SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Sabtu, 15 September 2012

Sandiwara Cinta #4


Sandiwara Cinta
Part 4

***

            “Keren lo Vit. Nih mobil gue buat elo.”
            “Yakin?” kata Vita tak percaya saat Nitya menyodorkan kunci mobil BMW nya.
            “Iyalah. Elokan menang taruhan. Elo ingetkan taruhan kita dulu?”
            Vita terhenyak lalu dengan ragu dia mengangguk.
            “Nggak nyangka kita bisa mainin playboy cap kampung itu,” timpal Greys dengan geleng-geleng kepala.
            Vita ikut tertawa bersama mereka. Ya dia memang sedang taruhan dengan teman-temannya untuk menyakiti Hendra jagoan sekolah mereka dan sekarang misi mereka berhasil.
            “Jadi gue barang taruhan elo semua?” suara yang berat itu mengagetkan Vita dan teman-temannya. Ternyata Hendra sudah ada di antara mereka entah dari kapan.
            “Brengsek ya lo Vit. Gue udah tulus cinta sama elo malah kayak gini balesannya?”
            Vita hanya diam dan menunduk mendengar makian dari Hendra. Air matanya sudah meleleh.
            “Aku bisa jelasin sama kamu.”
            “Aku nggak butuh penjelasan dari kamu!”
            Hendra pergi dari hadapan Vita dengan langkah cepat-cepat. Hatinya sakit mendengar semuanya. Semua yang telah diucapkan oleh Vita tadi begitu dalam. Perih. Sakit.
            “Dengerin aku dulu. Aku bisa jelasin semuanya.”
            Vita mengekor di belakang Hendra. Beribu maaf telah terucap dari bibirnya tapi tak sedikitpun Hendra meliriknya. Langkahnya yang tegas dan cepat tak bisa diimbangi Vita.
            Braakkk!!!
            Hendra tercekat mendengar suara itu. Ditengokannya kepalanya ke belakang. Vita masih ada di belakangnya. Tapi gadis itu sudah diam di tempatnya. Dia tak lagi mencegah Hendra untuk pergi, Vita sudah tak meminta Hendra untuk mendengarkan penjelasannya. Gadis itu terkapar di tengah jalan dengan darah yang bercucuran diantaranya. Hendra tercekat melihatnya. Vita sudah tak bergerak di depan sebuah mobil bak hitam.

***

            Alvent masih menunggu Vita di ruang perawatan kampusnya. Di sana juga ada Hendra dan Age. Mereka sedang menunggu Vita siuman. Dilihatnya gadis itu terbaring di kasur. Begitu lemah dan ringkih. Betapa menyesalnya Alvent menyakiti Vita. Sedalam itukah dia melukai?
            “Emm.. emm..”
            Igauan Vita membuat Alvent, Hendra dan Age memperhatikan gadis itu. Tangannya bergerak-gerak dan beberapa detik kemudian kelopak mata Vita membuka perlahan. Vita mulai bangun setelah dua jam tak sadarkan diri.
            Vita membuka matanya perlahan. Kepalanya sedikit pusing melihat pantulan lampu yang menyorot matanya. Begitu terang.
            “Hendra,” katanya dengan suara yang sedikit parau tapi wajahnya begitu senang melihat laki-laki yang berdiri di sampingnya itu. Buru-buru dia mencoba untuk bangkit dari posisinya tapi tubuhnya tak kuat untuk menopang.
            “Jangan dipaksa kalo belum bisa,” ujar Hendra yang langsung membantu Vita untuk duduk. Jatungnya begitu berdebar melihat Vita sedekat ini.
            “Makasih.”
            Vita tersenyum. Tapi dia juga heran melihat dua orang yang berdiri di ruang itu juga. Dua orang laki-laki yang tak dikenalnya.
            “Mereka temen mu?”
            Hendra menoleh melihat Alvent dan Age. Memang benar mereka teman-temannya, tapi Vita bertanya seolah tak kenal dengan mereka.
            “Kamu nggak kenal sama mereka?”
            Vita menggeleng.
            “Beneran?”
            Vita mengamati dua orang asing itu. Dia benar-benar tak mengenaalinya sedikitpun. Vita menggeleng lagi.
            Hendra menghirup nafas dengan berat lalu dihembuskannya lagi.
            “Kamu udah nggak marahkan sama aku?”
            Pertanyaan Vita membuat Hendra mengerutkan keningnya. Marah?
            “Aku bisa jelasin semuanya Hend. Aku nggak bermaksud mainin kamu. Aku bener-bener sayang sama kamu.”
            Kata-kata itu bergulir dengan manis dari bibir Vita. Kata-kata yang menusuk hati Alvent sampai bagian terdalamnya. Apa maksud semua ini? Begitu banyak kejutan untuk hari ini. Vita tak mengenalinya bahkan gadis yang dicintainya mengatakan bahwa dia menyayangi Hendra. Sakit. Amat sakit.
            Alvent pergi dari ruangan itu. Dibantingnya pintu ruangan itu. Dadanya bisa menjadi lebih sesak jika dia masih berada di dalam sana. Obrolan dan adegan yang terjadi di sana begitu membuat Alvent naik pitam. Semua ini begitu tak masuk akal baginya.
            Hendra masih di dalam bersama Vita. Setelah Alvent keluar tak lama Age juga ikut pergi dari sana. jadi sekarang hanya ada Hendra dan Vita di ruang itu.
            “Temen mu tadi kenapa sampe banting pintu segala?”
            “Nggak tau tuh.”
            “Namanya siapa?”
            “Siapa?”
            “Temen mu tadi yang banting pintu.”
            “Oh, Alvent. Kamu gimana udah baikan?”
            Hendra mengalihkan pembicaraan. Dia tidak suka jika harus membahas Alvent.
            Vita mengangguk dan tersenyum. Dia senang bisa melihat wajah Hendra. Seperti sudah lama dia tak menatap wajah laki-laki yang disayanginya ini.
            “Dulu, pertamanya emang aku buat kamu barang taruhan tapi ternyata aku dapet karma, aku jadi bener-bener sayang sama kamu,” ujar Vita yang terus menatap Hendra. Entah mengapa ada yang berbeda dari Hendra. Ada rasa yang kosong dan hambar saat dia mengucapkan itu semua tapi biarlah mungkin karena kecelakaan kepalanya jadi sedikit agak melenceng.
            “Hend,”
            “Mmm?”
            Vita diam sebentar. Ditundukan kepalanya.
            “Kamu tetep mau jadi pacarku kan?”
            Hendra diam menatap Vita. Inilah hal yang ditunggunya. Vita ternyata benar-benar sudah kembali. Ingatan gadis itu sudah mengenali siapa dirinya. Sudah tidak ada Alvent lagi, sekarang dia bebas memiliki Vita seperti yang dia harapkan. Tapi saart hal yang sangat diinginkannya sudah ada dihadapan matanya ada sesuatu yang telah dilupakan Hendra belakangan ini. Dia melupakan Yana. Dia melupakan seseorang yang sudah mengisi sebagian hati yang ditinggalkan Vita dulu. Setelah Vita kembali menempatinya apakah Hendra harus membuang Yana?
            “Gimana Hend?”
            Wajah Vita begitu menggetarkan hatinya. Meruntuhkan kebimbangannya. Dia tak bisa melepaskan Vita lagi. tidak untuk kedua kalinya.
            “Iya. Aku tetep pacar kamu,” ucapnya kemudian. Biarlah Yana menjadi urusan nanti. Biar takdir yang menyelesaikannya.
            Vita tersenyum lalu memeluk Hendra erat. Getaran itu mulai kembali.
            Setelah mendengar cerita dari Age, Alvent kembali ke ruang perawatan itu dan melihat adegan itu dari celah pintu. Dia hanya tersenyum getir. Vita sudah menjadi milik Hendra. Dia sudah kembali ke dunianya yang nyata. Ternyata Alvent hanya ilusi dalam hidup Vita. Alvent berbalik lalu berjalan menjauhi ruangan itu dengan sedikit menyeret langkahnya. Hendra dan Vita. Apakah akan ada yang terluka lagi?

 ***

Bersambung...

Kamis, 13 September 2012

Sandiwara Cinta #3


Sandiwara Cinta
Part 3

***

            Udara malam ini begitu dingin, merasuk hingga ketulang Alvent. Masih teringat jelas bagaimana tatapan yang diberikan Hendra kepada Vita tadi siang. Tatapan yang belum pernah ia lihat. Dalam dan lembut. Dia begitu cemburu melihat itu semua. Dia bukan takut kalahan taruhan dari Hendra tapi Alvent takut jika dia yang akan tersisih lebih dulu dari hati Vita. Hati yang mulai dimasukinya. Hati yang dipilihnya untuk ditinggali.
            “Arrghh!”
            Alvent menjerit. Frustasi. Nafasnya memburu bersama egonya. Naik turun secara brutal. Sesak. Dia benci keadaan seperti ini. Dia amat benci harus taklut dengan cinta dan dia begitu benci harus merasakannya lagi.

***

            Di malam yang sama dan tempat berbeda Vita memasuki rumahnya dengan membawa novel yang baru saja ia beli. Perahu Kertas karya Dewi Lestari, penulis favoritnya. Ada rasa senang akhirnya dia bisa memilikinya.
            “Kamu beli apa Vit?” tanya Kania, kakak Vita yang melihat sang adik membawa sesuatu di tangannya.
            “Beli Novel.” Vita menunjukan novel Perahu Kertas itu kepada Kania.
            Kania mengerenyitkan keningnya. Novel yang dibawa Vita membuatnya bingung.
            “Kamu beli novel itu lagi?”
            “Vita kan belom beli.”
            Sekarang giliran Vita yang bingung. Ditatapnya Kania dalam lalu menatap novel yang dipegangnya. Kapan?
            “Emang Vita pernah beli?”
            Kania diam sesaat. Dia lupa jika Vita sedang lupa ingatan. Kecelakaan yang lalu membuat Vita kehilangan setengah memorinya.
            “Nggak usah dipikirin deh. Kakak juga lupa,” kata Kania nanar menatap Vita. Dia memaksakan senyumnya. “Tidur sana, udah malem.”
            Vita menurut. Dia melangkahkan kakinya menuju kamar. Masih dengan pertanyaan yang berkelebat di kepalanya. Hari ini begitu ganjil untuknya. Banyak sekali kejadian yang membuat kepalanya pening.
            Vita masuk ke kamar dan menaruh novel itu ke rak bukunya. Menjajarannya dengan koleksi-koleksi novel lainnya. Tapi saat itu matanya tertuju pada sebuah novel. Novel yang sama persis dengan yang dipegangnya. Ternyata yang dikatakan Kania benar. Dia sudah memiliki novel itu, tapi kapan dia membelinya?
            “Kok gue udah punya sih?”
            Vita memegang kedua novel itu. Sama persis. Diletakannya novelnya yang baru dan dibukannya yang lama. Kertasnya memang sudah mulai menguning. Dibukanya halaman demi halaman tanpa membacanya. Dan disalah satu halaman ada gambar dirinya dengan seorang laki-laki. Dengan Hendra lebih tepatnya. Vita tercengang melihat itu. Hendra lagi yang muncul. Diambilnya foto itu, Vita mengamatinya dengan seksama. Dibaliknya foto itu dan terdapat sebuah tulisan, “Jangan pernah lupain Hendra ya...”

***

            Pagi ini Alvent menyusuri koridor kampusnya dengan langkah cepat cepat. Dia menuju ke kelasnya. Saat sudah di ambang pintu dia melihat Hendra sedang duduk di sana. Sendiri sembari membaca buku.
            “Ndra gue mau ngomong sama elo.”
            Nafas Alvent memburu. Dadanya naik turun.
            Hendra meletakkan bukunya. Melihat Alvent dengan tatapan bingung.
            “Mau ngomong apa?” tanya Hendra. Sebenarnya dia usdah tahu arah pembicaraan sahabatnya itu.
            Alvent masih diam. Dia sedang menenagkan egonya.
            “Mau ngomong masalah kemaren? Elo cemburu sama gue?” Hendra dengan lantang mengatakannya. Dia sebenarnya juga ingin menghentikan ini semua. Hari ini juga.
            Alvent mendelik.
            “Mau lo apa sih?”
            Hendra tersenyum kecut.
            “Mau gue? Mau gue elo putus sama Vita sekarang. Kita batalin taruhan kita.”
            Dengan tenang Hendra mengatakannya. Sengaja. Dia tidak mau terlalu jauh menyakiti Vita.
            Alvent meledak mendengar itu. Seenaknya Hendra menyuruh Alvent. Hendra telah membawa Alvent kepada Vita dan sekarang Hendra akan merebutnya begitu saja? Jangan harap.
            “Maksud lo apa? Elo yang nyuruh tarohan dan sekarang nyuruh batalin seenak jidat gitu aja.”
            Alvent masih emosi. Sebenernya dia senang jika taruhan itu dibatalkan karna dia bisa dengan tulus membalas cinta Vita. Bisa secara terbuka jujur kepada dirinya. Tapi dia belum siap berpisah dengan Vita. Dia menyayangi Vita.
            “Iya elo putusin dia. Anggep kita nggak pernah tarohan. Lupain Vita. Gampangkan?”
            Hendra mulai terbakar emosinya. Dia benar-benar takut melihat gelagat Alvent. Takut jika dugaannya kali benar jika Alvent benar-benar jatuh cinta kepada Vita.
            “Gue nggak mau!”
            Hendra terdiam mendengarnya. Tangannya sudah mengepal keras. Sakit.
            “Gue nggak bakal mau putusin Vita walopun teruhan kita batal.”
            Kelas itu sunyi. Dua orang yang di dalamnya hanya berdiri dan saling menatap. Hanya sengalan nafas diantara keduanya yang terdengar.
            “Kalo elo nggak mau putusin Vita biar gue yang ngerebut dia lagi. Inget elo nggak bakal bisa miliki dia. Jangan pernah mimpi buat jadi pacar Vita!”
            Hendra mengatakannya ditengah deraan emosinya yang dalam. Ditekannya setiap kata itu.
            Tapi entah disadari atau tidak. Ada yang menyaksikan adegan itu. Ada yang mendengar pembicaraan mereka. Di ambang pintu ada Age yang menyaksikannya. Tak disangkanya Alvent dan Hendra sedang memperebutkan Vita. Bahan taruhan mereka sendiri lalu diliriknya orang yang ada di sampingnya. Gadis itu memangis sembari menutup mulutnya, menekannya agar isaknya tak terdengar. Vita menangis di samping Age. Dia tak menyangka dengan apa yang dilihat, dengan apa yang didenger. Kedua laki-laki di depannya ini begitu jahat kepada dirinya. Begitu kejam. Tapi Vita takut untuk bergerak. Dia takut untuk berteriak, memaki dan menampar mereka.           
            “Harusnya gue yang ngomong gitu. Elo yang jangan ngimpi bisa ngerebut Vita dari gue.”
            Perkataan itu selesai. Alvent berbalik dan berjalan keluar. Tapi begitu kagetnya saat dia melihat Vita menangis di samping Age. Gadis itu memandangnya. Mata menyiratkan kepedihan yang mendalam. Alvent berjalan mendekati Vita tapi saat di depan gadis itu dia tak berkata apa-apa. Vita dan Alvent hanya saling memandang. Mencoba berbicara dan menjelaskan lewat tatapan.
            “Sakit Vent,” kata Vita di tengah isakannya.
            “Kamu bisa liat nggak? Di sini,” Vita menunjuk dadanya. “Di sini rasanya sakit banget. Kamu bisa liat nggak?”
            “Kenapa aku yang dijadiin tarohan? Kenapa? Apa aku pernah jahat sama kamu?”
            Vita menghapus air matanya. Dipalingkannya tatapannya dari Alvent. dia menatap Hendra yang berada di belakang Alvent. Dia juga begitu marah kepada laki-laki itu.
            “Aku tulus sayang sama kamu Vent. Sayang banget. Tapi kalo yang sayang cuma aku nggak ada gunanya Vent,” lanjut Vita lagi.
            Alvent diam terpaku. Tak bisa berkata apa-apa lagi.
            Vita ikut diam. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk berbicara. Dan kalimat tadi sudah jelas untuk mengakhiri semuanya. Tatapannya masih beradu dengan Alvent.
            Hendra yang menyaksikan itu hanya bisa diam di tempatnya. Dia tak bisa menjelaskan apa-apa. Dia tak bisa berkata bahwa dialah yang salah. Bukan Alvent tapi dirinya. Dia tak bisa melakukan itu, tubuhnya seperti terkunci dan di saat matanya bertatapan dengan Vita ada rasa menyesal yang dalam.
            “Makasih buat semuanya Vent,” kata Vita yang coba tersenyum. Tapi kepalanya tiba-tiba pusing. Pusing yang tiba-tiba muncul akhir-akhir ini.
            “Hend, makasih juga ya. Kamu sama jahatnya kayak Alvent.”
            Bughh.
            Vita terjatuh di depan Alvent. Tubuhnya merosot ke lantai dengan bebas. Setelah kata-kata itu Vita sudah tidak kuat menahan tubuhnya untuk tetap berdiri.
            Hendra mengikuti Alvent dari belakang. Dilihatnya tubuh Vita bergelayut dalam gendongan Alvent. Dia melakukan kesalahan. Dia menyakiti Vita saat gadis itu tak mengenalinya. Tidak adil. Dia membalas semua rasa sakitnya bukan kepada lawan yang sesungguhnya.

***


Sabtu, 08 September 2012

Sandiwara Cinta #2


Sandiwara Cinta
Part 2

            Alvent melihat selembar gambar yang ada di tangannya. Selembar foto dirinya dan Vita yang baru saja diambil oleh kamera polaroidnya. Keduanya tersenyum di sana. Senyum yang jelas berbeda. Senyum yang tulus dan janggal.
            “Kok senyumnya gitu sih Vent, jelek tau.”
            Vita melihat gambar itu lalu mengambil kamera polaroid milik Alvent lagi.
            “Ulang lagi. Jangan lupa senyum yang manis.”
            Alvent menurut. Ditariknya bibirnya sebisa mungkin saat kamera itu berfokus pada dirinya dan Vita. Mencoba tersenyum seperti Vita. Tersenyum dan tulus.
            Jepret!
            Selesai. Kertas gambar keluar dari mulut kamera itu. Dengan segera Vita mengambilnya dan mengibas-ngibaskan ke udara. Berharap hasil jepretannya bisa memuaskan hatinya.
            Alvent melihat Vita dengan seksama. Sudah tiga hari dia melewati hari bersama gadis di depannya ini. Semua yang ada di Vita semakin hari menjadi semakin buram dalam pikirannya. Vita seperti fatamorgana. Bayangan. Semu. Tapi Vita juga bagai mimpi baginya, dia takut jika waktunya tiba dia akan terbangun dan kehilangan sosok di depannya ini.
            “Kok ngelamun sih?”
            Alvent tersadar dari lamunannya. Ternyata Vita juga sedang memperhatikannya.
            “Nggak papa kok,” jawabnya asal.
            “Udah yuk pulang.”
            Vita mengangguk lalu berdiri dari kursi kafe La Tansa itu. Meninggalkan tempat favoritnya.

***

            Vita menyusuri jalan setapak taman kampusnya sendirian. Langkahnya menuju kantin yang terletak di seberang taman itu. Dia sudah ditunggu Alvent di sana.
            Bruk!
            Buku yang sedang dibawa Vita jatuh. Seseorang menabraknya dari samping. Seorang laki-laki tinggi, putih yang sepertinya juga sedang terburu-buru.
            Sorry,” katanya yang mengambilkan buku milik Vita dan menyodorkannya kepada gadis itu.
            Vita hanya bisa diam melihat laki-laki di hadapannya. Kepalanya sedikit pusing. Seperti ada yang ingin keluar dari kepalanya. Seperti ada yang ingin berputar di kepalanya.
            “Makasih.”
            Vita mengambil bukunya kembali. Melihat buku itu. Berwarna pink dengan gambar hati di pojok kanan bawahnya lalu melihat laki-laki tadi lagi. Melihatnya seperti melihat bayangan terdahulu.
            “Kita pernah ketemu ya?”
            “Enggak kok. Kita belum pernah ketemu.”
            Laki-laki itu tersenyum lalu meninggalkan Vita yang masih diam di tempatnya. Meninggalkan gadis yang mengisi hatinya. Meninggalkan gadis yang ingin direngkuhnya lagi. Dan meninggalkan gadis yang akan disakitinya sesaat lagi.
            Vita berjalan kembali sambil memegang keningnya. Kepalanya masih terasa pusing. Setelah sampai di kantin dia dikejutkan lagi oleh laki-laki yang menabraknya tadi. Dia sedang duduk bersama Alvent. Dan laki-laki itu tersenyum saat mengetahui Vita memandangnya. Senyumnya...
            Alvent yang melihat Vita datang langsung memanggilnya.
            “Duduk sini.”
            Vita langsung mengambil posisi di samping Alvent. Bersebrangan dengan laki-laki yang menabraknya tadi.
            “Kenalin Vit ini Hendra sahabat aku.”
            Hendra tersenyum lalu mengulurkan tangannya pada Vita.
            “Hendra.”
            Vita ikut tersenyum dan menjabat tangan Hendra.
            “Vita.”
            Dan Alvent mereka berdua. Melihat bagaimana Hendra memandang Vita. Juga melihat bagaimana Vita membalas pandangan itu. Seperti ada ikatan yang tersekat. Dan Alvent merasa ada yang panas membara di dadanya.
            “Ehm.”
            Vita langsung melepaskan tangannya yang masih mengait di tangan Hendra. Lalu melihat Alvent yang ada di sebelahnya. Wajahnya yang dingin tak bisa menutupi hatinya yang panas.
            “Ke toko bukunya mau sekarang apa nanti?”
            Vita melirik Alvent.
            “Sekarang juga boleh.”
            Alvent menghabiskan minumnya lalu berdiri.
            “Gue tinggal dulu ya Ndra.”
            Hendra yang dipamiti Alvent hanya mengangguk lalu kembali memandangi Vita yang berada di belakang Alvent.
            “Gue duluan ya Hend,” kata Vita halus lalu menyusul Alvent yang sudah jalan menjauh.
            Hendra hanya bisa membisu di kursinya. Melihat Vita jalan dengan sahabatnya sendiri. Membiarkan kedua orang yang disayanginya akan hancur bersama dendam dan keegoisannya. Dia tahu bahwa Alvent mulai menaruh rasa dengan Vita. Dia tau jelas itu. Tapi sekarang yang dilihat Hendra bukan Vita yang dua tahun lalu. Yang bersama Alvent bukan Vitanya lagi. Bukan Vita kekasihnya lagi. Sekarang yang ada hanya Vita yang tak mengenalinya. Vita yang sudah melupakannya. Melupakannya bersama semua sakit hati dan luka yang jauh terukir di dalam hati gadis itu.

***

            Alvent mengantar Vita pulang ke rumahnya. Selesai dari toko buku tadi tidak ada pembicaraan dari mereka berdua. Sebenarnya semenjak mereka meninggalkan kantin siang tadi. Hari ini benar-benar terasa hambar bagi keduanya.
            “Kamu ati-ati ya pulangnya. Jangan lupa minum obat.”
            Alvent mengangguk lalu Vita membuka pintu mobil berwarna putih itu. Turun dan menutupnya lagi. Melihat mobil itu melaju meninggalkannya. Membiarkan hati sang pengemudinya tetap dingin tanpa sempat dia hangatkan.
            Vita memandang bintang malam sebelum masuk ke rumahnya. Memandang gugusan-gugusan itu sejenak dan tanpa ada alasan yang jelas gambar Hendra melayang di sana.
            Hendra? Siapa sebenernya dia? Kenapa jadi dia yang muncul di otakku? Kenapa Hendra? Kenapa bukan Alvent? Kenapa?

***