke kiri dan kanan.

            Bipp....

            Baru saja cewek itu menelungkupkan tubuhnya di kasur, handphonenya sudah bergetar. Ada satu pesan dari Hendra.

            “Gue ke rumah elo bareng Alvent sekarang,” Vita mengeja isi pesan tersebut. “Ngapain mereka ke sini, nggak tau orang lagi kesel aja,” gerutunya. Dilihatnya jam dinding kamarnya yang menunjukan pukul empat sore.

-ooo-

            Sambil mengayuh sepeda masing-masing Hendra dan Alvent menyusuri jalanan menuju rumah Vita yang diapit oleh bukit-bukit itu dengan santai. Sengaja mereka ke rumah Vita sore ini karena mereka ingin mengajak cewek itu untuk melihat matahari tenggelam. Kegiatan yang sering mereka lakukan dulu tapi sekarang hampir tak pernah lagi.

            “Kangen gue ngeliat matahari tenggelem lagi,” kata Alvent yang tetap mengayuh sepedanya.

            “Gue juga,” jawab Hendra tanpa mengalihkan pandangannya ke depan, melihat pohon-pohon yang menjulang dikejauhan.

            Lalu mereka kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bayangan saat mereka masih kecil, bermain sepeda atau hujan-hujanan tiba-tiba berkelebat di otak mereka dan tanpa mereka sadari bibir mereka tersungging seulas senyuman. Senyuman yang menemani mereka dalam perjalanan sampai ke rumah Vita.

            “Vita disms aja apa kita yang masuk?” tanya Alvent setelah mereka sampai di depan gerbang rumah Vita.

            “Masuklah! Nggak sopan tau mau bawa pergi anak orang nggak ijin dulu,” jawab Hendra. “Ketok pintunya Vent!” tanpa turun dari sepedanya, Hendra menyuruh Alvent masuk ke rumah Vita.

            “Elo juga ikut! Turun!” Alvent langsung menarik kaos Hendra dan memaksanya turun dari sepedanya.

            Ting tong, suara bel dibunyikan mereka satu kali.

            Ting tong, dua kali.

            “Lama amat keluarnya,” gerutu Alvent.

            Ting tong, tiga kali.

            Ceklek!

            Akhirnya pintu berwarna putih dihadapan Hendra dan Alvent terbuka. Seorang perempuan berkulit putih bersih dengan kaos merah dan celana kain panjang menyambut mereka.

            Hendra dan Alvent terdiam ditempatnya, meneliti perempuan di depannya ini. Jujur saja orang itu sangat asing bagi keduanya. Baik Hendra ataupun Alvent belum pernah melihat perempuan itu.

            “Cari siapa dek?” tanya perempuan dihadapan Alvent dan Hendra.

            Hendra dan Alvent langsung salah tingkah. Sebenarnya mereka sudah punya jawabannya yaitu ingin mencari Vita tapi tiba-tiba tak ada yang menjawab, mereka takut kalau-kalau mereka salah rumah.

            “Kami cari Vita tante, eh bu, eh teteh,” jawab Alvent yang tak karuan.

            Perempuan tadi tersenyum geli melihat tingak dua orang pemuda dihadapannya. “Panggil tante aja. Kalian temen sekolahnya Vita?”

            Alvent dan Hendra mengangguk. Mereka semakin penasaran dengan identitas perempuan itu.

            “Saya mamanya Vita,” ujar perempuan dihadapan Alvent dan Hendra yang ternyata mama dari Vita. Mama dari sahabatnya. Tidak bisa dipercaya untuk Alvent dan Hendra bisa betemu dengan mamanya Vita secepat ini setelah seminggu yang lalu bertemu dengan kembarannya. Sunggu keajaiban!

            “Ya udah tante panggilin Vita dulu ya,” ucapnya lagi yang melihat bahwa teman dari anaknya ini tak akan bicara.

            Alvent memandang punggung mama sahabatnya itu menghilang dari pandangannya lalu buru-buru melihat Hendra yang juga masih takjub dengan semua itu.

            “Itu beneran nyokapnya Vita?” tanya Alvent memastikan.

            Hendra memandang Alvent dan mengangkat bahunya. “Iya mungkin.”

            Suasana menjadi hening. Alvent geleng-geleng kepala sendiri sedangkan Hendra melihat-lihat foto-foto di ruang tamu rumah Vita.

            “Vit,” tiba-tiba Alvent memanggil Vita yang membuat Hendra kaget.

            “Gue bukan Vita Vent, gue Lili,” jawab orang yang dipanggil Alvent tadi.

            “Sorry Li, abisnya mirip sih.” Alvent merasa bersalah, untuk kesekian kalinya dia salah manggil Lili jadi Vita, kalo manggil Vita sih nggak pernah salah jadi Lili. Baginya dan Hendra mending salah manggil Lili jadi Vita daripada Vita jadi Lili bisa kacau entar urusannya. Melihat itu Hendra yang duduk disebelahnya menjadi tertawa.

            “Namanya juga kembar pasti miriplah,” protes Lili yang membuat Hendra tertawa semakin keras.

            “Rasain lo Venta,” cela Hendra yang makin puas melihat muka sahabatnya yang innocent itu.

            “Maaf deh kalo gitu,” ujar Alvent.

            “Iya, gue juga bercanda ini. Oh iya, kalian mau ngapain ke sini?”

            “Mau pergi sama Vita,” jawab Alvent. “Elo mau ikut?” tawarnya kemudian.

            “Gue?” Lili menunjuk dirinya sendiri dan Alvent mengangguk. “Enggak deh, entar ganggu.”

            Hendra mengerenyitkan keningnya, bingung sama maksudnya Lili. “Ganggu gimana? Elokan juga temen kita, kembarannya Vita pula,” ucap Hendra diplomatis. “Udah ikut aja biar rame, ya nggak Vent?”

            “Bener tu kata Hendra, ikut aja deh,” bujuk Alvent lagi.

            Lili sudah membuka mulutnya untuk menjawab bujukan Alvent dan Hendra tapi tiba-tiba Vita muncul ditengah-tengah mereka dan membuat Lili langsung tidak bersuara. Vita sedang menghujamkan pandangannya ke dirinya.

            “Yuk berangkat!” ucap Vita sedikit membentak.

            Hendra dan Alvent langsung berdiri dari sofa merah yang berada di ruang tamu itu. “Jadi ikut nggak Li?” tawar Hendra lagi.

            “Nggak usah!” protes Vita tiba-tiba.

            “Guekan tanya ke Lili bukan ke elo Vit,” ucap Hendra yang mecoba sabar menghadapi sahabat ceweknya yang sedang labil akhir-akhir ini.

            “Tapi gue enggak mau pergi kalo Lili ikut. Elo tinggal pilih, kalo elo ajak gue, Lili nggak ikut,” Vita memandang Hendra taajam. “Tapi kalo lo ajak Lili,” sekarang giliran Lili yang ditatap Vita, “Gue yang nggak ikut,” sambungnya.

            Lili tercekat mendengarnya, tatapan Vita belum lepas dari matanya, seolah-olah sedang mengunci pergerakannya. Hendra yang mendengarnya juga ikut diam. Tak perbah disangkanya, Vita sahabatnya yang supel bisa jadi bringasan seperti ini.

            “Emang apa salahnya pergi sama Lili?” tanya Hendra yang masih kekeh mengajak Lili.

            Vita melepaskan tatapannya dari Lili dan sekarang ditatapnya Hendra. “Gue nggak suka sama dia!”

            Alvent yang melihat kondisi ruangan itu semakin pansa mencoba mendinginkan dengan mencarikan solusi yang lebih baik. “Pergi sama Vita ajalah Ndra, tadi Lili juga udah nolak kitakan?”

            Hendra menggeleng, ditatapnya Vita semakin tajam. “Gue males pergi sama cewek yang emosian kayak dia Vent. Mending gue pergi sama Lili, walopun mukanya sama tapi hatinya beda.”

            Alvent melongo mendengar jawaban Hendra. Tegas dan tanpa dibuat-buat.

            “Elo maukan pergi sama gue Li?” tatapan Hendra berubah menjadi lembut saat bertemu dengan mata sayu milik Lili.

            Lili masih diam. Wajahnya jadi pucat. “Yuk Li,” tiba-tiba Hendra menarik tangan Lili tanpa menunggu jawaban dari mulutnya. Mereka berdua keluar melewati Alvent dan Vita yang menatap mereka.

            Vita tak bisa bicara lagi. Hendra lebih memilih Lili daripada dirinya. Memilih orang yang belum lama dikenalnya daripada dia yang telah berbelas-belas tahun bersahabat.

            “Elo nggak papa Vit?” tanya Alvent yang khawatir dengan keadaan cewek itu. Vita menggeleng pelan.

            “Mending pergi sama gue yuk?” tawar Alvent dan lagi-lagi Vita menggeleng.

            “Gue mau tidur aja Vent. Nggak papakan?”

            Alvent mengangguk mengerti, mungkin bukan sekarang, pikirnya.

            “Ya udah, istirahat aja gih, muka lo pucet banget.”

            “Makasih,” ucap Vita lalu menghilang dari hadapan Alvent.

            Dengan tersenyum Alvent meninggalkan rumah Vita. Mengayuh sepedanya yang tiba-tiba jadi berat. Dia tahu Vita suka dengan Hendra. Dia tahu Vita cemburu dengan Lili. Dia tahu jika dia tak lebih dari seorang sahabat bagi Vita.

            Kapan elo liat gue Vit?, batinnya berbicara pelan.

-ooo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar