Between Our Hearts 5
by Mayangsari Vitaism on Friday, December 23, 2011 at 10:01pm
-ooo-
Between Our Hearts
5
-ooo-
Hendra tertegun melihat ketakjuban pemandangan di depannya. Cahaya matahari kuning keemasan yang akan tenggelam. Refleksi warna yang begitu cantik. Keindahan alam yang luar biasa. Matahari yang sama. Pemandangan yang sama. Tapi tidak dengan yang menemaninya. Tak ada Alvent apalagi Vita. Dia hanya bersama Lili. Raga yang mirip Vita.
“Keren banget,” gumam Lili yang menyedot perhatian Hendra. Cowok itu tersenyum melihat tingkah Lili yang begitu senang melihat matahari tenggelam.
“Baru pertama liat?” tanyanya.
Lili mengangguk tanpa melihat Hendra yang sedaritadi menatapnya. “Iya. Aku jarang banget liat sunset, malah nggak pernah,” kata Lili yang kemudian membalas tatapan Hendra, “Makasih ya Ndra,” ucapnya dan menutup kalimatnya dengan senyuman dibibir mungilnya.
Pasti lebih seru kalo ada Vita sama Alvent, batin Hendra. Tapi sebenarnya mereka sedang melihat matahari yang sama. Di atas sepedanya dipinggir jalan Alvent sedang melihat matahari itu, juga dengan Vita yang duduk dibalik jendelanya memandang indahnya senja di sore hari.
-ooo-
Hari yang dilalui mereka tak sama lagi. Pertengkaran dingin kemarin sore sedikit demi sedikit memberi celah diantara Vita dan Hendra dan semakin mendekatkan Hendra dan Lili. Sedangkan Alvent hanya bisa berada di daerah yang putih. Melihat cinta segitiga yang sebenarnya secara tidak langsung membawanya ke dalam kisah itu.
Dari dalam kelasnya Vita sedang menatap Hendra yang berjalan dengan Lili menuju kantin sekolah. Dia seperti melihat dirinya sendiri berada disamping Hendra. Mereka tampak mengobrol dengan sesekali tertawa bersama. Tawa yang dirindukan oleh Vita. Karena sudah tiga hari sejak kejadian itu Vita tak pernah berbicara dengan Hendra.
“Liat apaan sih Vit?” tanya Alvet yang tiba-tiba ada di depannya. “Oh, Hendra sama Lili,” sambungnya lagi yang tau apa yang dilihat Vita.
Vita menganggukan kepalanya sambil terus melihat Alvent yang duduk di depannya. Ada perasaan yang aneh di hatinya. Ternyata Alvent ganteng juga.
“Ngapain lo liatin gue terus?” tanya Alvent yang mulai sadar jika Vita sedaritadi menatapnya. Vita geleng-geleng. “Nggak papa.”
“Gue tau kalo gue ganteng tapi ngeliatinnya santai dong Vit jangan melotot gitu,” ucap Alvent dengan tingkat kepercayaan diri mendadak meningkat.
“Huuu, pede banget lo,” cela Vita sambil memukul lengan Alvent dan membuat mereka tertawa bersama.
-ooo-
Vita semakin dekat dengan Alvent. Hendra semakin dekat dengan Lili. Begitulah hari-hari mereka berikutnya berlanjut. Persahabatan Alvent dengan Vita, persahabatan Alvent dengan Hendra, persahabatan Hendra dengan Vita masih berjalan walaupun tak sedekat dulu seperti sebelum Lili masuk ke lingkar kehidupan mereka.
“Ndra aku mau ngomong sama kamu,” ucap Vita suatu hari kepada Hendra yang sedang asik bercanda dengan teman-temannya.
Melihat kedatangan Vita di kelasnya Hendra segera menghentikan aktivitasnya dan menarik Vita ke luar kelas.
“Ngomong apa?” tanyanya setelah berada di luar dan melepas pergelangan Vita yang ditariknya tadi.
Vita memutar kedua bola matanya. Dia gugup harus bicara gimana dengan Hendra, sorot mata Hendra yang menatapnya tajam semakin membuatnya takut untuk berbicara. Tapi jika dia batal berbicara dia bisa kena marah Alvent karena Vita sudah berjanji dengan Alvent bahwa hari ini dia akan memperbaiki hubungan persahabatan mereka. Jadi serba salah.
“Emm, itu...” kata-kata Vita jadi terputus-putus saking gugupnya.
Hendra menaikan alis kanannya. Dia bingung dengan gerak-gerik sahabatnya ini. “Itu apa? Kalo ngomong yang bener.”
“Gue mau minta maaf,” ucap Vita dengan intonasi cepat yang membuat Hendra tak bisa mendengarnya dengan jelas.
“Apaan? Gue nggak denger.”
Vita menghembuskan nafasnya sebelum mengulang kata-katanya tadi. “Gue mau minta maaf sama elo,” ulangnya dengan kepala tertunduk melihat sepatunya dan sepatu Hendra yang ternyata memiliki warna yang sama. Warna hitam!!!
“Oh,” Hendra menanggapinya dengan santaai dan Vita langsung mengangkat kepalanya.
“Oh? Cuma gitu doang?” tanyanya tak percaya
“Terus gimana lagi dong?” Tiba-tiba sifat jail Hendra keluar. Sudah lama dia tidak menjaili sahabat cewek satu-satunya ini.
Vita menggembungkan pipinya. Dia sudah merasa jika dirinya sedang dipermainkan oleh Hendra.
“Ih lucu banget sih kalo gini,” kata Hendra sambil mencubit kedua pipi Vita.
“Sakit tau,” Vita memukul-mukul tangan Hendra sampai tangan itu menyingkir dari pipinya.
“Iya deh,” Hendra melepaskan tangannya dari pipi chubby Vita. “Kenapa lo minta maaf sama gue?” tanyanya dengan serius.
“Nggak papa, gue ngerasa kalo gue salah sama lo dan karna nggak mau jadi pengecut ya gue minta maaf sama elo,” jawab Vita terus terang. “Elo maukan maafin gue?” sambungnya lagi.
Hendra mengangguk. “Pasti. Sebelum lo minta maaf gue udah maafin kok,” ucapnya sambi mengelus puncak kepala Vita.
“Apa nih?” tanya Hendra yang melihat Vita menyodorkan jari kelingkingnya didepan mukanya.
“Janji kalo kita nggak akan berantem lagi.” Lalu Hendra mengaitkan jari kelingking kanannya ke kelingking kanan Vita.
Bagi orang yang melihat mereka mungkin kelakuan mereka seperti anak kecil, terlalu sederhana tapi bagi seseorang yang melihat mereka dari jauh tingkah Hendra dan Vita itu penuh makna.
“Akhirnya baikan juga itu anak berdua,” gumam orang tersebut.
-ooo-
Hari sudah berganti malam. Vita sibuk dengan buku-buku di meja belajarnya. Tugas rasanya tak pernah berhenti mengisi hari-harinya selama menjadi murid sma. Tugas satu belum selesai tugas lainnya sudah menusul.
Tok tok tok
“Masuk!” teriak Vita saat mendengar pintu kamarnya diketuk oleh seseorang.
-ooo-
Malam ini Lili berniat untuk berbicara dengan Vita. Bicara semuanya. Bicara yang memang perlu dibicarakan. Bicara dari hati ke hati. Dia sudah tak sanggup lagi menjadi saudara yang tak dianggap. Dengan keberanian yang telah dikumpulkannya dari kemarin dia menuju kamar Vita.
Hufft, Lili menghembuskan nafasnya sebelum masuk ke kamar Vita.
Tok tok tok, Lili mengetuk pintu di depannya, berharap akan terbuka.
“Masuk!” terdengar suara Vita dari dalam dan dengan penuh keberanian serta kegelisahan Lili masuk ke kamar Vita.
“Vit,” ucap Lili yang membuat Vita berpaling dari tugas-tugasnya dan menatap dirinya.
“Elo ngapain ke sini?!!” Vita terlihat terkejut dengan hadirnya Lili di dalam kamarnya. “Keluar sana!” Vita berdiri dan mendorong Lili ke luar dari dalam kamarnya.
“Aku mau ngomong sama kamu, please!” mohon Lili dengan sekuat tenaga menahan dorongan dari Vita.
“Nggak ada yang perlu diomongin,” tukas Vita cepat dan kembali mendorong Lili untuk keluar dari kamarnya.
Lili menyerah. Dia akhirnya keluar dari kamar Vita. Mungkin bukan sekarang, pikirnya dan kemudian meninggalkan kamar Vita.
-ooo-
Seperti biasanya, hari-hari Vita berjalan seperti semula berangkat dan pulang sekolah bersama Alvent dan Hendra. Tapi jika dengan Hendra sudah hampir seminggu dia tak pernah naik sepedanya lagi dan hari ini saat pulang sekolah Vita sengaja memilih Hendra untuk dia boncengi.
“Akhirnya gue naik sepeda butut lo lagi Ndra ha ha ha,” kata Vita ditengah jalan.
“Enak aja. Sepeda gue sama Alvent masih bututan sepeda Alvent tau.”
“Ha ha ha tau aja lo Ndra kalo sepeda dia lebih butut,” jawab Vita sambil melirik Alvent yang berada di sampingnya.
Alvent yang mendengar namanya dibawa-bawa ikut nimbrung. “Heh! Ngapain lo berdua ngomongin gue?”
“Pedee...” ucap Vita dan Hendra bersamaan.
Dan suasan seperti inilah yang membuat persahabatan mereka tambah erat. Canda tawa yang mengisi hari-hari mereka membuat dunia semakin indah.
“Kita ke danau dulu yuk,” ajak Vita dan langsung disetujui oleh Alvent dan Hendra.
Tak memperlukan waktu yang lama untuk sampai di danau tersebut. Hamparan rumput yang begitu indah. Air danau yang tenang. Tapi ternyata danau itu tak sepi seperti biasanya ada seorang cewek yang sedang duduk di pinggir danau itu.
“Itukan Lili,” gumam Hendra yang langsung menghampirinya.
Vita hanya menatap pasrah Hendra yang semakin dekat dengan Lili. Mungkin cintanya cukup sampai disini untuk Hendra.
“Nggak usah cemburu,” ucapan Alvent membuat Vita kaget.
“Siapa yang cemburu?” kilah Vita
“Elolah masak gue? Gue tau elo suka sama Hendra,” kata Alvent tenang tapi hatinya sangat bergejolak.
Vita diam. Ternyata susah payah ditutupinya perasaan itu tetap saja Alvent tau apa yang dia rasakan. Alvent, selalu Alvent yang tau apa yang dia rasakan. Dari dulu hingga sekarang tak pernah berubah. Bagi Vita, Alventlah yang paling tau dirinya.
“Elo emang dukun. Selalu tau apa yang gue rasain.” Kata Vita pura-pura kesal.
“Tapi kenapa lo nggak bisa ngerasain apa yang gue rasa?” tanya Alvent dengan lembut. Matanya dengan tenang melihat air danau yang tak kalah tenang. “Gue suka sama elo dari dulu sampe sekarang,” sambungnya lagi dengan penuh kejujuran. Inilah saat yang tepat baginya untuk mengungkapkan semua yang dia rasa.
Vita seperti disambar petir di siang bolong. Alvent ternyata suka dengannya. Tak terlihat kebohongan dari wajah cowok itu. Wajah yang sangat Vita kagumi, lembut dan penuh kharisma.
“Beneran lo suka sama gue?” tanyanya menunggu kepastian.
“Udahlah nggak usah dipikirin omongan gue tadi. Anggep aja angin lalu,” kata Alvent tanpa menjawab pertanyaan Vita.
“Nggak bisa. Elo udah ngomong dan lo harus tanggung jawab,” Vita ngotot memaksa Alvent mengakui perasaannya lagi.
“Kalo gue beneran suka sama lo, apa lo mau jadi cewek gue?” tantang Alvent.
Vita tertegun mendengar ucapan Alvent. Walaupun sebenarnya belakangan ini, saat dia jauh dengan Hendra dan semakin dekat dengan Alvent membuat dirinya merasakan sesuatu yang aneh. Yang indah dan abstrak.
“Kalo gue mau gimana?”
-ooo-
Makash yang udah mau baca. Ditunggu banget commentnya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar