Sandiwara
Cinta
Pagi ini jalanan masih basah. Guyuran hujan tadi malam
masih meninggalkan sisa. Udara hari ini juga terasa lebih dingin dari biasanya.
Tapi suasana di Kampus Bina Bangsa sudah ramai.
“Noh orangnya,” katanya sembari menunjuk seorang gadis
yang duduk di kantin bersama teman-temannya. “Yang pake kaos item, rambutnya
cepak,” jelasnya lebih detail.
Alvent yang sedang duduk di pojok kantin langsung
mengalihkan pandangannya ke gadis yang ditunjuk oleh Hendra tadi. Gadis yang
memakai kaos hitam dan berambut cepak. Target barunya.
“Namanya Vita,” sambung Age yang juga sedang bersama
mereka.
“Kok gue baru liat sih,” kata Alvent heran tanpa
mengalihkan pandangannya dari Vita yang sedang tertawa bersama teman-temannya
itu. Manis, batinnya.
“Dia kemaren cuti satu semester gara-gara kecelakaan,”
jawab Hendra. “Elo beranikan?”
“Abis kecelakaan?” tanya Alvent kaget. Dia tak mendengar
pertanyaan Hendra. “Kecelakaan apaan sampe lama gitu?”
“Nggak tau gue, lagian udah sembuh ini. Berani nggak?”
tantang Hendra lagi.
Alvent lagi-lagi berpikir. Dia sudah terkenal sering
gonta-ganti pacar di kampus. Berpacaran dengan cewek di segala jurusan. Sebulan
adalah waktu terlama dia menjalin hubungan dengan seseorang. Dan sekarang dia
ditantang Hendra untuk mendapatkan Vita hanya dalam waktu satu minggu dan
mencampakannya satu minggu setelahnya. Tantangan yang benar-benar mengairahkan
nafsunya. Imbalannya dia akan mendapatkan semua apa yang dia inginkan.
“Oke,” kata Alvent menyetujui tantangan Hendra. Alvent
bukanlah orang yang matre tapi rasa penasarannya untuk menaklukan wanita itulah
yang membuatnya menerima tantangan dari Hendra. Tantangan yang sebisa mungkin
tidak menggunakan perasaan saat menjalaninya.
Dan satu perjanjian mereka buat di depan Age. Alvent akan
bermain cinta lagi. Mendekati lalu membuang Vita. Sedangkan Hendra puas dengan
persetujuan Alvent. Dia senang karena dendamnya akan segera terbalaskan. Sakit
hati yang dulu dia rasakan akan segera Vita rasakan.
***
Siang ini Alvent menyusuri kampusnya dengan santai. Tantangannya
dimulai hari ini. Dia mengedarkan pandangannya di setiap sudut yang ada,
mencoba mencari keberadaan Vita. Dan tepat di sebuah ruang kelas Alvent
mendapati Vita sedang duduk sendirian tanpa teman. Otaknya mulai berpikir untuk
berkenalan dengan Vita. Masuk dan langsung mengenalkan dirinya adalah ide
terburuk yang muncul di otaknya. Dan satu ide tiba-tiba muncul.
BRAK!!!
Suara dari luar mengganggu konsentrasi Vita. Buku yang
tadi dibacanya langsung ia tutup. Vita segera bangun dan berjalan keluar untuk
mencari sumber suara tadi. Dan seorang cowok yang sedang duduklah yang dia temui
setelah keluar dari kelas. Vita meneliti cowok yang sedang mengelus-elus
pantatnya itu sembari meringis kesakitan. Lalu Vita berjongkok dan
mensejajarkan wajahnya dengan cowok tersebut.
“Elo ngapain di sini?”
Alvent yang mendengar pertanyaan dari Vita tiba-tiba
melupakan rasa sakitnya.
“Tadi denger suara nggak? Kayak ada yang jatoh gitu,”
lanjutnya lagi dengan menengokkan kepalanya ke lorong kampus di sekitar mereka.
Alvent semakin menganga mendengar celotehan Vita. Dia
sudah berpura-pura jatuh untuk memancing Vita keluar dan respon gadis di
depannya ini benar-benar di luar dugaannya.
“Gue yang jatoh tadi.”
Alvent mencoba untuk berdiri tapi gagal, keseimbangannya
goyang, kakinya benar-benar kesleo. Dia berakting terlalu menghayati ternyata.
“Sini gue bantuin,” kata Vita yang sudah melingkarkan
satu tangannya ke lengan Alvent dan dengan hati-hati dia membantu Alvent untuk
berdiri.
“Thanks,” kata Alvent setelah berdiri tapi dia melihat
tangan Vita yang belum lepas dari lengannya.
“Sorry,” ucap Vita sedikit salah tingkah dan wajahnya
merona merah. Cepat-cepat ia lepaskan tangannya dari lengan Alvent.
Alvent terkekeh pelan melihat tingkah Vita. Baginya hal
seperti ini sering sekali terjadi di hidupnya. Cewek yang menjadi salting
setelah dekat dengannya. Masuk perangkap.
“Ngapain ketawa?” kata Vita yang langsung menghentikan
kekehan Alvent. Rona merah di wajahnya sudah hilang.
“Nggak papa,” tukasnya berbohong. “Thanks ya udah
bantuin. Gue Alvent,” kata Alvent mengalihkan pembicaraan dan mengulurkan
tangannya. Kesempatan yang bagus untuk menjajaki Vita.
“Gue udah tau siapa elo kok. Mana mungkin sih cowok sefamous elo gue nggak tau,” jawab Vita
dengan tersenyum centil. “Vita,” ucapnya lagi sembari menyambut uluran tangan
Alvent.
“Gue terkenal jadi playboy
ya?”
“Gue lebih suka nyebut elo sebagai penakluk wanita,”
jawab Vita santai.
“Oh ya? Gue nggak pantes menyandang status sebagai
penakluk wanita,” kata Alvent dengan menatap tajam mata Vita. Dikuncinya
pandangan gadis itu agar selalu terfokus padanya. “Karna gue belom naklukin
wanita ciptaan Tuhan di depan gue ini.”
Gombal.
Vita hanya bisa diam di sana. Berdiri tanpa ada respon
apapun. Dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok di depannya ini.
Hatinya meleleh mendengar gombalan dari Alvent. Jantungnya berdetak lebih cepat
dari biasanya. Dan sekarang dia merasakan ada sesuatu yang aneh menjalar ke
tubuhnya. Dia ingin melumat Alvent sesegera mungkin. Berlebihan.
Dan hubungan mereka berawal dari sana. Dari kejadian yang
sudah direncanakan oleh Alvent. Sandiwara di depan kelas bahasa mengawali
sandiwara cinta yang akan Alvent buat untuk Vita. Tanpa Alvent sendiri tau
bahwa dia akan ikut terluka dengan permainan yang dibuatnya.
***
Kemarin menjadi hari yang membuat Vita kembali
bersemangat. Entah mengapa kehadiran Alvent dihidupnya memberi warna sendiri.
Dia tahu jika Alvent sering bermain dengan cinta, tapi entah mengapa Vita tak
takut dimainkan Alvent. Karena dia akan merubah Alvent menjadi cowok yang
setia. Dia ingin memiliki Alvent tanpa ada penyesalan.
Dan setelah hari kemarin hubungan mereka semakin dekat.
Hendra tau itu. Dia selalu mengawasi gerak-gerik Alvent dan Vita. Selalu
memantau kedekatan Alvent dan Vita dari jauh. Melihat perkembangan yang ada
selama seminggu ini. Sebenarnya dia tak ingin melakukan ini. Melakukan sesuatu
yang tidak disetujui oleh hati nuraninya. Dia tak ingin melihat Vita terluka.
Tapi sekarang, setelah Alvent menerima tantangannya, setelah Alvent dekat
dengan Vita, dia jadi takut, takut jika Vita benar-benar melupakannya.
Alvent hampir menyelesaikan salah satu misinya. Sudah
satu minggu dia dekat dengan Vita. Banyak tawa menghiasai kedekataan mereka.
Dan malam ini, dia memutuskan untuk menyatakan cinta karena Alvent tak mau
menunggu lebih lama lagi.
Jembatan gantung pinggir kota menjadi tempat yang dipilih
Alvent. Jembatan kecil yang hanya berguna untuk pejalan kaki. Jembatan yang
sudah dihias penuh lampu disetiap sisinya. Membuat malam ini semakin berwarna.
Alvent tampak tersenyum melihat jembatan itu. Dia akan
menyatakan cinta pada Vita malam ini. Cinta palsunya akan terikrarkan malam ini
dengan bulan dan bintang yang menjadi saksi.
“Hai Vent,” kata seseorang sembari menepuk pundak Alvent.
Alvent menoleh, dia melihat seorang gadis di belakangnya.
Vita tampak berbeda malam ini. Cantik. Manis. Mempesona. Berbalut dress selutut
berwarna hitam dan sedikit polesan make
up diwajahnya, membuat Vita bak bidadari yang turun dari kayangan.
Alvent masih terperangah di tempatnya. Matanya tak bisa
lari dari makhluk Tuhan yang indah ini. Wajahnya, senyumnya, matanya, lekuk
tubuhnya, seolah membuat Alvent melupakan tantangan dari Hendra. Melupakan
bahwa dia tak boleh jatuh cinta yang sesungguhnya dengan gadis ini. Melupakan
bahwa dia akan menyakitinya.
“Vent,” kata Vita yang membuyarkan lamunan Alvent.
Alvent tersadar. Dia tampak salah tingkah tapi secepat
kilat ditutupinya. Ditunjukannya senyum mautnya kepada Vita lalu tanpa sepatah
kata dia menggandeng Vita ke tengah jembatan. Menuntunnya pelan.
“Lihat ke bawah deh,” kata Alvent saat mereka sudah
berada di tengah jembatan itu. Sungai yang penuh dengan lilin-lilin. Bersinar
bersama bintang dan bulan. Bergerak pelan sesuai arus. Lilinnya memang tak
membentuk sebuah kata tapi lilin itu menimbulkan keromantisan malam itu.
Vita diam. Matanya berbinar senang. Baru kali ini dia
mendapatkan sesuatu yang begitu sederhana tapi begitu membuat bahagia. Dia tahu
apa maksud Alvent mengajaknya ke sini. Dia tahu jika cowok itu menyukainya dan
malam ini Alvent akan menembaknya.
“Bagus nggak Vit?”
“Bagus,” jawabnya sembari mengangguk. Ditatapnya Alvent
yang sedang melihat dirinya. Mata hitam itu begitu menghipnotis Vita,
membawanya ke dalam fantasi yang begitu hebat.
“Vent?”
“Hmm.”
“Maksud kamu bawa aku ke sini ngapain?” Vita mencoba
memastikan perkiraannya selama ini.
Alvent tersenyum. Memandang Vita lalu berpaling ke Bulan.
Melingkarkan jarinya ke pegangan jembatan lalu melihat Vita lagi.
“Nggak perlu dijelasin kamu juga udah tau maksudku.”
Vita tampak bingung. Apa iya Alvent tau apa yang sedang
dipikirkannya.
“Jadi, iya apa enggak?” tanya Alvent yang membuyarkan
pikiran Vita.
Gadis itu mendelik. Kaget.
“Nggak perlu dijawab kamu juga udah tau jawabanku,” jawab
Vita ikut-ikutan Alvent. Lalu mereka berdua terkekeh bersama.
“Jadi kamu mau jadi pacaraku?” Alvent memastikan lagi.
Disenderkannya tubuhnya pada pegangan jembatan itu.
Vita mengangguk.
“Nggak takut kalo kamu aku permainin kayak mantan-mantan
aku sebelumnya?”
Vita menggeleng. Ragu untuk sesaat.
Lalu Alvent mengulum senyum. Memandang bulan lagi. Dia
menutup matanya sesaat, meminta maaf pada semua yang ada, bulan, bintang,
sungai, udara, pohon dan lainnya. Meminta maaf bahwa dia akan mempermainkan
gadis yang ada di sampingnya ini. Mengucapkan maaf bahwa dia akan membuat luka
di hatinya nanti.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar