Between Our Hearts
1
Titik-titik hujan menjadi saksi seuatu peristiwa penting keluarga itu. Seorang wanita paruh baya memandang bayi mungil dipelukannya. Rasa kasihan terpancar dimata tuanya itu. Tak pernah ia sangka bahwa bayi sekecil ini akan berpisah dengan orang tua kandungnya.
“Kau yakin Pras akan meninggalkan bayi ini denganku?” Wanita paruh baya itu memalingkan pandangannya dari si bayi kepada sepasang suami istri dihadapannya sekarang. Lebih tepatnya kepada sang suami yang notabennya anaknya sendiri.
“Iya bu,” kata sang suami yang tak yakin dengan jawabannya sendiri. “Ini yang terbaik untuk dia sekarang,” sambungnya lagi.
“Sedangkan kau Ira?” Sekarang pandangan wanita paruh baya itu menghujam sang istri yang juga sedang menggendong seorang bayi. “Kau tega memisahkan bayi ini dengan ibunya sendiri juga dengan kembarannya?”
Wanita bernama Ira itu tak kunjung menjawab pertanyaan ibu mertuanya. Rasa bersalah dan berdosa sebagai seorang ibu menusuk tajam ke hatinya. Sekarang hati dan otaknya tak mau bekerja sama. Logika dan perasaan bersebrangan satu sama lain.
“Kalau begitu aku akan menjaga bayi ini,” kata wanita paruh baya itu saat melihat menantunya tak kunjung berbicara. “Dan sekarang kalian boleh pergi ke Singapura bersama putri yang kalian bawa.”
Tanpa berbicara, sepasang suami istri itu keluar dari sebuah rumah sederhana. Meninggalkan salah satu putinya kepada orang tua mereka. Saat ini mereka harus mampu memilih. Perasaan tidak sepenuhnya berperan dalam kondisi sekarang ini karena sekarang yang mempunyai kuasa adalah logika. Dan logika yang menyeret mereka dalam ketegasan yang benar-benar tegas. Melepaskan salah satu putri mereka yang belum genap satu bulan bersama eyangnya dan tak tau kapan akan bisa melihatnya lagi.
-ooo-
Aku merindukan apa yang mereka sering sebut dengan orang tua.
17 tahun kemudian...
“Vita sarapannya dimakan dulu,” nasehat sang eyang kepada cucu kesayangannya itu. “Sampe habis,” lanjutnya lagi saat melihat Vita hanya menyendok nasi gorengnya satu kali.
“Iya..iya...” jawab Vita sambil menghabiskan sepiring nasi goreng spesial plus telor mata sapi dihadapannya.
“Vita..Vita..” Seseorang memanggil Vita dari luar. Sepertinya Vita mengenali suara itu. Suara sahabat-sahabatnya dari kecil. Sahabat yang selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Ya, mereka Hendra dan Alvent.
“Tunggu!!” Balas Vita dengan berteriak juga. “ Aku berangkat sekolah dulu yang,” pamit Vita setelah sarapannya habis dan tak lupa mencium tangan eyangnya sebelum berangkat sekolah.
“Hati-hati.” Sang eyang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat cucu perempuannya itu berlari ke luar rumah. Sekarang cucu kecilnya telah tumbuh jadi remaja. Parasnya cantik, kulitnya putih, badannya tinggi dari biasanya gadis di daerah mereka dan cucunya itu memiliki senyum yang manis. Dan seulas senyum mengembang dibibir sang eyang tepat disaat punggung Vita hilang dari pandangannya.
“Lama amat lo nyet,” cibir Hendra saat Vita muncul dari pintu.
Vita menyeringai lebar, tau bahwa sekarang dirinya memang salah. “Hehe sorry deh Ndra tadi sarapan dulu.”
“Ya udah, berangkat aja sekarang,” kata Alvent nimbrung. “Daripada lo berdua berantem entar kita jadi telat.” Nasehatnya.
“Siap!!” Hendra dan Vita bergaya bak tentara yang sedang hormat kepada atasannya. Beginilah sikap mereka kalu Alvent telah memberi wejangan-wejangannya.
“Lebay,” ujar Alvent sambil menaiki sepeda hijaunya. “Lo ikut gue apa Hendra Vit?” tanya Alvent kemudian.
Vita memandangi kedua sahabatnya itu yang sudah berada disepedanya masing-masing. Alvent dengan sepeda
gunungnya warna hijau sedangkan milik Hendra warna Biru. “Hendra aja deh,” ucapnya sambil mendekati sepeda milik Hendra dan bersiap menaikinya.
“Siap?” tanya Hendra kepada Vita yang telah berdiri dibelakangnya.
“Siap!” jawabnya dengan memperkuat pegangannya pada kedua pundak Hendra.
“Berangkaaatttt!!!!”
Sepeda Hendra melaju di depan Alvent. mengayuh dan mengayuh disusul dengan Alvent. Ketiga sahabat itu tertawa bersama dijalan menuju sekolah mereka. Diapit dengan bukit-bukit suara mereka terdengar nyaring. Vita yang berdiri di belakang Hendra berusaha menyeimbangkan badannya dengan gerakan sepeda Hendra saat belok atau saat jalanan turun. Momen yang sangat disukainya dalam bagian hidupnya. Naik sepeda berdua dengan Hendra. Romantis bukan?
Sedangkan bagi Alvent, momen ini adalah momen yang paling buruk dalam perjalanan hidupnya. Melihat orang yang disayanginya dalam boncengan orang lain. Dan yang paling membuatnya makin seperti pengecut adalah saat dimana tak ada alasan yang melarang Vita untuk lebih memilih Hendra dibanding dirinya karena Vita bukanlah siapa-siapanya. Vita hanya sahabatnya dan juga sahabat Hendra. Kapan elo ngerti perasaan gue, batin Alvent ditengah senyumnya.
“Eh Vit, kemaren elo kita pangil kok nggak nyaut?” Kata Alvent saat mereka sedang melalui koridor sekolah menuju kelas mereka.
Alis Vita naik, bingung dengan ucapan Alvent. “Kapan?”
“Kemaren. Ya nggak Ndra?” Hendra mengangguk.
“Kemaren gue di rumah kok,” jawab Vita dengan jujur. “Salah orang kali lo berdua.”
Alvent dan Hendra berpandangan. Bagi mereka mengenali Vita itu tak perlu harus melihat satu jam baru bisa meyakinkan orang itu Vita, tapi hanya sekilas melihat mereka tahu bahwa itu Vita atau bukan.
“Nggak mungkin!” Kata Alvent dan Hendra hampir bersamaan.
“Terserah deh kalo nggak percaya. Tanya aja sama eyang gue sana.” Vita ngeloyor meninggalkan Alvent dan Hendra yang berhenti di depan kelas anak kelas sepuluh. Kemarin Vita benar-benar berada di rumah membantu sang eyang membuat brownies cokelat kesukaannya.
“Terus yang kita liat siapa Vent?” tanya Hendra bingung. Alvent hanya menaikan kedua bahunya dan menyusul Vita menuju kelasnya.
-ooo-
Vita sedang memandang papan tulis yang berisi rumus-rumus matematika. Hanya melihatnya bisa membikin Vita pusing apalagi harus mengerjakan soal-soal di buku paket yang dibelinya dengan harga super mahal itu. Kadang dia kasihan kepada sang eyang yang sudah membelikan buku-buku paket yang akhirnya tak pernah dibaca Vita kecuali bila kepepet.
“Ssst...” Suara yang disertai dengan gulungan kertas dimejanye membuat Vita bangun dari lamunan sesaatnya.
“Apaan?” sautnya dengan suara pelan saat mengetahui bahwa Alvent yang memanggilnya tadi.
Vita memandang Alvent yang sedang menunjuk-nunjuk keluar jendela. Menunjuk kepala sekolah mereka. Vita bingung dengan maksud sahabatnya itu.
“Apaan?” tanyanya lagi yang masih tak mengerti. Alvent masih saja menunjuk keluar.
“Alvent! Vita!” Tegur pak Adi yang mendengar keributan dari mereka berdua.
Vita dan Alvent langsung diam dan memperhatikan pelajaran lagi. Tapi tak lama dari itu ada kertas yang mendarat di meja Vita.
Liat keluar, cewek yang sama kepsek, mukanya mirip sama elo!!!
Kening Vita berkerut membaca surat dari Alvent. Mana ada orang mirip dengannya? Bagi Vita, wajahnya itu edisinya terbatas! Cuma satu di muka bumi ini! Untuk menghilangkan rasa penasarannya Vita bergegas berdiri dan meminta ijin kepada pak Adi untuk ke toilet.
“Jadi nanti kamu akan sekolah disini. Semoga kamu suka ya.” Samar-samar Vita mendengar percakapan antara Kepala Sekolahnya dengan seseorang. Sepertinya murid baru. Tapi wajah murid itu tak terlihat oleh Vita karena tertutupi badan dari kepseknya.
Vita bersembunyi di samping dinding salah satu kelas saat sang kepsek dan murid baru lewat, tepat saat murid baru itu dihadapannya, Vita menahan nafas, kakinya seperti ingn luruh ke dalam bumi. Murid baru itu, murid yang daritadi ingin dilihatkan Alvent kepadanya. Murid baru yang benar-benar mirip dengannya. Bentuk wajahnya, bentuk tubuhnya, semuanya mirip dengan Vita. Dia sekarang bagaikan bercermin. Dan mulai sekarang Vita ada dua!!!
-ooo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar