Hallooooo...... setelah sekian lama gue nggak nulis, akhirnya gue nulis lagi, di blog pula!! haha biasalah guekan penulis notes FB.
Di sini gue enggak mau nulis cerita yang romantis atau cerita yang biasanya gue bikin, di sini gue mau curhat sebentar. Bolehkan? Bolehlah inikan blog gue jadi suka-suka gue dong week ;p
Oh iya tadikan gue abis buka-buka FB, ngutak-ngatik sampe kegiatan FB gue di tahun 2009, dimana gue buat itu FB tanggal 26 Mei tahun 2009 dengan temen pertama itu Kharisma, dia itu sahabat gue dari smp. Yeah, she is my best friend ever amin.
Kalo gue liat-liat nih tulisan gue jaman itu, ternyata gue nyadar kalo dulu itu gue 'ALAY' yah gue alay gitu. Tulisan gEdE kECiL sumpah gue geli sendiri bacanya, bahkan ada tulisan gue sendiri yang nggak kebaca!!! Yah mungkin bener apa kata Raditya Dika, kalo manusia itu perlu 'Alay' untuk masuk ke fase dewasa. Dan it's me. Gue jadi normal sekarang kalo nulis, ya bisa kalian liatlah sekarang. tulisan gue bisa dibaca semua haha *bangga*
Tapi ada yang bikin gue kangen waktu liat-liat FB tadi, dimana itu jadi sebuah rekaman kecil perjalanan hidup gue dari bulan Mei 2009 sampe sekarang. Gue jadi kangen sama temen-temen smp gue waktu liat wall-wallan gue sama mereka. Gimana gue bisa enjoy banget sama mereka, bukan berarti sekarang gue enggak enjoy ya sama temen sma gue. Tapi setiap masa itu bagi gue ninggalin kesan tersendiri. Ya walopun temen sma ini banyak banget yang dari smp gue dulu tapi suasananya udah beda. Gedung sekolahnya, kelasnya, kantinnya, gurunya, semuanya beda. Dulu gue smp 3, dimana itu sekolah bangunannya cuma kotak. Punya sahabat-sahabat yang baik, ada Putri, Dilla "Kajol" , Vina, Vivin, Fardha, Anin, Kharisma, Ilma, Angel dan yang lainnya.
I miss my jhs friends... I miss my last moment with them :"
Tapi, semua itu udah jadi cerita lalu, kenangan yang nggak akan gue lupain. Thanks guys, you are giving me the best experience in my life, love you all :*
SELAMAT DATANG
Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...
Kamis, 19 Januari 2012
Senin, 09 Januari 2012
Between Our Heart #8
-ooo-
Between Our Hearts
8
-ooo-
Hari ini benar-benar kacau untuk Vita. Matanya sembab karena harus menangis semalaman. Ternyata menolak cinta seseorang itu tidak semudah yang dia pikirkan. Dan memutuskan cinta adalah hal yang lebih sulit dilakukan. Sedangkan kemarin, dihari bahagianya, kedua hal tersulit itu dia lakukan. Dia menolak cinta Hendra dan memutuskan cinta Alvent. Benar-benar miris kisah cinta seorang Vita Marissa.
Dalam tangisnya Vita tak pernah tau bahwa yang menangis bukan hanya dirinya. Alvent juga menangis. Hendra juga menangis sedangkan Lili merasa sakit.
Lili sakit tapi Vita tak tahu. Dia bukan ingin menyembunyikannya tapi terkadang Vita yang tak peka. Karena penyakitnya inilah dia yang dibawa orang tua mereka tinggal di Singapura. Kanker hati. Sakit yang dideritanya sejak kecil. Vonis kematian yang terus didengarnya setiap ingin sembuh dan keinginan untuk melihat Vitalah yang menguatkannya selama berbelas-belas tahun.
Tapi saat satu-satu alasannya telah tercapai. Dia sudah pasrah. Kapanpun utusan Tuhan akan mengambilnya, dia telah siap. Siap dengan segala kemungkinan yang ada.
Tok tok
Suara ketukan pintu terdengar dari dalam kamar Vita. Vita yang sedang melamun langsung bergegas keluar untuk menerima tamu itu.
“Permisi non,” sapa seseorang setelah Vita membukan pintunya. “Benar ini rumahnya Liliyana Natsir?” tanyanya kemudian.
Vita memandang sekilas orang yang di depannya itu. Bapak-bapak dengan sebuket bunga mawar merah ditangannya. “Iya. Ada apa ya?”
“Ini ada titipan untuk non Liliyana,” kata orang itu yang ternyata kurir bunga.
Vita menerima sebuket mawar yang indah.
“Boleh tanda tangan di sini?” kurir bunga itu menyodorkan selembar kertas tanda bukti penerimaan barang.
Vita telah selesai menanda tangani kertas itu. Kurir bunga itu juga sudah pergi. Sekarang Vita sedang membawa mawar itu ke kamar Lili, karena sejak tadi pagi Lili belum juga keluar kamar, sedangkan anggota rumah yang lain sedang pergi ke rumah salah satu saudara mereka.
“Li..” kata Vita sambil sesekali mengetuk pintu berwarna putih itu.
“Li,” ulang Vita saat pintu itu belum terbuka juga.
“Ini ada titipan bunga Li, buka pintunya dong,” mohon Vita yang tak sabaran. Tapi pintu itu tetap tertutup, tak ada tanda-tanda Lili akan keluar dari sana.
Vita memang tak sabar. Gagang pintu kamar Lili langsung dipegang dan didorongnya, ternyata kamar Lili tak terkunci. Tapi kamar Lili kosong tak ada seorangpun disana.
“LILI!!!”
-ooo-
Di dalam ruangan bernuansa serba putih itu, Vita sibuk mondar-mandir kesana kemari. Dia gelisah dengan apa yang baru saja dilihatnya. Tadi saat Vita masuk kamar Lili dia melihat saudara kembarnya sudah tergeletak di lantai dengan darah yang keluar dari hidung dan mulutnya.
“Vit,” seseorang mengagetkan Vita.
“Alvent,” desisinya dan langsung memeluk cowok yang berada di hadapannya itu. “Gue takut Vent,” kata Vita.
Alvent mencoba menenangkan mantan kekasihnya itu. Dipeluknya erat tubuh Vita yang berguncang karena menangis.
“Sabar Vit,” ucap Alvent.
Vita masih dalam dekapan Alvent. Lili masih di dalam bersama dokter dan suster.
“Di sini ada orang tua dari saudari Lili?,” ucap seorang dokter yang keluar dari ruang ICU.
Vita melepaskan tubuhnya dari Alvent. Di dekatinya dokter itu dengan langkah cepat-cepat.
“Saya saudara kembarnya.”
“Kalau begitu anda ikut saya,” ucap sang dokter lalu mengajak Vita ke ruangannya.
Vita dengan tegang duduk di depan dokter yang menangani Lili tadi. Dengan seksama dia mendengarkan segala penjelasan dokter itu.
“Jadi, saudari Lili terkena kanker hati stadium akhir,” kata sang dokter diakhir penjelasannya.
Dan seperti patung, Vita hanya terdiam. Kata-kata dokter itu terus terngiang di otaknya. Kanker hati. Lili terkena kanker hati stadium akhir.
“Kanker hati?” tanya Vita tak percaya. Sang dokter hanya mengangguk.
“Apa yang bisa saya lakukan?” tanya Vita lagi. Dia tak ingin berpisah dengan kembarannya lagi. Cukup satu kali dalam hidupnya dan tak mau jika itu terjadi lagi.
“Hanya ada satu cara, yaitu dengan donor hati. Tapi itu hanya mempunyai kemungkinan dua puluh persen untuk berhasil.”
Vita lunglai. Dengan langkah yang diseret dia keluar dari ruangan dokter itu. Seperti ruangan eksekusi bagi Vita. Ternyata di luar tak hanya ada Alvent tapi juga ada Hendra. Dia tersenyum saat Hendra menatapnya.
“Lili gimana?” tanyanya langsung dan mendekat ke Vita. Vita bingung harus bicara apa. Bilang jika Lili terkena kanker hati dan hampir mati. Apakah Vita harus bilang begitu?
Akhirnya Vita menggeleng pelan. Hanya dengan gelengan Vita ingin bicara dan biar mereka yang melihatnya mendefinisikannya sendiri. Gelengan ketidaktahuan atau gelengan kepasrahan.
Vita hanya bisa melihat Lili dari balik kaca. Dia seperti melihat raganya sendiri yang tertidur. Banyak sekali selang yang menempel pada tubuh Lili. Banyak sekali alat yang mendampingi tidur Lili.
Suara langkah yang keras dan terburu-buru memalingkan pandangan Vita dari Lili. Orang tua dan eyang putrinya sedang berjalan cepat dari pojok lorong rumah sakit itu. Dan saat mereka mendekat Vita langsung memeluk mamanya. Dia menangis dalam dekapan ibunya. Orang yang selama sembilan bulan mengandungnya juga Lili dalam rahimnya.
Semalaman Vita tak bisa tidur. Malam ini dengan penuh paksaan seluruh orang terdekatnya, Vita diharuskan pulang. Dia dilarang menunggu Lili di rumah sakit.
Di kasur kamarnya Vita hanya merubah-rubah posisi tidurnya. Menghadap kiri lalu kanan dan terlentang. Itu-itu saja yang dia lakukan. Karena matanya tak juga tertutup dia memutuskan untuk keluar dari kamarnya.
Di ruang keluarganya ternyata ada Hendra dan Alvent yang sudah terlelap. Mereka tidur seadanya di sofa rumah Vita. Vita yang melihat itu merasa senang. Seperti embun dalam kekeringan.
Lalu Vita kembali melangkah. Sekarang dia terhenti di depan kamar Lili. Pintu putih yang menyedihkan. Yang menyembunyikan sakit di dalamnya. Pintu yang tak membiarkan orang melihat jika Lili sedang menahan sakit.
Krett
Pintu itu terbuka. Vita memasukinya. Ruangan yang kosong. Hanya ada barang-barang Lili di sana. Lukisan Lili juga terpajang dengan rapi. Salah satu yang membuat Vita iri kepada bakat Lili.
Bau kamar Lili sedikit asing dengan kamarnya. Bau kamar ini didominasi oleh bau obat. Dan benar, di meja rias Lili bukannya ada bedak dan semacamnya tetapi hanya ada obat-obatan yang banyaknya tidak terkira.
Vita mencoba menahan air matanya saat melihat kenyataan itu. Dan di atas kasur Lili terdapat buku. Buku harian Lili.
Lembar demi lembar dibaca Vita. Kehidupan Lili saat di Singapura. Kehidupan Lili saat di Indonesia. Semuanya tak terlewatkan oleh Vita.
Dan di akhir-akhir buku itu ada lembaran yang membuat Vita tertarik. Goresan tangan Lili juga tak serapi sebelumnya. Tulisannya sedikit bergetar serta ada bercak darah di sana.
Aku iri sama Vita. Iri sama Vita. Iri sama Vita.
Baris pertama yang membuat hati Vita langsung tersayat.
Aku iri sama dia Tuhan. Dia sehat sedangkan aku sakit. Dia nggak harus mengonsumsi obat dari kecil, sedangkan aku sejak kecil harus minum obat dan dikemo.
Dia iri sama aku Tuhan. Vita iri sama Lili. Dia iri sama aku.
Vita tertegun membacanya. Dia iri dengan Lili.
Dia iri karna akulah yang dipilih mama dan papa. Tapi aku dipilih karena sakit. Karena aku lebih lemah dari Vita. Apa Vita masih iri jika tau itu?
Aku tahu Vita benci aku saat dia melihatku. Matanya cukup menggambarkan betapa sakitnya. Betapa rindunya dia dengan mama dan papa. Dan aku bisa menerima itu. Menerima segala sifatnya yang dia lakukan kepadaku.
Vita membalik lembaran itu.
Cukup lama aku bisa membuat hati Vita mencair. Dan saat hari itu tiba. Saat Vita mau berbicara denganku. Dia mengajakku pulang bersama. Dan itu membuatku sangat senang.
Vita menyeka air matanya yang meleleh. Dibaliknya lagi lembaran berikutnya.
Hari ini hari ulang tahunku, juga Vita. Semuanya indah. Ulangtahun terindah yang pernah aku rasakan. Tapi semuanya tak seindah yang aku kira. Hendra tak mengucapkan apa-apa padaku saat di sekolah. Mengucapkan selamat ulang tahunpun tidak, apalagi memberiku hadiah. Tapi kepada Vita semuanya dia lakukan. Mendatangi kelasnya, mengajaknya ke danau dan menembaknya.
Tuhan, aku sayang Hendra...
Tapi, Hendra mencintai Vita...
Aku harus bagaimana Tuhan...
Vita menutup mulutnya yang tak disadarinya terbuka. Rahasia yang baru dia tahu, jika Lili menyukai Hendra.
Hendra ditolak. Dia curhat kepadaku semalaman. Melalui telepon dia marah-marah. Dia tak terima jika Vita dan Alvent membohonginya. Tapi apakah saat Hendra menceritakan semuanya dia tak menyadari perasaanku. Tak menyadati cintaku.
Dan dilembar terakhir buku itu Vita semakin tercengang. Goresan tinta itu benar-benar menusuk hatinya.
Aku ingin menjadi Vita yang sehat, tidak menjadi Lili yang sakit. Aku ingin menjadi Vita yang bisa berlari cepat, tidak menjadi Lili yang lemah. Aku ingin menjadi Vita yang dicintai Hendra, tidak menjadi Lili yang hanya bisa mencintai Hendra.
-ooo-
Keputusan sudah dibuat bulat-bulat. Tak ada pilihan lain selain ini. Selain mendonorkan hati. Mendonorkan hati Vita untuk Lili. Vita dengan perdebatan yang sangat keras dengan kedua orang tuanya dan eyangnya. Semuanya melarang, tapi dengan segala upayanya akhirnya mereka mengiyakan. Dan disaat orang tua dan eyangnya mengiyakan, Vita harus berhadapan dengan Alvent dan Hendra.
“Elo nggak boleh ngelakuin itu!” tolak Alvent mentah-mentah.
“Tapi gue mau,” bela Vita sebisanya. Sebenarnya dia juga ragu dengan ini semua tapi hati kecilnya ingin melakukan semua ini, memberikan hidupnya untuk Lili.
“Please Vit, jangan,” kata Hendra. Sekarang mereka bertiga sedang ada di atas bukit. Alvent dan Hendra menentang keputusan Vita.
“Siapa yang nemenin aku main bulu tangkis lagi?” tanya Alvent. Matanya sudah merah, dia tak ingin kehilangan orang yang dicintainya.
“Ada Hendra,” jawab Vita lembut dan menatap Hendra. “Iyakan?”
“Siapa yang bakal bonceng sepeda gue lagi?” sekarang Hendra yang bertanya.
“Lili.”
“Lili sama elo beda Vit, kita maunya elo bukan Lili. Sebaik-baiknya Lili, selembut-lembutnya dia. Kita pengennya elo! Vita bukan Lili!”
Vita terdiam. Ternyata dia sangat berharga bagi kedua sahabatynya ini.
“Siapa yang mau nemenin kita liat sunset?” Alvent tak henti-hentinya bertanya.
“Siapa yang bakal dengerin gue curhat? Siapa yang mau gue ajak jalan? Siapa yang mau..” pertanyaan Alvent terhenti saat Vita memeluknya. Tangis Alvent akhirnya luruh. Dengan saksi senja sore itu dia menangis dalam pelukan
Vita.
“Gue sayang sama elo Vit. Please jangan lakuin itu,” bisik Alvent lemah. Tapi Vita hanya diam. Matanya menerawang ke depan. Ke hari esok yang belum tentu dia lihat lagi. dia belum tentu merasakan pelukan Alvent, senda gurau Hendra apalagi masakan eyang putrinya.
Hendra yang melihat itu hanya bisa menyembunyikan air matanya. Melihat matahari yang tenggelam dibalik tubuh Vita dan Alvent yang sedang berpelukan. Menahan sakit yang dia rasakan dan menahan pilu yang akan datang nanti saat Vita sudah tak ada dipandangannya.
-ooo-
Sekarang gue kasihin hidup ini ke elo Li. Sekarang elo udah bisa jadi gue, iyakan? Elo udah bisa jadi Lili yang sehat, yang bisa lari cepet dan bisa dicintai Hendra. Hendra cinta gue karena hati gue dan sekarang elo punya hati gue jadi Hendra bisa dong cinta sama elo? Tapi bilangin ke Alvent ya, jangan khawatir karena hati yang gue kasiin ke elo cuma setengah, biar gue di sini bisa ngerasain cinta yang dikasih sama Alvent. Bye Li, gue sayang sama elo, mama, papa, eyang sama Hendra juga sama Alvent.
Dan hilang. Gambar Vita hilang dari layar televisi itu. Video yang diberikan Vita kepada Lili. Hidup yang diberikan Vita kepada Lili.
“Makasih Vit,” desisi Lili yang diiringi air mata. Entah air mata apa itu, kebahagiaankah atau penyesalan karena membiarkan Vita meninggalkan dunia ini.
Hari ini, tepat satu bulan kepergian Vita. Lili yang ditemani Alvent dan Hendra berkunjung ke makan Vita. Dibawah tanah itu, Vita sudah tidur dengan tenang. Meninggalkan semua kenangan yang tak akan pernah dilupakan oleh orang-orang yang menyayanginya. Cinta dan segala yang ada pada Vita akan tetap hidup di hati mereka semua. Karena dengan inilah mereka bisa mengenang Vita dan membiarkan Vita tetap hidup.
TAMAT
-ooo-
Makasih ya, sampai jumpa dikaryaku selanjutnya ;D
Between Our Hearts
8
-ooo-
Hari ini benar-benar kacau untuk Vita. Matanya sembab karena harus menangis semalaman. Ternyata menolak cinta seseorang itu tidak semudah yang dia pikirkan. Dan memutuskan cinta adalah hal yang lebih sulit dilakukan. Sedangkan kemarin, dihari bahagianya, kedua hal tersulit itu dia lakukan. Dia menolak cinta Hendra dan memutuskan cinta Alvent. Benar-benar miris kisah cinta seorang Vita Marissa.
Dalam tangisnya Vita tak pernah tau bahwa yang menangis bukan hanya dirinya. Alvent juga menangis. Hendra juga menangis sedangkan Lili merasa sakit.
Lili sakit tapi Vita tak tahu. Dia bukan ingin menyembunyikannya tapi terkadang Vita yang tak peka. Karena penyakitnya inilah dia yang dibawa orang tua mereka tinggal di Singapura. Kanker hati. Sakit yang dideritanya sejak kecil. Vonis kematian yang terus didengarnya setiap ingin sembuh dan keinginan untuk melihat Vitalah yang menguatkannya selama berbelas-belas tahun.
Tapi saat satu-satu alasannya telah tercapai. Dia sudah pasrah. Kapanpun utusan Tuhan akan mengambilnya, dia telah siap. Siap dengan segala kemungkinan yang ada.
Tok tok
Suara ketukan pintu terdengar dari dalam kamar Vita. Vita yang sedang melamun langsung bergegas keluar untuk menerima tamu itu.
“Permisi non,” sapa seseorang setelah Vita membukan pintunya. “Benar ini rumahnya Liliyana Natsir?” tanyanya kemudian.
Vita memandang sekilas orang yang di depannya itu. Bapak-bapak dengan sebuket bunga mawar merah ditangannya. “Iya. Ada apa ya?”
“Ini ada titipan untuk non Liliyana,” kata orang itu yang ternyata kurir bunga.
Vita menerima sebuket mawar yang indah.
“Boleh tanda tangan di sini?” kurir bunga itu menyodorkan selembar kertas tanda bukti penerimaan barang.
Vita telah selesai menanda tangani kertas itu. Kurir bunga itu juga sudah pergi. Sekarang Vita sedang membawa mawar itu ke kamar Lili, karena sejak tadi pagi Lili belum juga keluar kamar, sedangkan anggota rumah yang lain sedang pergi ke rumah salah satu saudara mereka.
“Li..” kata Vita sambil sesekali mengetuk pintu berwarna putih itu.
“Li,” ulang Vita saat pintu itu belum terbuka juga.
“Ini ada titipan bunga Li, buka pintunya dong,” mohon Vita yang tak sabaran. Tapi pintu itu tetap tertutup, tak ada tanda-tanda Lili akan keluar dari sana.
Vita memang tak sabar. Gagang pintu kamar Lili langsung dipegang dan didorongnya, ternyata kamar Lili tak terkunci. Tapi kamar Lili kosong tak ada seorangpun disana.
“LILI!!!”
-ooo-
Di dalam ruangan bernuansa serba putih itu, Vita sibuk mondar-mandir kesana kemari. Dia gelisah dengan apa yang baru saja dilihatnya. Tadi saat Vita masuk kamar Lili dia melihat saudara kembarnya sudah tergeletak di lantai dengan darah yang keluar dari hidung dan mulutnya.
“Vit,” seseorang mengagetkan Vita.
“Alvent,” desisinya dan langsung memeluk cowok yang berada di hadapannya itu. “Gue takut Vent,” kata Vita.
Alvent mencoba menenangkan mantan kekasihnya itu. Dipeluknya erat tubuh Vita yang berguncang karena menangis.
“Sabar Vit,” ucap Alvent.
Vita masih dalam dekapan Alvent. Lili masih di dalam bersama dokter dan suster.
“Di sini ada orang tua dari saudari Lili?,” ucap seorang dokter yang keluar dari ruang ICU.
Vita melepaskan tubuhnya dari Alvent. Di dekatinya dokter itu dengan langkah cepat-cepat.
“Saya saudara kembarnya.”
“Kalau begitu anda ikut saya,” ucap sang dokter lalu mengajak Vita ke ruangannya.
Vita dengan tegang duduk di depan dokter yang menangani Lili tadi. Dengan seksama dia mendengarkan segala penjelasan dokter itu.
“Jadi, saudari Lili terkena kanker hati stadium akhir,” kata sang dokter diakhir penjelasannya.
Dan seperti patung, Vita hanya terdiam. Kata-kata dokter itu terus terngiang di otaknya. Kanker hati. Lili terkena kanker hati stadium akhir.
“Kanker hati?” tanya Vita tak percaya. Sang dokter hanya mengangguk.
“Apa yang bisa saya lakukan?” tanya Vita lagi. Dia tak ingin berpisah dengan kembarannya lagi. Cukup satu kali dalam hidupnya dan tak mau jika itu terjadi lagi.
“Hanya ada satu cara, yaitu dengan donor hati. Tapi itu hanya mempunyai kemungkinan dua puluh persen untuk berhasil.”
Vita lunglai. Dengan langkah yang diseret dia keluar dari ruangan dokter itu. Seperti ruangan eksekusi bagi Vita. Ternyata di luar tak hanya ada Alvent tapi juga ada Hendra. Dia tersenyum saat Hendra menatapnya.
“Lili gimana?” tanyanya langsung dan mendekat ke Vita. Vita bingung harus bicara apa. Bilang jika Lili terkena kanker hati dan hampir mati. Apakah Vita harus bilang begitu?
Akhirnya Vita menggeleng pelan. Hanya dengan gelengan Vita ingin bicara dan biar mereka yang melihatnya mendefinisikannya sendiri. Gelengan ketidaktahuan atau gelengan kepasrahan.
Vita hanya bisa melihat Lili dari balik kaca. Dia seperti melihat raganya sendiri yang tertidur. Banyak sekali selang yang menempel pada tubuh Lili. Banyak sekali alat yang mendampingi tidur Lili.
Suara langkah yang keras dan terburu-buru memalingkan pandangan Vita dari Lili. Orang tua dan eyang putrinya sedang berjalan cepat dari pojok lorong rumah sakit itu. Dan saat mereka mendekat Vita langsung memeluk mamanya. Dia menangis dalam dekapan ibunya. Orang yang selama sembilan bulan mengandungnya juga Lili dalam rahimnya.
Semalaman Vita tak bisa tidur. Malam ini dengan penuh paksaan seluruh orang terdekatnya, Vita diharuskan pulang. Dia dilarang menunggu Lili di rumah sakit.
Di kasur kamarnya Vita hanya merubah-rubah posisi tidurnya. Menghadap kiri lalu kanan dan terlentang. Itu-itu saja yang dia lakukan. Karena matanya tak juga tertutup dia memutuskan untuk keluar dari kamarnya.
Di ruang keluarganya ternyata ada Hendra dan Alvent yang sudah terlelap. Mereka tidur seadanya di sofa rumah Vita. Vita yang melihat itu merasa senang. Seperti embun dalam kekeringan.
Lalu Vita kembali melangkah. Sekarang dia terhenti di depan kamar Lili. Pintu putih yang menyedihkan. Yang menyembunyikan sakit di dalamnya. Pintu yang tak membiarkan orang melihat jika Lili sedang menahan sakit.
Krett
Pintu itu terbuka. Vita memasukinya. Ruangan yang kosong. Hanya ada barang-barang Lili di sana. Lukisan Lili juga terpajang dengan rapi. Salah satu yang membuat Vita iri kepada bakat Lili.
Bau kamar Lili sedikit asing dengan kamarnya. Bau kamar ini didominasi oleh bau obat. Dan benar, di meja rias Lili bukannya ada bedak dan semacamnya tetapi hanya ada obat-obatan yang banyaknya tidak terkira.
Vita mencoba menahan air matanya saat melihat kenyataan itu. Dan di atas kasur Lili terdapat buku. Buku harian Lili.
Lembar demi lembar dibaca Vita. Kehidupan Lili saat di Singapura. Kehidupan Lili saat di Indonesia. Semuanya tak terlewatkan oleh Vita.
Dan di akhir-akhir buku itu ada lembaran yang membuat Vita tertarik. Goresan tangan Lili juga tak serapi sebelumnya. Tulisannya sedikit bergetar serta ada bercak darah di sana.
Aku iri sama Vita. Iri sama Vita. Iri sama Vita.
Baris pertama yang membuat hati Vita langsung tersayat.
Aku iri sama dia Tuhan. Dia sehat sedangkan aku sakit. Dia nggak harus mengonsumsi obat dari kecil, sedangkan aku sejak kecil harus minum obat dan dikemo.
Dia iri sama aku Tuhan. Vita iri sama Lili. Dia iri sama aku.
Vita tertegun membacanya. Dia iri dengan Lili.
Dia iri karna akulah yang dipilih mama dan papa. Tapi aku dipilih karena sakit. Karena aku lebih lemah dari Vita. Apa Vita masih iri jika tau itu?
Aku tahu Vita benci aku saat dia melihatku. Matanya cukup menggambarkan betapa sakitnya. Betapa rindunya dia dengan mama dan papa. Dan aku bisa menerima itu. Menerima segala sifatnya yang dia lakukan kepadaku.
Vita membalik lembaran itu.
Cukup lama aku bisa membuat hati Vita mencair. Dan saat hari itu tiba. Saat Vita mau berbicara denganku. Dia mengajakku pulang bersama. Dan itu membuatku sangat senang.
Vita menyeka air matanya yang meleleh. Dibaliknya lagi lembaran berikutnya.
Hari ini hari ulang tahunku, juga Vita. Semuanya indah. Ulangtahun terindah yang pernah aku rasakan. Tapi semuanya tak seindah yang aku kira. Hendra tak mengucapkan apa-apa padaku saat di sekolah. Mengucapkan selamat ulang tahunpun tidak, apalagi memberiku hadiah. Tapi kepada Vita semuanya dia lakukan. Mendatangi kelasnya, mengajaknya ke danau dan menembaknya.
Tuhan, aku sayang Hendra...
Tapi, Hendra mencintai Vita...
Aku harus bagaimana Tuhan...
Vita menutup mulutnya yang tak disadarinya terbuka. Rahasia yang baru dia tahu, jika Lili menyukai Hendra.
Hendra ditolak. Dia curhat kepadaku semalaman. Melalui telepon dia marah-marah. Dia tak terima jika Vita dan Alvent membohonginya. Tapi apakah saat Hendra menceritakan semuanya dia tak menyadari perasaanku. Tak menyadati cintaku.
Dan dilembar terakhir buku itu Vita semakin tercengang. Goresan tinta itu benar-benar menusuk hatinya.
Aku ingin menjadi Vita yang sehat, tidak menjadi Lili yang sakit. Aku ingin menjadi Vita yang bisa berlari cepat, tidak menjadi Lili yang lemah. Aku ingin menjadi Vita yang dicintai Hendra, tidak menjadi Lili yang hanya bisa mencintai Hendra.
-ooo-
Keputusan sudah dibuat bulat-bulat. Tak ada pilihan lain selain ini. Selain mendonorkan hati. Mendonorkan hati Vita untuk Lili. Vita dengan perdebatan yang sangat keras dengan kedua orang tuanya dan eyangnya. Semuanya melarang, tapi dengan segala upayanya akhirnya mereka mengiyakan. Dan disaat orang tua dan eyangnya mengiyakan, Vita harus berhadapan dengan Alvent dan Hendra.
“Elo nggak boleh ngelakuin itu!” tolak Alvent mentah-mentah.
“Tapi gue mau,” bela Vita sebisanya. Sebenarnya dia juga ragu dengan ini semua tapi hati kecilnya ingin melakukan semua ini, memberikan hidupnya untuk Lili.
“Please Vit, jangan,” kata Hendra. Sekarang mereka bertiga sedang ada di atas bukit. Alvent dan Hendra menentang keputusan Vita.
“Siapa yang nemenin aku main bulu tangkis lagi?” tanya Alvent. Matanya sudah merah, dia tak ingin kehilangan orang yang dicintainya.
“Ada Hendra,” jawab Vita lembut dan menatap Hendra. “Iyakan?”
“Siapa yang bakal bonceng sepeda gue lagi?” sekarang Hendra yang bertanya.
“Lili.”
“Lili sama elo beda Vit, kita maunya elo bukan Lili. Sebaik-baiknya Lili, selembut-lembutnya dia. Kita pengennya elo! Vita bukan Lili!”
Vita terdiam. Ternyata dia sangat berharga bagi kedua sahabatynya ini.
“Siapa yang mau nemenin kita liat sunset?” Alvent tak henti-hentinya bertanya.
“Siapa yang bakal dengerin gue curhat? Siapa yang mau gue ajak jalan? Siapa yang mau..” pertanyaan Alvent terhenti saat Vita memeluknya. Tangis Alvent akhirnya luruh. Dengan saksi senja sore itu dia menangis dalam pelukan
Vita.
“Gue sayang sama elo Vit. Please jangan lakuin itu,” bisik Alvent lemah. Tapi Vita hanya diam. Matanya menerawang ke depan. Ke hari esok yang belum tentu dia lihat lagi. dia belum tentu merasakan pelukan Alvent, senda gurau Hendra apalagi masakan eyang putrinya.
Hendra yang melihat itu hanya bisa menyembunyikan air matanya. Melihat matahari yang tenggelam dibalik tubuh Vita dan Alvent yang sedang berpelukan. Menahan sakit yang dia rasakan dan menahan pilu yang akan datang nanti saat Vita sudah tak ada dipandangannya.
-ooo-
Sekarang gue kasihin hidup ini ke elo Li. Sekarang elo udah bisa jadi gue, iyakan? Elo udah bisa jadi Lili yang sehat, yang bisa lari cepet dan bisa dicintai Hendra. Hendra cinta gue karena hati gue dan sekarang elo punya hati gue jadi Hendra bisa dong cinta sama elo? Tapi bilangin ke Alvent ya, jangan khawatir karena hati yang gue kasiin ke elo cuma setengah, biar gue di sini bisa ngerasain cinta yang dikasih sama Alvent. Bye Li, gue sayang sama elo, mama, papa, eyang sama Hendra juga sama Alvent.
Dan hilang. Gambar Vita hilang dari layar televisi itu. Video yang diberikan Vita kepada Lili. Hidup yang diberikan Vita kepada Lili.
“Makasih Vit,” desisi Lili yang diiringi air mata. Entah air mata apa itu, kebahagiaankah atau penyesalan karena membiarkan Vita meninggalkan dunia ini.
Hari ini, tepat satu bulan kepergian Vita. Lili yang ditemani Alvent dan Hendra berkunjung ke makan Vita. Dibawah tanah itu, Vita sudah tidur dengan tenang. Meninggalkan semua kenangan yang tak akan pernah dilupakan oleh orang-orang yang menyayanginya. Cinta dan segala yang ada pada Vita akan tetap hidup di hati mereka semua. Karena dengan inilah mereka bisa mengenang Vita dan membiarkan Vita tetap hidup.
TAMAT
-ooo-
Makasih ya, sampai jumpa dikaryaku selanjutnya ;D
Between Our Heart #7
Selamat membaca
-ooo-
Between Our Hearts
7
-ooo-
Hendra mulai mempersiapkan dirinya untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Vita minggu depan. Tepat saat Vita akan berulang tahun ke delapan belas. Setiap hari dia bahkan mendapatkan informasi dari Lili tentang hal-hal yang belum diketahui oleh Hendra. Tentang Vita yang gemar membaca komik, mengoleksi boneka panda dan suka dengan drama Korea.
Lili yang senantiasa membantu Hendra selama ini dengan sangat tenang menyembunyikan perasaannya dari cowok itu. Tetap tersenyum saat menemani Hendra memilih hadiah untuk Vita. Bahkan sampai membantu Hendra menyusun kata-kata yang indah untuk Vita nanti.
“Ada yang mau aku omongin sama kamu,” ucap Hendra dengan gugup. “Aku suka sama kamu sejak dulu. Pertama aku cuma ngerasa sayang sebagai sahabat, tapi lama-lama aku baru mengerti kalo rasaku ini lain. Bukan sebagai sahabat.
Aku suka kamu sebagai pria dengan wanita. Aku cinta sama kamu. Kamu mau jadi pacarku?”
Lili tersenyum saat mendengar kata-kata itu dari mulut Hendra. Tulus dan begitu menenangkan. Kata-kata yang ditujukan untk Vita. Sedangkan dia sekarang hanya berpura-pura sebagai Vita. Sebagai boneka latihan untuk Hendra.
Aku juga sayang kamu Ndra, batin Lili yang berusaha menahan air matanya.
“Gimana Li?” tanya Hendra setelah selesai latihan untuk menembak Vita.
Lili mengangguk dan memberi kedua jempolnya untuk Hendra. “Bagus. Sukses ya buat besok.” Ucap Lili sambil menepuk pundak Hendra. Mencoba menguatkan dirinya sendiri.
-ooo-
Hampir satu tahun Vita hidup bersama keluarganya. Bersama orang tuanya dan bersama Lili, saudara kembarnya. Dan hampir empat bulan dia menjadi kekasih Alvent. Waktu yang tidak singkat.
“Besok gue ulang tahun. Nggak kerasa,” kata Vita saat melihat kalender di meja belajarnya. 29 Desember dilingkar warna merah oleh Vita.
Cewek itu tersenyum saat melihat bingkai-bingkai foto yang tertata rapi di atas meja belajarnya itu. Gambar dirinya dan sahabat-sahabatnya saat ulang tahun Vita tahun-tahun yang lalu. Gambar dirinya juga dengan eyang. Tapi ditahun ini akan ada satu tambahan bingkai yang akan menghuni meja itu. Besok gambar itu akan diambil tetap bersama eyang, sahabat-sahabatnya dan tambahan beberapa orang lagi. Orang tuanya dan juga Lili.
“Nggak sabar buat besok,” gumam Vita lalu berjalan ke tempar tidurnya. Merebahkan diri dan menuju alam mimpi.
Vita sudah terlelap dalam tidurnya. Orang rumah juga sudah menikmati mimpi masing-masing. Tapi Lili masih terjaga dari tidurnya. Matanya menatap langit yang penuh bintang malam ini. Angin malam yang dingin mulai menusuk tulang-tulang rusuknya. Hidungnya juga mulai berair. Tubuhnya mulai memberontak dengan suhu diluar.
Lili mengambil buku diarynya. Ditulisnya apa yang ingin dia tulis. Dicurahkan segala perasaannya selama ini. Doa-doa yang tulus, harapan untuk esok dan cinta yang dituangkan dalam lembaran kertas-kertas itu membuat hati Lili sedikit tenang.
“Uhuk.. uhuk..,” Lili menutup mulutnya yang telah mengeluarkan cairan kental berwarna merah. “Tuhan, jagalah aku malam ini,” ucapnya lirih dengan air mata yang mulai membasahi pipinya yang terlihat tirus itu.
Dan malam itu, disela batuk dan darah yang kadang keluar dari mulutnya, Lili tetap menulis apa yang dia inginkan. Karena inilah yang bisa dia berikan untuk orang yang dia sayangi.
-ooo-
Happy birthday to you
Happy birthday to you
Happy birthday to Vita
Happy birthday Lili
Papa, mama dan eyang menyambut kedatangan Vita dan Lili di ruang makan pagi ini. Sarapan yang indah untuk keduanya. Suasana yang belum pernah dirasakan oleh Vita. Dua buah kue tart yang dibawa oleh papa dan mama. Kue dengan hiasan lilin angka satu dan delapan.
“Ayo ditiup dulu,” kata eyang yang sangat semangat menanti hari ulang tahun cucu-cucunya.
“Vita tiup roti yang dibawa mama,” usul Vita cepat. Sejak lama dia menginginkan ulang tahun bersama kedua orang tuanya.
Semuanya setuju. Vita meniup lilin di kue yang dibawa mama sedangkan Lili meniup lilin di kue yang dibawa sang papa.
“Make a wish dulu,” cegah sang papa sebelum putri-putrinya meniup lilin.
Semoga tahun ini gue bisa jadi orang yang lebih baik lagi. Langgeng sama Alvent, amin.
Tuhan, berilah aku umur yang panjang, amin.
Lalu Vita dan Lili meniup lilin-lilin itu bersamaan. Lilin pembawa harapan untuk Lili dan lilin yang paling spesial dalam hidup Vita.
Setelah perayaan yang singkat itu Vita dan Lili bergegas berangkat sekolah diantar kedua orang tua mereka.
“Berangkat dulu ma, pa,” pamit Vita dan Lili setelah mencium tangan kedua orang tuanya.
Dan disini segalanya bermula. Hari ini, hari bahagia untuk Vita. Hendra yang sudah siap memberi kejutan untuk Vita. Sedangkan Alvent sangat berharap bisa jalan berdua dengan Vita malam ini.
“Happy birthday sayang,” ucap Alvent saat Vita muncul di kelas mereka. Dia memberikan seikat bunga mawar putih kepada Vita.
Vita tersenyum dan langsung memeluk Alvent. “Makasih ya Vent,” jawabnya sambil mengurai pelukannya. Untung kelas masih sepi sehingga adegan yang agak norak bagi Vita itu tidak diketahui siapa-siapa.
“Entar malem jalan sama aku. Aku masih punya banyak kejutan buat kamu. Mau kan?” ajak Alvent dan langsung diterima ajakan itu oleh Vita tanpa basa-basi.
“Mau banget!”
Tapi sayang keadaan yang romantis itu terganggu oleh kedatangan Hendra secara tiba-tiba dan membuat Vita dan Alvent menjadi kikuk.
“Happy birthday Vit,” ucap Hendra setelah berada di depan Vita.
“Makasih Ndra,” jawab Vita sambil memamerkan deretan giginya yang putih. “Kadonya mana?” todong Vita.
“Traktir dulu baro ada kado,” kata Hendra jail.
“Maunya,” cibir Vita yang ditertawakan oleh Alvent. “Apa lo ketawa-ketawa,” ketus Vita kepada Alvent.
“Emang gue ngetawain elo apa?” tukas Alvent cepat.
“Eh Vit entar pulang sekolah ikut gue yuk,” ajak Hendra. Alvent yang mendengar itu langsung memandang Hendra. Cemburu.
Vita yang tak kalah kaget tidak menjawab ajakan Hendra secara langsung. “Kemana?” tanyanya yang mencoba menutupi kekagetannya.
“Ke danau aja. Gue pengen kasih elo sesuatu,” terangnya. “Sorry Vent, gue mau pergi sama Vita aja boleh?” ijin Hendra kepada Alvent.
“Kok pake ijin gue segala sih?” tanya Alvent heran. Dia curiga jangan-jangan Hendra sudah tau status dia dan Vita sekarang.
Hendra menggaruk kepalanya. Kebiasannya jika bingung. “Iya juga sih. Elokan bukan pacar Vita kenapa gue harus ijin ke elo,” kata Hendra tenang. “Tapikan gue nggak enak, biasanya kita pergi bertiga tapi sekarang cuma gue sama Vita.”
Alvent menepuk pundak Hendra. “Nggak usah gitulah. Gue ngerti kok.”
Vita yang melihat itu jadi bingung sendiri. Hendra mengajaknya pergi berdua sedangkan dia tak bisa membaca pikiran Alvent saat ini.
“Gimana Vit?” tanya Hendra yang membuyarkan lamunan Vita.
“Ya udah,” jawab Vita pasrah.
Selama pelajaran berlangsung Alvent hanya diam. Vita yang melihat itu merasa aneh. Dan saat bel pulang berbunyipun Alvent tidak berbicara kepadanya.
“Kamu marah sama aku?” tanya Vita setelah kelas sepi tapi Alvent tak bergeming. “Kalo kamu nggak ijinin aku buat pergi sama Hendra aku bisa nolak kok,” lanjutnya lagi dan berhasil, Alvent berbicara.
“Aku nggak marah, aku cuma cemburu.” Kata Alvent yang membuat Vita tersenyum. Ternyata Alvent bisa cemburu juga.
“Maaf, aku..,” kata-kata Vita belum terselesaikan saat Hendra sudah berada di kelasnya. Menjemputnya untuk pergi bersama cowok itu.
“Yuk Vit,” ajaknya yang langsung menarik tangan Vita. “Duluan Vent,” pamitnya kepada Alvent yang diam di tempatnya.
Vita pasrah. Dia menurut kemanapun Hendra akan mengajaknya. Seperti janjinya tadi, Hendra membawanya ke danau. Tempat bermain mereka saat kecil dulu.
Hendra menyuruh Vita duduk di bawah pohon dengan ukuran besar di pinggir danau. Sedangkan cowok itu pergi entah kemana. Meninggalkan Vita sendiri.
Happy birthday to you
Happy birthday to you
Happy birthday to Vita
Happy birthday Vita
Satu kali lagi Vita mendengar nyanyian ‘Happy Birthday’ untuk dirinya. Hendralah yang menyanyi, datang dengan sebuah cup cake dan balon berbentuk hati di masing-masing tangannya.
“Selamat ulang tahun sahabat gue yang paling cantik,” ucapnya saat selesai menyanyikan satu lagu untuk Vita. “Ayo tiup lilinnya dulu,” lanjutnya dengan menyodorkan cup cake kehadapan Vita.
Vita mengangguk dan memejamkan matanya. Seperti tadi, dia membuat permohonan sebelum meniup lilin itu. Dan huffttt, lilin itu padam.
“Makasih Ndra,” ucap Vita dengan senyuman yang sangat manis.
Hendra melangkah mendekat dengan Vita. Menggenggam kedua tangan Vita dan meletakannya di dada.
“Kamu bisa ngerasain deguban jantungku?” tanyanya dan Vita mengangguk. “Ini yang aku rasain sama kamu sejak dulu,” lanjutnya dengan mata yang terus mengunci pandangan cewek dihadapannya.
Vita yang ditatap Hendra hanya bisa pasrah. Berdoa agar rasa yang dulu dimilikinya tidak muncul begitu saja.
“Ada yang mau aku omongin sama kamu,” ucap Hendra dengan gugup. “Aku suka sama kamu sejak dulu. Pertama aku cuma ngerasa sayang sebagai sahabat, tapi lama-lama aku baru mengerti kalo rasaku ini lain. Bukan sebagai sahabat.
Aku suka kamu sebagai pria dengan wanita. Aku cinta sama kamu. Kamu mau jadi pacarku?” Persisi seperti saat latihan dengan Lili. Kata-kata itu akhirnya terucap.
Vita tercengang. Hendra menembaknya. Hendra menyukainya.
Tak hanya Vita. Ada dua orang yang sedaritadi mengawasi Vita dan Hendra. Alvent dan Lili juga ada di sana. Lili yang memang tahu akan kejadian itu hanya bisa pasrah melihat itu semua. Sedangkan Alvent yang tak tau akan hal itu hanya bisa menunggu semoga kekasihnya bisa setia dengan cinta mereka.
Vita menggeleng lemah. Tangannya masih berada didada bidang Hendra, seolah-olah jantung Hendra berada ditangannya.
“Maaf, aku udah ada yang punya,” kata Vita jujur. “Aku udah pacaran sama Alvent,” sambungnya lagi.
Hendra yang mendengar itu tidak percaya. “Berapalama kalian pacaran dibelakang gue?” tanyanya yang langsung melepaskan tangan Vita.
“Hampir empat bulan,” jawab Vita dengan rasa takut yang menyelimuti tubuhnya.
“Empat bulan?” tanyanya. “Jadi kalian bohongin gue selama itu. Jadiin gue kayak orang bego gitu?!” teriak Hendra di depan muka Vita. Tiba-tiba diamerasa seperti dikhianati.
“Maaf Ndra,” ucap Vita yang mencoba memegang tangan Hendra tapi ditepisnya jauh-jauh.
Hendra menatap Vita tajam. “Jangan anggep gue sahabat elo lagi! Dan bilang sama cowok lo juga jangan anggep gue sahabatnya!!”
Dan semuanya hancur berantakan. Vita terpaku di tempatnya. Ternyata cinta harus dibalas dengan cinta tapi terkadang cinta harus mau menerima jika tak dibalas dengan cinta.
“Gue harus gimana biar elo nggak marah sama gue juga Alvent?” tanya Vita kepada Hendra yang masih berdiri dihadapannya.
Hendra tak bergeming. Dia malas menjawab pertanyaan itu.
“Ndra jawab!” paksa Vita dengan air mata yang telah merayapi pipi putihnya.
Hendra memandang Vita. Dia tak sanggup jika melihat orang yang dicintainya menangis didepan dirinya. Jangan nangis Vit.
“Elo mau gue maafin?” tanyanya. Vita mengangguk.
“Kalian putus. Baru gue maafin elo berdua.
-ooo-
Makasih udah setia mau baca.
-ooo-
Between Our Hearts
7
-ooo-
Hendra mulai mempersiapkan dirinya untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Vita minggu depan. Tepat saat Vita akan berulang tahun ke delapan belas. Setiap hari dia bahkan mendapatkan informasi dari Lili tentang hal-hal yang belum diketahui oleh Hendra. Tentang Vita yang gemar membaca komik, mengoleksi boneka panda dan suka dengan drama Korea.
Lili yang senantiasa membantu Hendra selama ini dengan sangat tenang menyembunyikan perasaannya dari cowok itu. Tetap tersenyum saat menemani Hendra memilih hadiah untuk Vita. Bahkan sampai membantu Hendra menyusun kata-kata yang indah untuk Vita nanti.
“Ada yang mau aku omongin sama kamu,” ucap Hendra dengan gugup. “Aku suka sama kamu sejak dulu. Pertama aku cuma ngerasa sayang sebagai sahabat, tapi lama-lama aku baru mengerti kalo rasaku ini lain. Bukan sebagai sahabat.
Aku suka kamu sebagai pria dengan wanita. Aku cinta sama kamu. Kamu mau jadi pacarku?”
Lili tersenyum saat mendengar kata-kata itu dari mulut Hendra. Tulus dan begitu menenangkan. Kata-kata yang ditujukan untk Vita. Sedangkan dia sekarang hanya berpura-pura sebagai Vita. Sebagai boneka latihan untuk Hendra.
Aku juga sayang kamu Ndra, batin Lili yang berusaha menahan air matanya.
“Gimana Li?” tanya Hendra setelah selesai latihan untuk menembak Vita.
Lili mengangguk dan memberi kedua jempolnya untuk Hendra. “Bagus. Sukses ya buat besok.” Ucap Lili sambil menepuk pundak Hendra. Mencoba menguatkan dirinya sendiri.
-ooo-
Hampir satu tahun Vita hidup bersama keluarganya. Bersama orang tuanya dan bersama Lili, saudara kembarnya. Dan hampir empat bulan dia menjadi kekasih Alvent. Waktu yang tidak singkat.
“Besok gue ulang tahun. Nggak kerasa,” kata Vita saat melihat kalender di meja belajarnya. 29 Desember dilingkar warna merah oleh Vita.
Cewek itu tersenyum saat melihat bingkai-bingkai foto yang tertata rapi di atas meja belajarnya itu. Gambar dirinya dan sahabat-sahabatnya saat ulang tahun Vita tahun-tahun yang lalu. Gambar dirinya juga dengan eyang. Tapi ditahun ini akan ada satu tambahan bingkai yang akan menghuni meja itu. Besok gambar itu akan diambil tetap bersama eyang, sahabat-sahabatnya dan tambahan beberapa orang lagi. Orang tuanya dan juga Lili.
“Nggak sabar buat besok,” gumam Vita lalu berjalan ke tempar tidurnya. Merebahkan diri dan menuju alam mimpi.
Vita sudah terlelap dalam tidurnya. Orang rumah juga sudah menikmati mimpi masing-masing. Tapi Lili masih terjaga dari tidurnya. Matanya menatap langit yang penuh bintang malam ini. Angin malam yang dingin mulai menusuk tulang-tulang rusuknya. Hidungnya juga mulai berair. Tubuhnya mulai memberontak dengan suhu diluar.
Lili mengambil buku diarynya. Ditulisnya apa yang ingin dia tulis. Dicurahkan segala perasaannya selama ini. Doa-doa yang tulus, harapan untuk esok dan cinta yang dituangkan dalam lembaran kertas-kertas itu membuat hati Lili sedikit tenang.
“Uhuk.. uhuk..,” Lili menutup mulutnya yang telah mengeluarkan cairan kental berwarna merah. “Tuhan, jagalah aku malam ini,” ucapnya lirih dengan air mata yang mulai membasahi pipinya yang terlihat tirus itu.
Dan malam itu, disela batuk dan darah yang kadang keluar dari mulutnya, Lili tetap menulis apa yang dia inginkan. Karena inilah yang bisa dia berikan untuk orang yang dia sayangi.
-ooo-
Happy birthday to you
Happy birthday to you
Happy birthday to Vita
Happy birthday Lili
Papa, mama dan eyang menyambut kedatangan Vita dan Lili di ruang makan pagi ini. Sarapan yang indah untuk keduanya. Suasana yang belum pernah dirasakan oleh Vita. Dua buah kue tart yang dibawa oleh papa dan mama. Kue dengan hiasan lilin angka satu dan delapan.
“Ayo ditiup dulu,” kata eyang yang sangat semangat menanti hari ulang tahun cucu-cucunya.
“Vita tiup roti yang dibawa mama,” usul Vita cepat. Sejak lama dia menginginkan ulang tahun bersama kedua orang tuanya.
Semuanya setuju. Vita meniup lilin di kue yang dibawa mama sedangkan Lili meniup lilin di kue yang dibawa sang papa.
“Make a wish dulu,” cegah sang papa sebelum putri-putrinya meniup lilin.
Semoga tahun ini gue bisa jadi orang yang lebih baik lagi. Langgeng sama Alvent, amin.
Tuhan, berilah aku umur yang panjang, amin.
Lalu Vita dan Lili meniup lilin-lilin itu bersamaan. Lilin pembawa harapan untuk Lili dan lilin yang paling spesial dalam hidup Vita.
Setelah perayaan yang singkat itu Vita dan Lili bergegas berangkat sekolah diantar kedua orang tua mereka.
“Berangkat dulu ma, pa,” pamit Vita dan Lili setelah mencium tangan kedua orang tuanya.
Dan disini segalanya bermula. Hari ini, hari bahagia untuk Vita. Hendra yang sudah siap memberi kejutan untuk Vita. Sedangkan Alvent sangat berharap bisa jalan berdua dengan Vita malam ini.
“Happy birthday sayang,” ucap Alvent saat Vita muncul di kelas mereka. Dia memberikan seikat bunga mawar putih kepada Vita.
Vita tersenyum dan langsung memeluk Alvent. “Makasih ya Vent,” jawabnya sambil mengurai pelukannya. Untung kelas masih sepi sehingga adegan yang agak norak bagi Vita itu tidak diketahui siapa-siapa.
“Entar malem jalan sama aku. Aku masih punya banyak kejutan buat kamu. Mau kan?” ajak Alvent dan langsung diterima ajakan itu oleh Vita tanpa basa-basi.
“Mau banget!”
Tapi sayang keadaan yang romantis itu terganggu oleh kedatangan Hendra secara tiba-tiba dan membuat Vita dan Alvent menjadi kikuk.
“Happy birthday Vit,” ucap Hendra setelah berada di depan Vita.
“Makasih Ndra,” jawab Vita sambil memamerkan deretan giginya yang putih. “Kadonya mana?” todong Vita.
“Traktir dulu baro ada kado,” kata Hendra jail.
“Maunya,” cibir Vita yang ditertawakan oleh Alvent. “Apa lo ketawa-ketawa,” ketus Vita kepada Alvent.
“Emang gue ngetawain elo apa?” tukas Alvent cepat.
“Eh Vit entar pulang sekolah ikut gue yuk,” ajak Hendra. Alvent yang mendengar itu langsung memandang Hendra. Cemburu.
Vita yang tak kalah kaget tidak menjawab ajakan Hendra secara langsung. “Kemana?” tanyanya yang mencoba menutupi kekagetannya.
“Ke danau aja. Gue pengen kasih elo sesuatu,” terangnya. “Sorry Vent, gue mau pergi sama Vita aja boleh?” ijin Hendra kepada Alvent.
“Kok pake ijin gue segala sih?” tanya Alvent heran. Dia curiga jangan-jangan Hendra sudah tau status dia dan Vita sekarang.
Hendra menggaruk kepalanya. Kebiasannya jika bingung. “Iya juga sih. Elokan bukan pacar Vita kenapa gue harus ijin ke elo,” kata Hendra tenang. “Tapikan gue nggak enak, biasanya kita pergi bertiga tapi sekarang cuma gue sama Vita.”
Alvent menepuk pundak Hendra. “Nggak usah gitulah. Gue ngerti kok.”
Vita yang melihat itu jadi bingung sendiri. Hendra mengajaknya pergi berdua sedangkan dia tak bisa membaca pikiran Alvent saat ini.
“Gimana Vit?” tanya Hendra yang membuyarkan lamunan Vita.
“Ya udah,” jawab Vita pasrah.
Selama pelajaran berlangsung Alvent hanya diam. Vita yang melihat itu merasa aneh. Dan saat bel pulang berbunyipun Alvent tidak berbicara kepadanya.
“Kamu marah sama aku?” tanya Vita setelah kelas sepi tapi Alvent tak bergeming. “Kalo kamu nggak ijinin aku buat pergi sama Hendra aku bisa nolak kok,” lanjutnya lagi dan berhasil, Alvent berbicara.
“Aku nggak marah, aku cuma cemburu.” Kata Alvent yang membuat Vita tersenyum. Ternyata Alvent bisa cemburu juga.
“Maaf, aku..,” kata-kata Vita belum terselesaikan saat Hendra sudah berada di kelasnya. Menjemputnya untuk pergi bersama cowok itu.
“Yuk Vit,” ajaknya yang langsung menarik tangan Vita. “Duluan Vent,” pamitnya kepada Alvent yang diam di tempatnya.
Vita pasrah. Dia menurut kemanapun Hendra akan mengajaknya. Seperti janjinya tadi, Hendra membawanya ke danau. Tempat bermain mereka saat kecil dulu.
Hendra menyuruh Vita duduk di bawah pohon dengan ukuran besar di pinggir danau. Sedangkan cowok itu pergi entah kemana. Meninggalkan Vita sendiri.
Happy birthday to you
Happy birthday to you
Happy birthday to Vita
Happy birthday Vita
Satu kali lagi Vita mendengar nyanyian ‘Happy Birthday’ untuk dirinya. Hendralah yang menyanyi, datang dengan sebuah cup cake dan balon berbentuk hati di masing-masing tangannya.
“Selamat ulang tahun sahabat gue yang paling cantik,” ucapnya saat selesai menyanyikan satu lagu untuk Vita. “Ayo tiup lilinnya dulu,” lanjutnya dengan menyodorkan cup cake kehadapan Vita.
Vita mengangguk dan memejamkan matanya. Seperti tadi, dia membuat permohonan sebelum meniup lilin itu. Dan huffttt, lilin itu padam.
“Makasih Ndra,” ucap Vita dengan senyuman yang sangat manis.
Hendra melangkah mendekat dengan Vita. Menggenggam kedua tangan Vita dan meletakannya di dada.
“Kamu bisa ngerasain deguban jantungku?” tanyanya dan Vita mengangguk. “Ini yang aku rasain sama kamu sejak dulu,” lanjutnya dengan mata yang terus mengunci pandangan cewek dihadapannya.
Vita yang ditatap Hendra hanya bisa pasrah. Berdoa agar rasa yang dulu dimilikinya tidak muncul begitu saja.
“Ada yang mau aku omongin sama kamu,” ucap Hendra dengan gugup. “Aku suka sama kamu sejak dulu. Pertama aku cuma ngerasa sayang sebagai sahabat, tapi lama-lama aku baru mengerti kalo rasaku ini lain. Bukan sebagai sahabat.
Aku suka kamu sebagai pria dengan wanita. Aku cinta sama kamu. Kamu mau jadi pacarku?” Persisi seperti saat latihan dengan Lili. Kata-kata itu akhirnya terucap.
Vita tercengang. Hendra menembaknya. Hendra menyukainya.
Tak hanya Vita. Ada dua orang yang sedaritadi mengawasi Vita dan Hendra. Alvent dan Lili juga ada di sana. Lili yang memang tahu akan kejadian itu hanya bisa pasrah melihat itu semua. Sedangkan Alvent yang tak tau akan hal itu hanya bisa menunggu semoga kekasihnya bisa setia dengan cinta mereka.
Vita menggeleng lemah. Tangannya masih berada didada bidang Hendra, seolah-olah jantung Hendra berada ditangannya.
“Maaf, aku udah ada yang punya,” kata Vita jujur. “Aku udah pacaran sama Alvent,” sambungnya lagi.
Hendra yang mendengar itu tidak percaya. “Berapalama kalian pacaran dibelakang gue?” tanyanya yang langsung melepaskan tangan Vita.
“Hampir empat bulan,” jawab Vita dengan rasa takut yang menyelimuti tubuhnya.
“Empat bulan?” tanyanya. “Jadi kalian bohongin gue selama itu. Jadiin gue kayak orang bego gitu?!” teriak Hendra di depan muka Vita. Tiba-tiba diamerasa seperti dikhianati.
“Maaf Ndra,” ucap Vita yang mencoba memegang tangan Hendra tapi ditepisnya jauh-jauh.
Hendra menatap Vita tajam. “Jangan anggep gue sahabat elo lagi! Dan bilang sama cowok lo juga jangan anggep gue sahabatnya!!”
Dan semuanya hancur berantakan. Vita terpaku di tempatnya. Ternyata cinta harus dibalas dengan cinta tapi terkadang cinta harus mau menerima jika tak dibalas dengan cinta.
“Gue harus gimana biar elo nggak marah sama gue juga Alvent?” tanya Vita kepada Hendra yang masih berdiri dihadapannya.
Hendra tak bergeming. Dia malas menjawab pertanyaan itu.
“Ndra jawab!” paksa Vita dengan air mata yang telah merayapi pipi putihnya.
Hendra memandang Vita. Dia tak sanggup jika melihat orang yang dicintainya menangis didepan dirinya. Jangan nangis Vit.
“Elo mau gue maafin?” tanyanya. Vita mengangguk.
“Kalian putus. Baru gue maafin elo berdua.
-ooo-
Makasih udah setia mau baca.
Between Our Heart #6
Selamat membaca
-ooo-
Between Our Hearts
6
-ooo-
Kejadian di pinggir danau sore kemarin terus berputar diotak Vita. Pengakuan cinta dari seorang sahabat. Ketulusan dan kejujuran. Vita percaya bahwa Alvent memang suka dengan dirinya, tapi dia belum yakin dengan rasa yang aneh dihatinya kepada Alvent. Cinta atau hanya kenyamanan belakang. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Dan yang perlu diketahui oleh Vita bahwa satu lagi rahasia orang terdekat Vita terungkap.
“Kalo gue mau?”
“Ya udah kita pacaran.”
Perkataan Alvent berkelebat terus dipikirannya. Kata-kata itu yang membuat Vita sekuat tenaga menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba mengusirnya. Sekuat tenaga tapi tetap saja tak bisa.
“Argggh!!!” teriak Vita saat tak bisa menghapus memori kemarin sore.
“Ya udah kita pacaran.”
Suara Alvent yang tegas terus terngiang ditelinganya. Keluar masuk satu telinga ke telinga lainnya. “Berarti gue pacaran sama Alvent gitu?”
-ooo-
Malam yang sendu. Langit tanpa bintang dan awan mendung yang selalu menyapa. Alvent, yang sedaritadi berdiri di balkon kamarnya tak juga menemukan cara untuk melupakan kejadian bersama Vita kemarin. Peristiwa yang begitu saja terjadi. Kata-kata yang begitu saja bergulir dan pengakuan yang begitu saja terucap. Sekarang Vita tahu rahasia terbesarnya. Bahkan sekarang Vita sudah menjadi kekasihnya, tapi ada sebercak rasa ragu dihatinya. Dilepas atau dipertahankannya gadis itu.
“Bang ada telepon!” suara adik Alvent membuyarkan pikirannya.
“Siapa?” tanyanya tak kalah berteriak.
“Dari kak Vita!” jawab Pia, adik Alvent. Dan dengan seribu langkah cepat-cepat Alvent segera meluncur ke bawah untuk menerima telepon dari Vita, kekasih barunya.
“Hallo,” kata Alvent setelah menempelkan gagang telepon ke telinga kanannya. Tapi tak ada suara disebrang sana. Hanya hening yang menyapanya.
“Hallo,” ulangnya lagi. “Hallo, Vit...??” tapi tetap saja tak ada yang menyaut dan tiba-tiba sambungan telepon itu
terputus.
“Aneh deh nih orang,” gerutu Alvent seraya menutup telepon tapi baru saja diletakan telepon itu berbunyi lagi.
“Kenapa Vit?” kata Alvent setelah mengangkat gagang telepon itu.
“Vit? Gue Hendra!” jawab suara disebrang sana.
“Sorry Ndra, gue kira Vita.”
“Emang elo lagi nungguin telepon dari Vita?” tanya Hendra yang merasa curiga.
“Enggak kok. Kenapa lo telepon malem-malem?” Tanya Alvent yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Mau tanya pr.” Dan obrolan-obrolan mereka selanjutnya berlanjut.
-ooo-
Vita memandang benda mungil yang didekapnya. Nafasnya masih belum beraturan. Keberanian yang sia-sia. Kebiasaan yang menjadi asing. Baru saja dia berusaha menghubungi Alvent, tapi saat suara Alvent terdengar lidahnya menjadi kaku dan dengan brutalnya dia memutus hubungan via telepon itu.
“Bego banget gue!” gerutu Vita sambil memukul-mukul kepalanya. “Biasanya juga sering telepon Alvent tapi kenapa sekarang jadi nervous sih,” uacap Vita yang bingung dengan perubahan sikapnya.
“Coba lagi deh.” Vita yang memulai menghubungi Alvent lagi tapi baru saja dia menempelkan handphonenya ditelinga langsung terdengar nada sibuk dari operator.
“Kok sibuk sih?” keluh Vita yang gagal menghubungi pacar barunya itu. “Coba handphonenya aja,” ucap Vita yang tak pantang menyerah. Dengan duduk dipinggir tempat tidurnya, Vita setia mendengar nada sambung dari handphoe mungilnya.
-ooo-
“Oke deh, bye.” Dan klik. Percakapan Alvent dan Hendra terhenti.
“Kok malah ngobrol sama bang Hendra sih?” tanya Pia yang tiba-tiba muncul dihadapan Alvent.
“Tadi Hendra telepon. Emang tadi beneran telepon dari Vita?” tanyanya yang penasaran.
Pia mengangguk. “Iya. Tadi telepon dari kak Vita. Katanya kak Vita mau ngomong serius sama elo.”
“Masak?”
Pia mengangguk lagi. “Beneran!! Sumpah deh gue nggak bercanda,” jawab Pia dengan mengacungkan dua jari tangan kanannya yang membentuk huruf ‘V’.
Alvent meninggalkan Pia yang masih berdiri di tempatnya. Bayangan Vita langsung memenuhi otaknya. Dan aktivitas yang ingin dilakukannya adalah duduk dikursi balkon sambil memandang langit yang mendung. Tapi belum-belum handphone hitam miliknya mengundang perhatiannya.
“Hah? 14 misscall? Dari Vita??”
-ooo-
Hari terus berganti. Keadaan sedikit demi sedikit bisa diterima oleh Vita. Kedatangan kedua orang tuanya. Kehadiran Lili. Perasaan Alvent padanya. Semuanya pelan-pelan dihadapi olehnya. Bahkan pelan-pelan perasaannya terhadap Hendra menguap begitu saja, pergi entah kemana.
Pagi ini Vita bersama Lili berangkat sekolah bersama. Vita mengiyakan ajakan kedua orang tuanya saat sarapan untuk mengantarnya.
“Belajar yang bener,” nasehat mama kepada Vita dan Lili saat mereka akan masuk ke gerbang sekolah.
Dengan beriringan Vita dan Lili memasuki gerbang SMA Tri Tunggal. Kejadian yang langka bagi Alvent dan Hendra yang melihat mereka.
“Uhuk uhuk,” suara batuk Lili membuat Vita memandangi kembarannya tersebut dan sebercak darah terlihat ditangan Lili.
“Elo nggak papa Li?” tanya Vita khawatir dan inilah kata-kata yang membuat Lili tersenyum.
“Enggak kok. Aku nggak papa. Yuk masuk entar telat,” kilah Lili yang sudah membersihkan darah dari tangannya. Akhirnya kamu bicara sama aku Vit, batin Lili.
Hari ini berjalan seperti biasanya. Masuk sekolah pukul tujuh tepat dan pulang pukul tiga sore. Tapi mungkin bagi Lili ada yang berbeda. Tadi, sebelum dia pulang, Hendra mengajaknya pergi melihat matahari tenggelam. Ajakan yang diidam-idamkannya dari dulu.
“Pulang bareng nggak?” tanya seseorang dari arah belakangnya. Lili tertegun saat mengetahui siapa yang mengajaknya. Vita!
“Enggak. Aku pulang sama Hendra,” jawab Lili yang sedikit membuat Vita cemburu.
Vita mengangguk-anggukan kepalanya. Mencoba meredam rasa cemburu yang tiba-tiba merasuk ke hatinya tapi dia harus ingat bahwa sekarang dia telah menjadi milik Alvent.
“Oke. Gue pulang dulu kalo gitu,” katanya yang langsung meninggalkan Lili di depan pos satpam sekolah mereka.
“Yuk,” tiba-tiba Hendra sudah berada dihadapan Lili.
“Yuk,” ucap Lili dengan senyum mengembang dibibir merahnya.
-ooo-
“Hallo cewek,” goda Alvent yang melihat Vita berjalan sendirian.
Vita yang menengok langsung memerah mukanya. Jantungnya tiba-tiba berdegub lebih cepat dari biasanya.
“Apaan sih lo Vent,” gerutunya yang malu digoda sama pacar sendiri.
“He he, pulang bareng yuk,” ajak Alvent.
Vita tidak bisa menutupi muka merahnya mencoba mengalihkan pandangannya dari Alvent. Sebenarnya dia ingin langsung menjawab ‘iya’ tapi gengsinya terlalu tinggi.
“Mau nggak?” ulang Alvent yang geli melihat muka Vita yang tak kalah merah dari tomat.
“Iya deh,’ jawab Vita yang menyerah.
Alvent tersenyum melihat Vita yang mendekati dia dan sepedanya. Tapi sebelum Vita membonceng, Alvent menghentikan langkah gadis itu.
“Makan dulu ya,” pintanya dan disambut oleh anggukan dari Vita.
Lalu sepeda Alvent menyusuri jalan raya di kota Bandung. Sesekali orang-orang yang ada dijalan melihat ke arah mereka. Jarang-jarang ada anak muda pake sepeda.
-ooo-
Lili membonceng sepeda Hendra menuju bukit untuk melihat matahari tenggelam. Walaupun masih dua jam lagi matahari baru akan tenggelam. Kadang saat jalan tanjakan Lili harus rela turun dari sepeda Hendra dan menemani cowok itu menuntun sepeda. Berdua seperti ini adalah hal yang paling ditunggu Lili, karena kemarin-kemarin dia hanya bisa melihat Vita yang bisa disamping Hendra. Tapi sekarang, dirinyalah yang disamping Hendra.
“Duduk sini aja Li,” titah Hendra yang sudah duduk dibawah pohon. Tempat yang sangat strategis untuk melihat matahari tenggelam nanti.
Lili menurut. Dia mengikuti Hendra dan duduk disaping cowok itu. Cowok yang disukainya sejak pandangan pertama. Cukup lama mereka berdua berdiaman sampai akhirnya Hendra mengajaknya untuk berbicara.
“Elo udah baikan sama Vita?” tanya Hendra.
Lili mengangkat kedua bahunya. “Nggak tau. Tapi setidaknya dia udah mau bicara sama aku.”
“Aku boleh minta tolong?” pinta Hendra yang tiba-tiba mengubah gaya bahasanya.
“Apa?”
“Kamu mau bantuin aku buat deket sama Vita?”
Lili mengerutkan keningnya. “Kaliankan udah deket. Kamu malah lebih deket sama Vita.”
Hendra garuk-garuk kepalanya. Bukan gatal tapi bingung, ada benarnya juga dia lebih dekat dengan Vita daripada Lili.
“Tapikan elo serumah sama dia,” Hendra mencoba mencari alasan.
Lili semakin bingung dengan arah pembicaraan Hendra. Kurang dekat apalagi coba Hendra dengan Vita.
“Emang mau deket kayak gimana lagi?” tanya Lili yang membuat Hendra terdiam tak bisa menjawab.
Hendra tetap diam cukup lama. Alasan apa yang bisa dipakainya sekarang ini. Mengatakan dengan jujur kepada Lili adalah hal yang ditakuti Hendra. Dia takut jika rahasianya akan terbongkar begitu saja.
“Li,” panggil Hendra. Sekarang dia akan membocorkan perasaannya kepada Lili.
“Kenapa?” tanya Lili yang masih heran dengan sikap Hendra sore ini.
“Aku suka sama Vita,” ucap Hendra begitu saja. Mengakui perasaannya dengan raga yang mirip dengan gadis yang dicintainya selama ini.
Lili terdiam. Tercengang mendengar pengakuan cowok dihadapannya. Hendra menyukai Vita.
“Terus?” satu kata yang tiba-tiba meluncur dari bibir Lili.
Hendra menghela nafasnya. Mencoba mengatur nafas dan meredam rasa yang muncul dihatinya. Rasa malu.
“Aku mau minta tolong kamu buat deketin aku sama Vita,” pinta Hendra sekali lagi.
“Aku tau aku lebih deket sama Vita daripada kamu tapi kamu nggak tau walaupun aku sahabatan sama Vita, aku nggak tau dia seluruhnya. Ada bagian dimana aku nggak bisa masuk ke hidupnya. Dan aku rasa cuma kamu yang bisa masuk ke sana.
Kamu mau kan Li?”
Lili tersenyum. Mencoba tenang melihat ini semua. Memendam hatinya yang sudah memberontak secara keras.
“Aku bakalan bantu kamu.”
“Makasih ya Li,” ucap Hendra dengan senyuman yang sangat indah, tapi sayang senyum itu bukan milik Lili.
Dan saat matahari tenggelam suasana berubah. Lili sudah tak bisa melihat indahnya senja sore ini. Hatinya sudah terkanjur mendung. Awan hiam sudah menyelimuti hatinya. Bahkan sekarang dia harus memakai topeng. Pura-pura tersenyum dihadapan Hendra dan menangis dibelakangnya. Dia suka Hendra tapi Hendra suka Vita.
-ooo-
-ooo-
Between Our Hearts
6
-ooo-
Kejadian di pinggir danau sore kemarin terus berputar diotak Vita. Pengakuan cinta dari seorang sahabat. Ketulusan dan kejujuran. Vita percaya bahwa Alvent memang suka dengan dirinya, tapi dia belum yakin dengan rasa yang aneh dihatinya kepada Alvent. Cinta atau hanya kenyamanan belakang. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Dan yang perlu diketahui oleh Vita bahwa satu lagi rahasia orang terdekat Vita terungkap.
“Kalo gue mau?”
“Ya udah kita pacaran.”
Perkataan Alvent berkelebat terus dipikirannya. Kata-kata itu yang membuat Vita sekuat tenaga menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba mengusirnya. Sekuat tenaga tapi tetap saja tak bisa.
“Argggh!!!” teriak Vita saat tak bisa menghapus memori kemarin sore.
“Ya udah kita pacaran.”
Suara Alvent yang tegas terus terngiang ditelinganya. Keluar masuk satu telinga ke telinga lainnya. “Berarti gue pacaran sama Alvent gitu?”
-ooo-
Malam yang sendu. Langit tanpa bintang dan awan mendung yang selalu menyapa. Alvent, yang sedaritadi berdiri di balkon kamarnya tak juga menemukan cara untuk melupakan kejadian bersama Vita kemarin. Peristiwa yang begitu saja terjadi. Kata-kata yang begitu saja bergulir dan pengakuan yang begitu saja terucap. Sekarang Vita tahu rahasia terbesarnya. Bahkan sekarang Vita sudah menjadi kekasihnya, tapi ada sebercak rasa ragu dihatinya. Dilepas atau dipertahankannya gadis itu.
“Bang ada telepon!” suara adik Alvent membuyarkan pikirannya.
“Siapa?” tanyanya tak kalah berteriak.
“Dari kak Vita!” jawab Pia, adik Alvent. Dan dengan seribu langkah cepat-cepat Alvent segera meluncur ke bawah untuk menerima telepon dari Vita, kekasih barunya.
“Hallo,” kata Alvent setelah menempelkan gagang telepon ke telinga kanannya. Tapi tak ada suara disebrang sana. Hanya hening yang menyapanya.
“Hallo,” ulangnya lagi. “Hallo, Vit...??” tapi tetap saja tak ada yang menyaut dan tiba-tiba sambungan telepon itu
terputus.
“Aneh deh nih orang,” gerutu Alvent seraya menutup telepon tapi baru saja diletakan telepon itu berbunyi lagi.
“Kenapa Vit?” kata Alvent setelah mengangkat gagang telepon itu.
“Vit? Gue Hendra!” jawab suara disebrang sana.
“Sorry Ndra, gue kira Vita.”
“Emang elo lagi nungguin telepon dari Vita?” tanya Hendra yang merasa curiga.
“Enggak kok. Kenapa lo telepon malem-malem?” Tanya Alvent yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Mau tanya pr.” Dan obrolan-obrolan mereka selanjutnya berlanjut.
-ooo-
Vita memandang benda mungil yang didekapnya. Nafasnya masih belum beraturan. Keberanian yang sia-sia. Kebiasaan yang menjadi asing. Baru saja dia berusaha menghubungi Alvent, tapi saat suara Alvent terdengar lidahnya menjadi kaku dan dengan brutalnya dia memutus hubungan via telepon itu.
“Bego banget gue!” gerutu Vita sambil memukul-mukul kepalanya. “Biasanya juga sering telepon Alvent tapi kenapa sekarang jadi nervous sih,” uacap Vita yang bingung dengan perubahan sikapnya.
“Coba lagi deh.” Vita yang memulai menghubungi Alvent lagi tapi baru saja dia menempelkan handphonenya ditelinga langsung terdengar nada sibuk dari operator.
“Kok sibuk sih?” keluh Vita yang gagal menghubungi pacar barunya itu. “Coba handphonenya aja,” ucap Vita yang tak pantang menyerah. Dengan duduk dipinggir tempat tidurnya, Vita setia mendengar nada sambung dari handphoe mungilnya.
-ooo-
“Oke deh, bye.” Dan klik. Percakapan Alvent dan Hendra terhenti.
“Kok malah ngobrol sama bang Hendra sih?” tanya Pia yang tiba-tiba muncul dihadapan Alvent.
“Tadi Hendra telepon. Emang tadi beneran telepon dari Vita?” tanyanya yang penasaran.
Pia mengangguk. “Iya. Tadi telepon dari kak Vita. Katanya kak Vita mau ngomong serius sama elo.”
“Masak?”
Pia mengangguk lagi. “Beneran!! Sumpah deh gue nggak bercanda,” jawab Pia dengan mengacungkan dua jari tangan kanannya yang membentuk huruf ‘V’.
Alvent meninggalkan Pia yang masih berdiri di tempatnya. Bayangan Vita langsung memenuhi otaknya. Dan aktivitas yang ingin dilakukannya adalah duduk dikursi balkon sambil memandang langit yang mendung. Tapi belum-belum handphone hitam miliknya mengundang perhatiannya.
“Hah? 14 misscall? Dari Vita??”
-ooo-
Hari terus berganti. Keadaan sedikit demi sedikit bisa diterima oleh Vita. Kedatangan kedua orang tuanya. Kehadiran Lili. Perasaan Alvent padanya. Semuanya pelan-pelan dihadapi olehnya. Bahkan pelan-pelan perasaannya terhadap Hendra menguap begitu saja, pergi entah kemana.
Pagi ini Vita bersama Lili berangkat sekolah bersama. Vita mengiyakan ajakan kedua orang tuanya saat sarapan untuk mengantarnya.
“Belajar yang bener,” nasehat mama kepada Vita dan Lili saat mereka akan masuk ke gerbang sekolah.
Dengan beriringan Vita dan Lili memasuki gerbang SMA Tri Tunggal. Kejadian yang langka bagi Alvent dan Hendra yang melihat mereka.
“Uhuk uhuk,” suara batuk Lili membuat Vita memandangi kembarannya tersebut dan sebercak darah terlihat ditangan Lili.
“Elo nggak papa Li?” tanya Vita khawatir dan inilah kata-kata yang membuat Lili tersenyum.
“Enggak kok. Aku nggak papa. Yuk masuk entar telat,” kilah Lili yang sudah membersihkan darah dari tangannya. Akhirnya kamu bicara sama aku Vit, batin Lili.
Hari ini berjalan seperti biasanya. Masuk sekolah pukul tujuh tepat dan pulang pukul tiga sore. Tapi mungkin bagi Lili ada yang berbeda. Tadi, sebelum dia pulang, Hendra mengajaknya pergi melihat matahari tenggelam. Ajakan yang diidam-idamkannya dari dulu.
“Pulang bareng nggak?” tanya seseorang dari arah belakangnya. Lili tertegun saat mengetahui siapa yang mengajaknya. Vita!
“Enggak. Aku pulang sama Hendra,” jawab Lili yang sedikit membuat Vita cemburu.
Vita mengangguk-anggukan kepalanya. Mencoba meredam rasa cemburu yang tiba-tiba merasuk ke hatinya tapi dia harus ingat bahwa sekarang dia telah menjadi milik Alvent.
“Oke. Gue pulang dulu kalo gitu,” katanya yang langsung meninggalkan Lili di depan pos satpam sekolah mereka.
“Yuk,” tiba-tiba Hendra sudah berada dihadapan Lili.
“Yuk,” ucap Lili dengan senyum mengembang dibibir merahnya.
-ooo-
“Hallo cewek,” goda Alvent yang melihat Vita berjalan sendirian.
Vita yang menengok langsung memerah mukanya. Jantungnya tiba-tiba berdegub lebih cepat dari biasanya.
“Apaan sih lo Vent,” gerutunya yang malu digoda sama pacar sendiri.
“He he, pulang bareng yuk,” ajak Alvent.
Vita tidak bisa menutupi muka merahnya mencoba mengalihkan pandangannya dari Alvent. Sebenarnya dia ingin langsung menjawab ‘iya’ tapi gengsinya terlalu tinggi.
“Mau nggak?” ulang Alvent yang geli melihat muka Vita yang tak kalah merah dari tomat.
“Iya deh,’ jawab Vita yang menyerah.
Alvent tersenyum melihat Vita yang mendekati dia dan sepedanya. Tapi sebelum Vita membonceng, Alvent menghentikan langkah gadis itu.
“Makan dulu ya,” pintanya dan disambut oleh anggukan dari Vita.
Lalu sepeda Alvent menyusuri jalan raya di kota Bandung. Sesekali orang-orang yang ada dijalan melihat ke arah mereka. Jarang-jarang ada anak muda pake sepeda.
-ooo-
Lili membonceng sepeda Hendra menuju bukit untuk melihat matahari tenggelam. Walaupun masih dua jam lagi matahari baru akan tenggelam. Kadang saat jalan tanjakan Lili harus rela turun dari sepeda Hendra dan menemani cowok itu menuntun sepeda. Berdua seperti ini adalah hal yang paling ditunggu Lili, karena kemarin-kemarin dia hanya bisa melihat Vita yang bisa disamping Hendra. Tapi sekarang, dirinyalah yang disamping Hendra.
“Duduk sini aja Li,” titah Hendra yang sudah duduk dibawah pohon. Tempat yang sangat strategis untuk melihat matahari tenggelam nanti.
Lili menurut. Dia mengikuti Hendra dan duduk disaping cowok itu. Cowok yang disukainya sejak pandangan pertama. Cukup lama mereka berdua berdiaman sampai akhirnya Hendra mengajaknya untuk berbicara.
“Elo udah baikan sama Vita?” tanya Hendra.
Lili mengangkat kedua bahunya. “Nggak tau. Tapi setidaknya dia udah mau bicara sama aku.”
“Aku boleh minta tolong?” pinta Hendra yang tiba-tiba mengubah gaya bahasanya.
“Apa?”
“Kamu mau bantuin aku buat deket sama Vita?”
Lili mengerutkan keningnya. “Kaliankan udah deket. Kamu malah lebih deket sama Vita.”
Hendra garuk-garuk kepalanya. Bukan gatal tapi bingung, ada benarnya juga dia lebih dekat dengan Vita daripada Lili.
“Tapikan elo serumah sama dia,” Hendra mencoba mencari alasan.
Lili semakin bingung dengan arah pembicaraan Hendra. Kurang dekat apalagi coba Hendra dengan Vita.
“Emang mau deket kayak gimana lagi?” tanya Lili yang membuat Hendra terdiam tak bisa menjawab.
Hendra tetap diam cukup lama. Alasan apa yang bisa dipakainya sekarang ini. Mengatakan dengan jujur kepada Lili adalah hal yang ditakuti Hendra. Dia takut jika rahasianya akan terbongkar begitu saja.
“Li,” panggil Hendra. Sekarang dia akan membocorkan perasaannya kepada Lili.
“Kenapa?” tanya Lili yang masih heran dengan sikap Hendra sore ini.
“Aku suka sama Vita,” ucap Hendra begitu saja. Mengakui perasaannya dengan raga yang mirip dengan gadis yang dicintainya selama ini.
Lili terdiam. Tercengang mendengar pengakuan cowok dihadapannya. Hendra menyukai Vita.
“Terus?” satu kata yang tiba-tiba meluncur dari bibir Lili.
Hendra menghela nafasnya. Mencoba mengatur nafas dan meredam rasa yang muncul dihatinya. Rasa malu.
“Aku mau minta tolong kamu buat deketin aku sama Vita,” pinta Hendra sekali lagi.
“Aku tau aku lebih deket sama Vita daripada kamu tapi kamu nggak tau walaupun aku sahabatan sama Vita, aku nggak tau dia seluruhnya. Ada bagian dimana aku nggak bisa masuk ke hidupnya. Dan aku rasa cuma kamu yang bisa masuk ke sana.
Kamu mau kan Li?”
Lili tersenyum. Mencoba tenang melihat ini semua. Memendam hatinya yang sudah memberontak secara keras.
“Aku bakalan bantu kamu.”
“Makasih ya Li,” ucap Hendra dengan senyuman yang sangat indah, tapi sayang senyum itu bukan milik Lili.
Dan saat matahari tenggelam suasana berubah. Lili sudah tak bisa melihat indahnya senja sore ini. Hatinya sudah terkanjur mendung. Awan hiam sudah menyelimuti hatinya. Bahkan sekarang dia harus memakai topeng. Pura-pura tersenyum dihadapan Hendra dan menangis dibelakangnya. Dia suka Hendra tapi Hendra suka Vita.
-ooo-
Between Our Heart #5
Between Our Hearts 5
by Mayangsari Vitaism on Friday, December 23, 2011 at 10:01pm
-ooo-
Between Our Hearts
5
-ooo-
Hendra tertegun melihat ketakjuban pemandangan di depannya. Cahaya matahari kuning keemasan yang akan tenggelam. Refleksi warna yang begitu cantik. Keindahan alam yang luar biasa. Matahari yang sama. Pemandangan yang sama. Tapi tidak dengan yang menemaninya. Tak ada Alvent apalagi Vita. Dia hanya bersama Lili. Raga yang mirip Vita.
“Keren banget,” gumam Lili yang menyedot perhatian Hendra. Cowok itu tersenyum melihat tingkah Lili yang begitu senang melihat matahari tenggelam.
“Baru pertama liat?” tanyanya.
Lili mengangguk tanpa melihat Hendra yang sedaritadi menatapnya. “Iya. Aku jarang banget liat sunset, malah nggak pernah,” kata Lili yang kemudian membalas tatapan Hendra, “Makasih ya Ndra,” ucapnya dan menutup kalimatnya dengan senyuman dibibir mungilnya.
Pasti lebih seru kalo ada Vita sama Alvent, batin Hendra. Tapi sebenarnya mereka sedang melihat matahari yang sama. Di atas sepedanya dipinggir jalan Alvent sedang melihat matahari itu, juga dengan Vita yang duduk dibalik jendelanya memandang indahnya senja di sore hari.
-ooo-
Hari yang dilalui mereka tak sama lagi. Pertengkaran dingin kemarin sore sedikit demi sedikit memberi celah diantara Vita dan Hendra dan semakin mendekatkan Hendra dan Lili. Sedangkan Alvent hanya bisa berada di daerah yang putih. Melihat cinta segitiga yang sebenarnya secara tidak langsung membawanya ke dalam kisah itu.
Dari dalam kelasnya Vita sedang menatap Hendra yang berjalan dengan Lili menuju kantin sekolah. Dia seperti melihat dirinya sendiri berada disamping Hendra. Mereka tampak mengobrol dengan sesekali tertawa bersama. Tawa yang dirindukan oleh Vita. Karena sudah tiga hari sejak kejadian itu Vita tak pernah berbicara dengan Hendra.
“Liat apaan sih Vit?” tanya Alvet yang tiba-tiba ada di depannya. “Oh, Hendra sama Lili,” sambungnya lagi yang tau apa yang dilihat Vita.
Vita menganggukan kepalanya sambil terus melihat Alvent yang duduk di depannya. Ada perasaan yang aneh di hatinya. Ternyata Alvent ganteng juga.
“Ngapain lo liatin gue terus?” tanya Alvent yang mulai sadar jika Vita sedaritadi menatapnya. Vita geleng-geleng. “Nggak papa.”
“Gue tau kalo gue ganteng tapi ngeliatinnya santai dong Vit jangan melotot gitu,” ucap Alvent dengan tingkat kepercayaan diri mendadak meningkat.
“Huuu, pede banget lo,” cela Vita sambil memukul lengan Alvent dan membuat mereka tertawa bersama.
-ooo-
Vita semakin dekat dengan Alvent. Hendra semakin dekat dengan Lili. Begitulah hari-hari mereka berikutnya berlanjut. Persahabatan Alvent dengan Vita, persahabatan Alvent dengan Hendra, persahabatan Hendra dengan Vita masih berjalan walaupun tak sedekat dulu seperti sebelum Lili masuk ke lingkar kehidupan mereka.
“Ndra aku mau ngomong sama kamu,” ucap Vita suatu hari kepada Hendra yang sedang asik bercanda dengan teman-temannya.
Melihat kedatangan Vita di kelasnya Hendra segera menghentikan aktivitasnya dan menarik Vita ke luar kelas.
“Ngomong apa?” tanyanya setelah berada di luar dan melepas pergelangan Vita yang ditariknya tadi.
Vita memutar kedua bola matanya. Dia gugup harus bicara gimana dengan Hendra, sorot mata Hendra yang menatapnya tajam semakin membuatnya takut untuk berbicara. Tapi jika dia batal berbicara dia bisa kena marah Alvent karena Vita sudah berjanji dengan Alvent bahwa hari ini dia akan memperbaiki hubungan persahabatan mereka. Jadi serba salah.
“Emm, itu...” kata-kata Vita jadi terputus-putus saking gugupnya.
Hendra menaikan alis kanannya. Dia bingung dengan gerak-gerik sahabatnya ini. “Itu apa? Kalo ngomong yang bener.”
“Gue mau minta maaf,” ucap Vita dengan intonasi cepat yang membuat Hendra tak bisa mendengarnya dengan jelas.
“Apaan? Gue nggak denger.”
Vita menghembuskan nafasnya sebelum mengulang kata-katanya tadi. “Gue mau minta maaf sama elo,” ulangnya dengan kepala tertunduk melihat sepatunya dan sepatu Hendra yang ternyata memiliki warna yang sama. Warna hitam!!!
“Oh,” Hendra menanggapinya dengan santaai dan Vita langsung mengangkat kepalanya.
“Oh? Cuma gitu doang?” tanyanya tak percaya
“Terus gimana lagi dong?” Tiba-tiba sifat jail Hendra keluar. Sudah lama dia tidak menjaili sahabat cewek satu-satunya ini.
Vita menggembungkan pipinya. Dia sudah merasa jika dirinya sedang dipermainkan oleh Hendra.
“Ih lucu banget sih kalo gini,” kata Hendra sambil mencubit kedua pipi Vita.
“Sakit tau,” Vita memukul-mukul tangan Hendra sampai tangan itu menyingkir dari pipinya.
“Iya deh,” Hendra melepaskan tangannya dari pipi chubby Vita. “Kenapa lo minta maaf sama gue?” tanyanya dengan serius.
“Nggak papa, gue ngerasa kalo gue salah sama lo dan karna nggak mau jadi pengecut ya gue minta maaf sama elo,” jawab Vita terus terang. “Elo maukan maafin gue?” sambungnya lagi.
Hendra mengangguk. “Pasti. Sebelum lo minta maaf gue udah maafin kok,” ucapnya sambi mengelus puncak kepala Vita.
“Apa nih?” tanya Hendra yang melihat Vita menyodorkan jari kelingkingnya didepan mukanya.
“Janji kalo kita nggak akan berantem lagi.” Lalu Hendra mengaitkan jari kelingking kanannya ke kelingking kanan Vita.
Bagi orang yang melihat mereka mungkin kelakuan mereka seperti anak kecil, terlalu sederhana tapi bagi seseorang yang melihat mereka dari jauh tingkah Hendra dan Vita itu penuh makna.
“Akhirnya baikan juga itu anak berdua,” gumam orang tersebut.
-ooo-
Hari sudah berganti malam. Vita sibuk dengan buku-buku di meja belajarnya. Tugas rasanya tak pernah berhenti mengisi hari-harinya selama menjadi murid sma. Tugas satu belum selesai tugas lainnya sudah menusul.
Tok tok tok
“Masuk!” teriak Vita saat mendengar pintu kamarnya diketuk oleh seseorang.
-ooo-
Malam ini Lili berniat untuk berbicara dengan Vita. Bicara semuanya. Bicara yang memang perlu dibicarakan. Bicara dari hati ke hati. Dia sudah tak sanggup lagi menjadi saudara yang tak dianggap. Dengan keberanian yang telah dikumpulkannya dari kemarin dia menuju kamar Vita.
Hufft, Lili menghembuskan nafasnya sebelum masuk ke kamar Vita.
Tok tok tok, Lili mengetuk pintu di depannya, berharap akan terbuka.
“Masuk!” terdengar suara Vita dari dalam dan dengan penuh keberanian serta kegelisahan Lili masuk ke kamar Vita.
“Vit,” ucap Lili yang membuat Vita berpaling dari tugas-tugasnya dan menatap dirinya.
“Elo ngapain ke sini?!!” Vita terlihat terkejut dengan hadirnya Lili di dalam kamarnya. “Keluar sana!” Vita berdiri dan mendorong Lili ke luar dari dalam kamarnya.
“Aku mau ngomong sama kamu, please!” mohon Lili dengan sekuat tenaga menahan dorongan dari Vita.
“Nggak ada yang perlu diomongin,” tukas Vita cepat dan kembali mendorong Lili untuk keluar dari kamarnya.
Lili menyerah. Dia akhirnya keluar dari kamar Vita. Mungkin bukan sekarang, pikirnya dan kemudian meninggalkan kamar Vita.
-ooo-
Seperti biasanya, hari-hari Vita berjalan seperti semula berangkat dan pulang sekolah bersama Alvent dan Hendra. Tapi jika dengan Hendra sudah hampir seminggu dia tak pernah naik sepedanya lagi dan hari ini saat pulang sekolah Vita sengaja memilih Hendra untuk dia boncengi.
“Akhirnya gue naik sepeda butut lo lagi Ndra ha ha ha,” kata Vita ditengah jalan.
“Enak aja. Sepeda gue sama Alvent masih bututan sepeda Alvent tau.”
“Ha ha ha tau aja lo Ndra kalo sepeda dia lebih butut,” jawab Vita sambil melirik Alvent yang berada di sampingnya.
Alvent yang mendengar namanya dibawa-bawa ikut nimbrung. “Heh! Ngapain lo berdua ngomongin gue?”
“Pedee...” ucap Vita dan Hendra bersamaan.
Dan suasan seperti inilah yang membuat persahabatan mereka tambah erat. Canda tawa yang mengisi hari-hari mereka membuat dunia semakin indah.
“Kita ke danau dulu yuk,” ajak Vita dan langsung disetujui oleh Alvent dan Hendra.
Tak memperlukan waktu yang lama untuk sampai di danau tersebut. Hamparan rumput yang begitu indah. Air danau yang tenang. Tapi ternyata danau itu tak sepi seperti biasanya ada seorang cewek yang sedang duduk di pinggir danau itu.
“Itukan Lili,” gumam Hendra yang langsung menghampirinya.
Vita hanya menatap pasrah Hendra yang semakin dekat dengan Lili. Mungkin cintanya cukup sampai disini untuk Hendra.
“Nggak usah cemburu,” ucapan Alvent membuat Vita kaget.
“Siapa yang cemburu?” kilah Vita
“Elolah masak gue? Gue tau elo suka sama Hendra,” kata Alvent tenang tapi hatinya sangat bergejolak.
Vita diam. Ternyata susah payah ditutupinya perasaan itu tetap saja Alvent tau apa yang dia rasakan. Alvent, selalu Alvent yang tau apa yang dia rasakan. Dari dulu hingga sekarang tak pernah berubah. Bagi Vita, Alventlah yang paling tau dirinya.
“Elo emang dukun. Selalu tau apa yang gue rasain.” Kata Vita pura-pura kesal.
“Tapi kenapa lo nggak bisa ngerasain apa yang gue rasa?” tanya Alvent dengan lembut. Matanya dengan tenang melihat air danau yang tak kalah tenang. “Gue suka sama elo dari dulu sampe sekarang,” sambungnya lagi dengan penuh kejujuran. Inilah saat yang tepat baginya untuk mengungkapkan semua yang dia rasa.
Vita seperti disambar petir di siang bolong. Alvent ternyata suka dengannya. Tak terlihat kebohongan dari wajah cowok itu. Wajah yang sangat Vita kagumi, lembut dan penuh kharisma.
“Beneran lo suka sama gue?” tanyanya menunggu kepastian.
“Udahlah nggak usah dipikirin omongan gue tadi. Anggep aja angin lalu,” kata Alvent tanpa menjawab pertanyaan Vita.
“Nggak bisa. Elo udah ngomong dan lo harus tanggung jawab,” Vita ngotot memaksa Alvent mengakui perasaannya lagi.
“Kalo gue beneran suka sama lo, apa lo mau jadi cewek gue?” tantang Alvent.
Vita tertegun mendengar ucapan Alvent. Walaupun sebenarnya belakangan ini, saat dia jauh dengan Hendra dan semakin dekat dengan Alvent membuat dirinya merasakan sesuatu yang aneh. Yang indah dan abstrak.
“Kalo gue mau gimana?”
-ooo-
Makash yang udah mau baca. Ditunggu banget commentnya :)
Langganan:
Postingan (Atom)