SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Senin, 09 Januari 2012

Between Our Heart #6

Selamat membaca

-ooo-

Between Our Hearts
6

-ooo-

            Kejadian di pinggir danau sore kemarin terus berputar diotak Vita. Pengakuan cinta dari seorang sahabat. Ketulusan dan kejujuran. Vita percaya bahwa Alvent memang suka dengan dirinya, tapi dia belum yakin dengan rasa yang aneh dihatinya kepada Alvent. Cinta atau hanya kenyamanan belakang. Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi. Dan yang perlu diketahui oleh Vita bahwa satu lagi rahasia orang terdekat Vita terungkap.

            “Kalo gue mau?”

            “Ya udah kita pacaran.”

            Perkataan Alvent berkelebat terus dipikirannya. Kata-kata itu yang membuat Vita sekuat tenaga menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba mengusirnya. Sekuat tenaga tapi tetap saja tak bisa.

            “Argggh!!!” teriak Vita saat tak bisa menghapus memori kemarin sore.

            “Ya udah kita pacaran.”

            Suara Alvent yang tegas terus terngiang ditelinganya. Keluar masuk satu telinga ke telinga lainnya.  “Berarti gue pacaran sama Alvent gitu?”

-ooo-

            Malam yang sendu. Langit tanpa bintang dan awan mendung yang selalu menyapa. Alvent, yang sedaritadi berdiri di balkon kamarnya tak juga menemukan cara untuk melupakan kejadian bersama Vita kemarin. Peristiwa yang begitu saja terjadi. Kata-kata yang begitu saja bergulir dan pengakuan yang begitu saja terucap. Sekarang Vita tahu rahasia terbesarnya. Bahkan sekarang Vita sudah menjadi kekasihnya, tapi ada sebercak rasa ragu dihatinya. Dilepas atau dipertahankannya gadis itu.

            “Bang ada telepon!” suara adik Alvent membuyarkan pikirannya.

            “Siapa?” tanyanya tak kalah berteriak.

            “Dari kak Vita!” jawab Pia, adik Alvent. Dan dengan seribu langkah cepat-cepat Alvent segera meluncur ke bawah untuk menerima telepon dari Vita, kekasih barunya.

            “Hallo,” kata Alvent setelah menempelkan gagang telepon ke telinga kanannya. Tapi tak ada suara disebrang sana. Hanya hening yang menyapanya.

            “Hallo,” ulangnya lagi. “Hallo, Vit...??” tapi tetap saja tak ada yang menyaut dan tiba-tiba sambungan telepon itu
terputus.

            “Aneh deh nih orang,” gerutu Alvent seraya menutup telepon tapi baru saja diletakan telepon itu berbunyi lagi.

            “Kenapa Vit?” kata Alvent setelah mengangkat gagang telepon itu.

            “Vit? Gue Hendra!” jawab suara disebrang sana.

            “Sorry Ndra, gue kira Vita.”

            “Emang elo lagi nungguin telepon dari Vita?” tanya Hendra yang merasa curiga.

            “Enggak kok. Kenapa lo telepon malem-malem?” Tanya Alvent yang mencoba mengalihkan pembicaraan.

            “Mau tanya pr.” Dan obrolan-obrolan mereka selanjutnya berlanjut.

-ooo-

            Vita memandang benda mungil yang didekapnya. Nafasnya masih belum beraturan. Keberanian yang sia-sia. Kebiasaan yang menjadi asing. Baru saja dia berusaha menghubungi Alvent, tapi saat suara Alvent terdengar lidahnya menjadi kaku dan dengan brutalnya dia memutus hubungan via telepon itu.

            “Bego banget gue!” gerutu Vita sambil memukul-mukul kepalanya. “Biasanya juga sering telepon Alvent tapi kenapa sekarang jadi nervous sih,” uacap Vita yang bingung dengan perubahan sikapnya.

            “Coba lagi deh.” Vita yang memulai menghubungi Alvent lagi tapi baru saja dia menempelkan handphonenya ditelinga langsung terdengar nada sibuk dari operator.

            “Kok sibuk sih?” keluh Vita yang gagal menghubungi pacar barunya itu. “Coba handphonenya aja,” ucap Vita yang tak pantang menyerah. Dengan duduk dipinggir tempat tidurnya, Vita setia mendengar nada sambung dari handphoe mungilnya.

-ooo-

            “Oke deh, bye.” Dan klik. Percakapan Alvent dan Hendra terhenti.

            “Kok malah ngobrol sama bang Hendra sih?” tanya Pia yang tiba-tiba muncul dihadapan Alvent.

            “Tadi Hendra telepon. Emang tadi beneran telepon dari Vita?” tanyanya yang penasaran.

            Pia mengangguk. “Iya. Tadi telepon dari kak Vita. Katanya kak Vita mau ngomong serius sama elo.”

            “Masak?”

            Pia mengangguk lagi. “Beneran!! Sumpah deh gue nggak bercanda,” jawab Pia dengan mengacungkan dua jari tangan kanannya yang membentuk huruf ‘V’.

            Alvent meninggalkan Pia yang masih berdiri di tempatnya. Bayangan Vita langsung memenuhi otaknya. Dan aktivitas yang ingin dilakukannya adalah duduk dikursi balkon sambil memandang langit yang mendung. Tapi belum-belum handphone hitam miliknya mengundang perhatiannya.

            “Hah? 14 misscall? Dari Vita??”

-ooo-

            Hari terus berganti. Keadaan sedikit demi sedikit bisa diterima oleh Vita. Kedatangan kedua orang tuanya. Kehadiran Lili. Perasaan Alvent padanya. Semuanya pelan-pelan dihadapi olehnya. Bahkan pelan-pelan perasaannya terhadap Hendra menguap begitu saja, pergi entah kemana.

            Pagi ini Vita bersama Lili berangkat sekolah bersama. Vita mengiyakan ajakan kedua orang tuanya saat sarapan untuk mengantarnya.

            “Belajar yang bener,” nasehat mama kepada Vita dan Lili saat mereka akan masuk ke gerbang sekolah.

            Dengan beriringan Vita dan Lili memasuki gerbang SMA Tri Tunggal. Kejadian yang langka bagi Alvent dan Hendra yang melihat mereka.

            “Uhuk uhuk,” suara batuk Lili membuat Vita memandangi kembarannya tersebut dan sebercak darah terlihat ditangan Lili.

            “Elo nggak papa Li?” tanya Vita khawatir dan inilah kata-kata yang membuat Lili tersenyum.

            “Enggak kok. Aku nggak papa. Yuk masuk entar telat,” kilah Lili yang sudah membersihkan darah dari tangannya. Akhirnya kamu bicara sama aku Vit, batin Lili.

            Hari ini berjalan seperti biasanya. Masuk sekolah pukul tujuh tepat dan pulang pukul tiga sore. Tapi mungkin bagi Lili ada yang berbeda. Tadi, sebelum dia pulang, Hendra mengajaknya pergi melihat matahari tenggelam. Ajakan yang diidam-idamkannya dari dulu.

            “Pulang bareng nggak?” tanya seseorang dari arah belakangnya. Lili tertegun saat mengetahui siapa yang mengajaknya. Vita!

            “Enggak. Aku pulang sama Hendra,” jawab Lili yang sedikit membuat Vita cemburu.

            Vita mengangguk-anggukan kepalanya. Mencoba meredam rasa cemburu yang tiba-tiba merasuk ke hatinya tapi dia harus ingat bahwa sekarang dia telah menjadi milik Alvent.

            “Oke. Gue pulang dulu kalo gitu,” katanya yang langsung meninggalkan Lili di depan pos satpam sekolah mereka.

            “Yuk,” tiba-tiba Hendra sudah berada dihadapan Lili.

            “Yuk,” ucap Lili dengan senyum mengembang dibibir merahnya.

-ooo-

            “Hallo cewek,” goda Alvent yang melihat Vita berjalan sendirian.

            Vita yang menengok langsung memerah mukanya. Jantungnya tiba-tiba berdegub lebih cepat dari biasanya.

            “Apaan sih lo Vent,” gerutunya yang malu digoda sama pacar sendiri.

            “He he, pulang bareng yuk,” ajak Alvent.

            Vita tidak bisa menutupi muka merahnya mencoba mengalihkan pandangannya dari Alvent. Sebenarnya dia ingin langsung menjawab ‘iya’ tapi gengsinya terlalu tinggi.

            “Mau nggak?” ulang Alvent yang geli melihat muka Vita yang tak kalah merah dari tomat.

            “Iya deh,’ jawab Vita yang menyerah.

            Alvent tersenyum melihat Vita yang mendekati dia dan sepedanya. Tapi sebelum Vita membonceng, Alvent menghentikan langkah gadis itu.

            “Makan dulu ya,” pintanya dan disambut oleh anggukan dari Vita.

            Lalu sepeda Alvent menyusuri jalan raya di kota Bandung. Sesekali orang-orang yang ada dijalan melihat ke arah mereka. Jarang-jarang ada anak muda pake sepeda.

-ooo-

            Lili membonceng sepeda Hendra menuju bukit untuk melihat matahari tenggelam. Walaupun masih dua jam lagi matahari baru akan tenggelam. Kadang saat jalan tanjakan Lili harus rela turun dari sepeda Hendra dan menemani cowok itu menuntun sepeda. Berdua seperti ini adalah hal yang paling ditunggu Lili, karena kemarin-kemarin dia hanya bisa melihat Vita yang bisa disamping Hendra. Tapi sekarang, dirinyalah yang disamping Hendra.

            “Duduk sini aja Li,” titah Hendra yang sudah duduk dibawah pohon. Tempat yang sangat strategis untuk melihat matahari tenggelam nanti.

            Lili menurut. Dia mengikuti Hendra dan duduk disaping cowok itu. Cowok yang disukainya sejak pandangan pertama. Cukup lama mereka berdua berdiaman sampai akhirnya Hendra mengajaknya untuk berbicara.

            “Elo udah baikan sama Vita?” tanya Hendra.

            Lili mengangkat kedua bahunya. “Nggak tau. Tapi setidaknya dia udah mau bicara sama aku.”

            “Aku boleh minta tolong?” pinta Hendra yang tiba-tiba mengubah gaya bahasanya.

            “Apa?”

            “Kamu mau bantuin aku buat deket sama Vita?”

            Lili mengerutkan keningnya. “Kaliankan udah deket. Kamu malah lebih deket sama Vita.”

            Hendra garuk-garuk kepalanya. Bukan gatal tapi bingung, ada benarnya juga dia lebih dekat dengan Vita daripada Lili.

            “Tapikan elo serumah sama dia,” Hendra mencoba mencari alasan.

            Lili semakin bingung dengan arah pembicaraan Hendra. Kurang dekat apalagi coba Hendra dengan Vita.

            “Emang mau deket kayak gimana lagi?” tanya Lili yang membuat Hendra terdiam tak bisa menjawab.

            Hendra tetap diam cukup lama. Alasan apa yang bisa dipakainya sekarang ini. Mengatakan dengan jujur kepada Lili adalah hal yang ditakuti Hendra. Dia takut jika rahasianya akan terbongkar begitu saja.

            “Li,” panggil Hendra. Sekarang dia akan membocorkan perasaannya kepada Lili.

            “Kenapa?” tanya Lili yang masih heran dengan sikap Hendra sore ini.

            “Aku suka sama Vita,” ucap Hendra begitu saja. Mengakui perasaannya dengan raga yang mirip dengan gadis yang dicintainya selama ini.

            Lili terdiam. Tercengang mendengar pengakuan cowok dihadapannya. Hendra menyukai Vita.

            “Terus?” satu kata yang tiba-tiba meluncur dari bibir Lili.

            Hendra menghela nafasnya. Mencoba mengatur nafas dan meredam rasa yang muncul dihatinya. Rasa malu.

            “Aku mau minta tolong kamu buat deketin aku sama Vita,” pinta Hendra sekali lagi.

            “Aku tau aku lebih deket sama Vita daripada kamu tapi kamu nggak tau walaupun aku sahabatan sama Vita, aku nggak tau dia seluruhnya. Ada bagian dimana aku nggak bisa masuk ke hidupnya. Dan aku rasa cuma kamu yang bisa masuk ke sana.

            Kamu mau kan Li?”

            Lili tersenyum. Mencoba tenang melihat ini semua. Memendam hatinya yang sudah memberontak secara keras.

            “Aku bakalan bantu kamu.”

            “Makasih ya Li,” ucap Hendra dengan senyuman yang sangat indah, tapi sayang senyum itu bukan milik Lili.

            Dan saat matahari tenggelam suasana berubah. Lili sudah tak bisa melihat indahnya senja sore ini. Hatinya sudah terkanjur mendung. Awan hiam sudah menyelimuti hatinya. Bahkan sekarang dia harus memakai topeng. Pura-pura tersenyum dihadapan Hendra dan menangis dibelakangnya. Dia suka Hendra tapi Hendra suka Vita.

-ooo-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar