SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Kamis, 13 September 2012

Sandiwara Cinta #3


Sandiwara Cinta
Part 3

***

            Udara malam ini begitu dingin, merasuk hingga ketulang Alvent. Masih teringat jelas bagaimana tatapan yang diberikan Hendra kepada Vita tadi siang. Tatapan yang belum pernah ia lihat. Dalam dan lembut. Dia begitu cemburu melihat itu semua. Dia bukan takut kalahan taruhan dari Hendra tapi Alvent takut jika dia yang akan tersisih lebih dulu dari hati Vita. Hati yang mulai dimasukinya. Hati yang dipilihnya untuk ditinggali.
            “Arrghh!”
            Alvent menjerit. Frustasi. Nafasnya memburu bersama egonya. Naik turun secara brutal. Sesak. Dia benci keadaan seperti ini. Dia amat benci harus taklut dengan cinta dan dia begitu benci harus merasakannya lagi.

***

            Di malam yang sama dan tempat berbeda Vita memasuki rumahnya dengan membawa novel yang baru saja ia beli. Perahu Kertas karya Dewi Lestari, penulis favoritnya. Ada rasa senang akhirnya dia bisa memilikinya.
            “Kamu beli apa Vit?” tanya Kania, kakak Vita yang melihat sang adik membawa sesuatu di tangannya.
            “Beli Novel.” Vita menunjukan novel Perahu Kertas itu kepada Kania.
            Kania mengerenyitkan keningnya. Novel yang dibawa Vita membuatnya bingung.
            “Kamu beli novel itu lagi?”
            “Vita kan belom beli.”
            Sekarang giliran Vita yang bingung. Ditatapnya Kania dalam lalu menatap novel yang dipegangnya. Kapan?
            “Emang Vita pernah beli?”
            Kania diam sesaat. Dia lupa jika Vita sedang lupa ingatan. Kecelakaan yang lalu membuat Vita kehilangan setengah memorinya.
            “Nggak usah dipikirin deh. Kakak juga lupa,” kata Kania nanar menatap Vita. Dia memaksakan senyumnya. “Tidur sana, udah malem.”
            Vita menurut. Dia melangkahkan kakinya menuju kamar. Masih dengan pertanyaan yang berkelebat di kepalanya. Hari ini begitu ganjil untuknya. Banyak sekali kejadian yang membuat kepalanya pening.
            Vita masuk ke kamar dan menaruh novel itu ke rak bukunya. Menjajarannya dengan koleksi-koleksi novel lainnya. Tapi saat itu matanya tertuju pada sebuah novel. Novel yang sama persis dengan yang dipegangnya. Ternyata yang dikatakan Kania benar. Dia sudah memiliki novel itu, tapi kapan dia membelinya?
            “Kok gue udah punya sih?”
            Vita memegang kedua novel itu. Sama persis. Diletakannya novelnya yang baru dan dibukannya yang lama. Kertasnya memang sudah mulai menguning. Dibukanya halaman demi halaman tanpa membacanya. Dan disalah satu halaman ada gambar dirinya dengan seorang laki-laki. Dengan Hendra lebih tepatnya. Vita tercengang melihat itu. Hendra lagi yang muncul. Diambilnya foto itu, Vita mengamatinya dengan seksama. Dibaliknya foto itu dan terdapat sebuah tulisan, “Jangan pernah lupain Hendra ya...”

***

            Pagi ini Alvent menyusuri koridor kampusnya dengan langkah cepat cepat. Dia menuju ke kelasnya. Saat sudah di ambang pintu dia melihat Hendra sedang duduk di sana. Sendiri sembari membaca buku.
            “Ndra gue mau ngomong sama elo.”
            Nafas Alvent memburu. Dadanya naik turun.
            Hendra meletakkan bukunya. Melihat Alvent dengan tatapan bingung.
            “Mau ngomong apa?” tanya Hendra. Sebenarnya dia usdah tahu arah pembicaraan sahabatnya itu.
            Alvent masih diam. Dia sedang menenagkan egonya.
            “Mau ngomong masalah kemaren? Elo cemburu sama gue?” Hendra dengan lantang mengatakannya. Dia sebenarnya juga ingin menghentikan ini semua. Hari ini juga.
            Alvent mendelik.
            “Mau lo apa sih?”
            Hendra tersenyum kecut.
            “Mau gue? Mau gue elo putus sama Vita sekarang. Kita batalin taruhan kita.”
            Dengan tenang Hendra mengatakannya. Sengaja. Dia tidak mau terlalu jauh menyakiti Vita.
            Alvent meledak mendengar itu. Seenaknya Hendra menyuruh Alvent. Hendra telah membawa Alvent kepada Vita dan sekarang Hendra akan merebutnya begitu saja? Jangan harap.
            “Maksud lo apa? Elo yang nyuruh tarohan dan sekarang nyuruh batalin seenak jidat gitu aja.”
            Alvent masih emosi. Sebenernya dia senang jika taruhan itu dibatalkan karna dia bisa dengan tulus membalas cinta Vita. Bisa secara terbuka jujur kepada dirinya. Tapi dia belum siap berpisah dengan Vita. Dia menyayangi Vita.
            “Iya elo putusin dia. Anggep kita nggak pernah tarohan. Lupain Vita. Gampangkan?”
            Hendra mulai terbakar emosinya. Dia benar-benar takut melihat gelagat Alvent. Takut jika dugaannya kali benar jika Alvent benar-benar jatuh cinta kepada Vita.
            “Gue nggak mau!”
            Hendra terdiam mendengarnya. Tangannya sudah mengepal keras. Sakit.
            “Gue nggak bakal mau putusin Vita walopun teruhan kita batal.”
            Kelas itu sunyi. Dua orang yang di dalamnya hanya berdiri dan saling menatap. Hanya sengalan nafas diantara keduanya yang terdengar.
            “Kalo elo nggak mau putusin Vita biar gue yang ngerebut dia lagi. Inget elo nggak bakal bisa miliki dia. Jangan pernah mimpi buat jadi pacar Vita!”
            Hendra mengatakannya ditengah deraan emosinya yang dalam. Ditekannya setiap kata itu.
            Tapi entah disadari atau tidak. Ada yang menyaksikan adegan itu. Ada yang mendengar pembicaraan mereka. Di ambang pintu ada Age yang menyaksikannya. Tak disangkanya Alvent dan Hendra sedang memperebutkan Vita. Bahan taruhan mereka sendiri lalu diliriknya orang yang ada di sampingnya. Gadis itu memangis sembari menutup mulutnya, menekannya agar isaknya tak terdengar. Vita menangis di samping Age. Dia tak menyangka dengan apa yang dilihat, dengan apa yang didenger. Kedua laki-laki di depannya ini begitu jahat kepada dirinya. Begitu kejam. Tapi Vita takut untuk bergerak. Dia takut untuk berteriak, memaki dan menampar mereka.           
            “Harusnya gue yang ngomong gitu. Elo yang jangan ngimpi bisa ngerebut Vita dari gue.”
            Perkataan itu selesai. Alvent berbalik dan berjalan keluar. Tapi begitu kagetnya saat dia melihat Vita menangis di samping Age. Gadis itu memandangnya. Mata menyiratkan kepedihan yang mendalam. Alvent berjalan mendekati Vita tapi saat di depan gadis itu dia tak berkata apa-apa. Vita dan Alvent hanya saling memandang. Mencoba berbicara dan menjelaskan lewat tatapan.
            “Sakit Vent,” kata Vita di tengah isakannya.
            “Kamu bisa liat nggak? Di sini,” Vita menunjuk dadanya. “Di sini rasanya sakit banget. Kamu bisa liat nggak?”
            “Kenapa aku yang dijadiin tarohan? Kenapa? Apa aku pernah jahat sama kamu?”
            Vita menghapus air matanya. Dipalingkannya tatapannya dari Alvent. dia menatap Hendra yang berada di belakang Alvent. Dia juga begitu marah kepada laki-laki itu.
            “Aku tulus sayang sama kamu Vent. Sayang banget. Tapi kalo yang sayang cuma aku nggak ada gunanya Vent,” lanjut Vita lagi.
            Alvent diam terpaku. Tak bisa berkata apa-apa lagi.
            Vita ikut diam. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk berbicara. Dan kalimat tadi sudah jelas untuk mengakhiri semuanya. Tatapannya masih beradu dengan Alvent.
            Hendra yang menyaksikan itu hanya bisa diam di tempatnya. Dia tak bisa menjelaskan apa-apa. Dia tak bisa berkata bahwa dialah yang salah. Bukan Alvent tapi dirinya. Dia tak bisa melakukan itu, tubuhnya seperti terkunci dan di saat matanya bertatapan dengan Vita ada rasa menyesal yang dalam.
            “Makasih buat semuanya Vent,” kata Vita yang coba tersenyum. Tapi kepalanya tiba-tiba pusing. Pusing yang tiba-tiba muncul akhir-akhir ini.
            “Hend, makasih juga ya. Kamu sama jahatnya kayak Alvent.”
            Bughh.
            Vita terjatuh di depan Alvent. Tubuhnya merosot ke lantai dengan bebas. Setelah kata-kata itu Vita sudah tidak kuat menahan tubuhnya untuk tetap berdiri.
            Hendra mengikuti Alvent dari belakang. Dilihatnya tubuh Vita bergelayut dalam gendongan Alvent. Dia melakukan kesalahan. Dia menyakiti Vita saat gadis itu tak mengenalinya. Tidak adil. Dia membalas semua rasa sakitnya bukan kepada lawan yang sesungguhnya.

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar