SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Senin, 09 Januari 2012

Between Our Heart #8

-ooo-

Between Our Hearts
8

-ooo-

                        Hari ini benar-benar kacau untuk Vita. Matanya sembab karena harus menangis semalaman. Ternyata menolak cinta seseorang itu tidak semudah yang dia pikirkan. Dan memutuskan cinta adalah hal yang lebih sulit dilakukan. Sedangkan kemarin, dihari bahagianya, kedua hal tersulit itu dia lakukan. Dia menolak cinta Hendra dan memutuskan cinta Alvent. Benar-benar miris kisah cinta seorang Vita Marissa.

            Dalam tangisnya Vita tak pernah tau bahwa yang menangis bukan hanya dirinya. Alvent juga menangis. Hendra juga menangis sedangkan Lili merasa sakit.

            Lili sakit tapi Vita tak tahu. Dia bukan ingin menyembunyikannya tapi terkadang Vita yang tak peka. Karena penyakitnya inilah dia yang dibawa orang tua mereka tinggal di Singapura. Kanker hati. Sakit yang dideritanya sejak kecil. Vonis kematian yang terus didengarnya setiap ingin sembuh dan keinginan untuk melihat Vitalah yang menguatkannya selama berbelas-belas tahun.

            Tapi saat satu-satu alasannya telah tercapai. Dia sudah pasrah. Kapanpun utusan Tuhan akan mengambilnya, dia telah siap. Siap dengan segala kemungkinan yang ada.

            Tok tok

            Suara ketukan pintu terdengar dari dalam kamar Vita. Vita yang sedang melamun langsung bergegas keluar untuk menerima tamu itu.

            “Permisi non,” sapa seseorang setelah Vita membukan pintunya. “Benar ini rumahnya Liliyana Natsir?” tanyanya kemudian.

            Vita memandang sekilas orang yang di depannya itu. Bapak-bapak dengan sebuket bunga mawar merah ditangannya. “Iya. Ada apa ya?”

            “Ini ada titipan untuk non Liliyana,” kata orang itu yang ternyata kurir bunga.

            Vita menerima sebuket mawar yang indah.

            “Boleh tanda tangan di sini?” kurir bunga itu menyodorkan selembar kertas tanda bukti penerimaan barang.

            Vita telah selesai menanda tangani kertas itu. Kurir bunga itu juga sudah pergi. Sekarang Vita sedang membawa mawar itu ke kamar Lili, karena sejak tadi pagi Lili belum juga keluar kamar, sedangkan anggota rumah yang lain sedang pergi ke rumah salah satu saudara mereka.

            “Li..” kata Vita sambil sesekali mengetuk pintu berwarna putih itu.

            “Li,” ulang Vita saat pintu itu belum terbuka juga.

            “Ini ada titipan bunga Li, buka pintunya dong,” mohon Vita yang tak sabaran. Tapi pintu itu tetap tertutup, tak ada tanda-tanda Lili akan keluar dari sana.

            Vita memang tak sabar. Gagang pintu kamar Lili langsung dipegang dan didorongnya, ternyata kamar Lili tak terkunci. Tapi kamar Lili kosong tak ada seorangpun disana.

            “LILI!!!”

-ooo-

            Di dalam ruangan bernuansa serba putih itu, Vita sibuk mondar-mandir kesana kemari. Dia gelisah dengan apa yang baru saja dilihatnya. Tadi saat Vita masuk kamar Lili dia melihat saudara kembarnya sudah tergeletak di lantai dengan darah yang keluar dari hidung dan mulutnya.

            “Vit,” seseorang mengagetkan Vita.

            “Alvent,” desisinya dan langsung memeluk cowok yang berada di hadapannya itu. “Gue takut Vent,” kata Vita.

            Alvent mencoba menenangkan mantan kekasihnya itu. Dipeluknya erat tubuh Vita yang berguncang karena menangis.

            “Sabar Vit,” ucap Alvent.

            Vita masih dalam dekapan Alvent. Lili masih di dalam bersama dokter dan suster.

            “Di sini ada orang tua dari saudari Lili?,” ucap seorang dokter yang keluar dari ruang ICU.

            Vita melepaskan tubuhnya dari Alvent. Di dekatinya dokter itu dengan langkah cepat-cepat.

            “Saya saudara kembarnya.”

            “Kalau begitu anda ikut saya,” ucap sang dokter lalu mengajak Vita ke ruangannya.

            Vita dengan tegang duduk di depan dokter yang menangani Lili tadi. Dengan seksama dia mendengarkan segala penjelasan dokter itu.

            “Jadi, saudari Lili terkena kanker hati stadium akhir,” kata sang dokter diakhir penjelasannya.

            Dan seperti patung, Vita hanya terdiam. Kata-kata dokter itu terus terngiang di otaknya. Kanker hati. Lili terkena kanker hati stadium akhir.

            “Kanker hati?” tanya Vita tak percaya. Sang dokter hanya mengangguk.

            “Apa yang bisa saya lakukan?” tanya Vita lagi. Dia tak ingin berpisah dengan kembarannya lagi. Cukup satu kali dalam hidupnya dan tak mau jika itu terjadi lagi.

            “Hanya ada satu cara, yaitu dengan donor hati. Tapi itu hanya mempunyai kemungkinan dua puluh persen untuk berhasil.”

            Vita lunglai. Dengan langkah yang diseret dia keluar dari ruangan dokter itu. Seperti ruangan eksekusi bagi Vita. Ternyata di luar tak hanya ada Alvent tapi juga ada Hendra. Dia tersenyum saat Hendra menatapnya.

            “Lili gimana?” tanyanya langsung dan mendekat ke Vita. Vita bingung harus bicara apa. Bilang jika Lili terkena kanker hati dan hampir mati. Apakah Vita harus bilang begitu?

            Akhirnya Vita menggeleng pelan. Hanya dengan gelengan Vita ingin bicara dan biar mereka yang melihatnya mendefinisikannya sendiri. Gelengan ketidaktahuan atau gelengan kepasrahan.

            Vita hanya bisa melihat Lili dari balik kaca. Dia seperti melihat raganya sendiri yang tertidur. Banyak sekali selang yang menempel pada tubuh Lili. Banyak sekali alat yang mendampingi tidur Lili.

            Suara langkah yang keras dan terburu-buru memalingkan pandangan Vita dari Lili. Orang tua dan eyang putrinya sedang berjalan cepat dari pojok lorong rumah sakit itu. Dan saat mereka mendekat Vita langsung memeluk mamanya. Dia menangis dalam dekapan ibunya. Orang yang selama sembilan bulan mengandungnya juga Lili dalam rahimnya.

            Semalaman Vita tak bisa tidur. Malam ini dengan penuh paksaan seluruh orang terdekatnya, Vita diharuskan pulang. Dia dilarang menunggu Lili di rumah sakit.

            Di kasur kamarnya Vita hanya merubah-rubah posisi tidurnya. Menghadap kiri lalu kanan dan terlentang. Itu-itu saja yang dia lakukan. Karena matanya tak juga tertutup dia memutuskan untuk  keluar dari kamarnya.

            Di ruang keluarganya ternyata ada Hendra dan Alvent yang sudah terlelap. Mereka tidur seadanya di sofa rumah Vita. Vita yang melihat itu merasa senang. Seperti embun dalam kekeringan.

            Lalu Vita kembali melangkah. Sekarang dia terhenti di depan kamar Lili. Pintu putih yang menyedihkan. Yang menyembunyikan sakit di dalamnya. Pintu yang tak membiarkan orang melihat jika Lili sedang menahan sakit.

            Krett

            Pintu itu terbuka. Vita memasukinya. Ruangan yang kosong. Hanya ada barang-barang Lili di sana. Lukisan Lili juga terpajang dengan rapi. Salah satu yang membuat Vita iri kepada bakat Lili.

            Bau kamar Lili sedikit asing dengan kamarnya. Bau kamar ini didominasi oleh bau obat. Dan benar, di meja rias Lili bukannya ada bedak dan semacamnya tetapi hanya ada obat-obatan yang banyaknya tidak terkira.

            Vita mencoba menahan air matanya saat melihat kenyataan itu. Dan di atas kasur Lili terdapat buku. Buku harian Lili.

            Lembar demi lembar dibaca Vita. Kehidupan Lili saat di Singapura. Kehidupan Lili saat di Indonesia. Semuanya tak terlewatkan oleh Vita.

            Dan di akhir-akhir buku itu ada lembaran yang membuat Vita tertarik. Goresan tangan Lili juga tak serapi sebelumnya. Tulisannya sedikit bergetar  serta ada bercak darah di sana.

            Aku iri sama Vita. Iri sama Vita. Iri sama Vita.

            Baris pertama yang membuat hati Vita langsung tersayat.

            Aku iri sama dia Tuhan. Dia sehat sedangkan aku sakit. Dia nggak harus mengonsumsi obat dari kecil, sedangkan aku sejak kecil harus minum obat dan dikemo.

            Dia iri sama aku Tuhan. Vita iri sama Lili. Dia iri sama aku.

            Vita tertegun membacanya. Dia iri dengan Lili.

            Dia iri karna akulah yang dipilih mama dan papa. Tapi aku dipilih karena sakit. Karena aku lebih lemah dari Vita. Apa Vita masih iri jika tau itu?

            Aku tahu Vita benci aku saat dia melihatku. Matanya cukup menggambarkan betapa sakitnya. Betapa rindunya dia dengan mama dan papa. Dan aku bisa menerima itu. Menerima segala sifatnya yang dia lakukan kepadaku.

            Vita membalik lembaran itu.

            Cukup lama aku bisa membuat hati Vita mencair. Dan saat hari itu tiba. Saat Vita mau berbicara denganku. Dia mengajakku pulang bersama. Dan itu membuatku sangat senang.

            Vita menyeka air matanya yang meleleh. Dibaliknya lagi lembaran berikutnya.

            Hari ini hari ulang tahunku, juga Vita. Semuanya indah. Ulangtahun terindah yang pernah aku rasakan. Tapi semuanya tak seindah yang aku kira. Hendra tak mengucapkan apa-apa padaku saat di sekolah. Mengucapkan selamat ulang tahunpun tidak, apalagi memberiku hadiah. Tapi kepada Vita semuanya dia lakukan. Mendatangi kelasnya, mengajaknya ke danau dan menembaknya.

            Tuhan, aku sayang Hendra...

            Tapi, Hendra mencintai Vita...

            Aku harus bagaimana Tuhan...

            Vita menutup mulutnya yang tak disadarinya terbuka. Rahasia yang baru dia tahu, jika Lili menyukai Hendra.

            Hendra ditolak. Dia curhat kepadaku semalaman. Melalui telepon dia marah-marah. Dia tak terima jika Vita dan Alvent membohonginya. Tapi apakah saat Hendra menceritakan semuanya dia tak menyadari perasaanku. Tak menyadati cintaku.

            Dan dilembar terakhir buku itu Vita semakin tercengang. Goresan tinta itu benar-benar menusuk hatinya.

            Aku ingin menjadi Vita yang sehat, tidak menjadi Lili yang sakit. Aku ingin menjadi Vita yang bisa berlari cepat, tidak menjadi Lili yang lemah. Aku ingin menjadi Vita yang dicintai Hendra, tidak menjadi Lili yang hanya bisa mencintai Hendra.

-ooo-

            Keputusan sudah dibuat bulat-bulat. Tak ada pilihan lain selain ini. Selain mendonorkan hati. Mendonorkan hati Vita untuk Lili. Vita dengan perdebatan yang sangat keras dengan kedua orang tuanya dan eyangnya. Semuanya melarang, tapi dengan segala upayanya akhirnya mereka mengiyakan. Dan disaat orang tua dan eyangnya mengiyakan, Vita harus berhadapan dengan Alvent dan Hendra.

            “Elo nggak boleh ngelakuin itu!” tolak Alvent mentah-mentah.

            “Tapi gue mau,” bela Vita sebisanya. Sebenarnya dia juga ragu dengan ini semua tapi hati kecilnya ingin melakukan semua ini, memberikan hidupnya untuk Lili.

            “Please Vit, jangan,” kata Hendra. Sekarang mereka bertiga sedang ada di atas bukit. Alvent dan Hendra menentang keputusan Vita.

            “Siapa yang nemenin aku main bulu tangkis lagi?” tanya Alvent. Matanya sudah merah, dia tak ingin kehilangan orang yang dicintainya.

            “Ada Hendra,” jawab Vita lembut dan menatap Hendra. “Iyakan?”

            “Siapa yang bakal bonceng sepeda gue lagi?” sekarang Hendra yang bertanya.

            “Lili.”

            “Lili sama elo beda Vit, kita maunya elo bukan Lili. Sebaik-baiknya Lili, selembut-lembutnya dia. Kita pengennya elo! Vita bukan Lili!”

            Vita terdiam. Ternyata dia sangat berharga bagi kedua sahabatynya ini.

            “Siapa yang mau nemenin kita liat sunset?” Alvent tak henti-hentinya bertanya.

            “Siapa yang bakal dengerin gue curhat? Siapa yang mau gue ajak jalan? Siapa yang mau..”  pertanyaan Alvent terhenti saat Vita memeluknya. Tangis Alvent akhirnya luruh. Dengan saksi senja sore itu dia menangis dalam pelukan
Vita.

            “Gue sayang sama elo Vit. Please jangan lakuin itu,” bisik Alvent lemah. Tapi Vita hanya diam. Matanya menerawang ke depan. Ke hari esok yang belum tentu dia lihat lagi. dia belum tentu merasakan pelukan Alvent, senda gurau Hendra apalagi masakan eyang putrinya.

            Hendra yang melihat itu hanya bisa menyembunyikan air matanya. Melihat matahari yang tenggelam dibalik tubuh Vita dan Alvent yang sedang berpelukan. Menahan sakit yang dia rasakan dan menahan pilu yang akan datang nanti saat Vita sudah tak ada dipandangannya.

-ooo-

            Sekarang gue kasihin hidup ini ke elo Li. Sekarang elo udah bisa jadi gue, iyakan? Elo udah bisa jadi Lili yang sehat, yang bisa lari cepet dan bisa dicintai Hendra. Hendra cinta gue karena hati gue dan sekarang elo punya hati gue jadi Hendra bisa dong cinta sama elo? Tapi bilangin ke Alvent ya, jangan khawatir karena hati yang gue kasiin ke elo cuma setengah, biar gue di sini bisa ngerasain cinta yang dikasih sama Alvent. Bye Li, gue sayang sama elo, mama, papa, eyang sama Hendra juga sama Alvent.

            Dan hilang. Gambar Vita hilang dari layar televisi itu. Video yang diberikan Vita kepada Lili. Hidup yang diberikan Vita kepada Lili.

            “Makasih Vit,” desisi Lili yang diiringi air mata. Entah air mata apa itu, kebahagiaankah atau penyesalan karena membiarkan Vita meninggalkan dunia ini.

            Hari ini, tepat satu bulan kepergian Vita. Lili yang ditemani Alvent dan Hendra berkunjung ke makan Vita. Dibawah tanah itu, Vita sudah tidur dengan tenang. Meninggalkan semua kenangan yang tak akan pernah dilupakan oleh orang-orang yang menyayanginya. Cinta dan segala yang ada pada Vita akan tetap hidup di hati mereka semua. Karena dengan inilah mereka bisa mengenang Vita dan membiarkan Vita tetap hidup.

TAMAT

-ooo-

Makasih ya, sampai jumpa dikaryaku selanjutnya ;D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar