Sandiwara Cinta
Part 3
***
Udara malam ini begitu dingin, merasuk hingga ketulang
Alvent. Masih teringat jelas bagaimana tatapan yang diberikan Hendra kepada
Vita tadi siang. Tatapan yang belum pernah ia lihat. Dalam dan lembut. Dia
begitu cemburu melihat itu semua. Dia bukan takut kalahan taruhan dari Hendra
tapi Alvent takut jika dia yang akan tersisih lebih dulu dari hati Vita. Hati
yang mulai dimasukinya. Hati yang dipilihnya untuk ditinggali.
“Arrghh!”
Alvent menjerit. Frustasi. Nafasnya memburu bersama
egonya. Naik turun secara brutal. Sesak. Dia benci keadaan seperti ini. Dia amat
benci harus taklut dengan cinta dan dia begitu benci harus merasakannya lagi.
***
Di malam yang sama dan tempat berbeda Vita memasuki
rumahnya dengan membawa novel yang baru saja ia beli. Perahu Kertas karya Dewi
Lestari, penulis favoritnya. Ada rasa senang akhirnya dia bisa memilikinya.
“Kamu beli apa Vit?” tanya Kania, kakak Vita yang melihat
sang adik membawa sesuatu di tangannya.
“Beli Novel.” Vita menunjukan novel Perahu Kertas itu
kepada Kania.
Kania mengerenyitkan keningnya. Novel yang dibawa Vita
membuatnya bingung.
“Kamu beli novel itu lagi?”
“Vita kan belom beli.”
Sekarang giliran Vita yang bingung. Ditatapnya Kania
dalam lalu menatap novel yang dipegangnya. Kapan?
“Emang Vita pernah beli?”
Kania diam sesaat. Dia lupa jika Vita sedang lupa
ingatan. Kecelakaan yang lalu membuat Vita kehilangan setengah memorinya.
“Nggak usah dipikirin deh. Kakak juga lupa,” kata Kania nanar
menatap Vita. Dia memaksakan senyumnya. “Tidur sana, udah malem.”
Vita menurut. Dia melangkahkan kakinya menuju kamar. Masih
dengan pertanyaan yang berkelebat di kepalanya. Hari ini begitu ganjil
untuknya. Banyak sekali kejadian yang membuat kepalanya pening.
Vita masuk ke kamar dan menaruh novel itu ke rak bukunya.
Menjajarannya dengan koleksi-koleksi novel lainnya. Tapi saat itu matanya
tertuju pada sebuah novel. Novel yang sama persis dengan yang dipegangnya. Ternyata
yang dikatakan Kania benar. Dia sudah memiliki novel itu, tapi kapan dia
membelinya?
“Kok gue udah punya sih?”
Vita memegang kedua novel itu. Sama persis. Diletakannya novelnya
yang baru dan dibukannya yang lama. Kertasnya memang sudah mulai menguning. Dibukanya
halaman demi halaman tanpa membacanya. Dan disalah satu halaman ada gambar
dirinya dengan seorang laki-laki. Dengan Hendra lebih tepatnya. Vita tercengang
melihat itu. Hendra lagi yang muncul. Diambilnya foto itu, Vita mengamatinya
dengan seksama. Dibaliknya foto itu dan terdapat sebuah tulisan, “Jangan pernah lupain Hendra ya...”
***
Pagi ini Alvent menyusuri koridor kampusnya dengan
langkah cepat cepat. Dia menuju ke kelasnya. Saat sudah di ambang pintu dia
melihat Hendra sedang duduk di sana. Sendiri sembari membaca buku.
“Ndra gue mau ngomong sama elo.”
Nafas Alvent memburu. Dadanya naik turun.
Hendra meletakkan bukunya. Melihat Alvent dengan tatapan
bingung.
“Mau ngomong apa?” tanya Hendra. Sebenarnya dia usdah
tahu arah pembicaraan sahabatnya itu.
Alvent masih diam. Dia sedang menenagkan egonya.
“Mau ngomong masalah kemaren? Elo cemburu sama gue?”
Hendra dengan lantang mengatakannya. Dia sebenarnya juga ingin menghentikan ini
semua. Hari ini juga.
Alvent mendelik.
“Mau lo apa sih?”
Hendra tersenyum kecut.
“Mau gue? Mau gue elo putus sama Vita sekarang. Kita
batalin taruhan kita.”
Dengan tenang Hendra mengatakannya. Sengaja. Dia tidak
mau terlalu jauh menyakiti Vita.
Alvent meledak mendengar itu. Seenaknya Hendra menyuruh
Alvent. Hendra telah membawa Alvent kepada Vita dan sekarang Hendra akan
merebutnya begitu saja? Jangan harap.
“Maksud lo apa? Elo yang nyuruh tarohan dan sekarang nyuruh
batalin seenak jidat gitu aja.”
Alvent masih emosi. Sebenernya dia senang jika taruhan
itu dibatalkan karna dia bisa dengan tulus membalas cinta Vita. Bisa secara
terbuka jujur kepada dirinya. Tapi dia belum siap berpisah dengan Vita. Dia menyayangi
Vita.
“Iya elo putusin dia. Anggep kita nggak pernah tarohan.
Lupain Vita. Gampangkan?”
Hendra mulai terbakar emosinya. Dia benar-benar takut
melihat gelagat Alvent. Takut jika dugaannya kali benar jika Alvent benar-benar
jatuh cinta kepada Vita.
“Gue nggak mau!”
Hendra terdiam mendengarnya. Tangannya sudah mengepal
keras. Sakit.
“Gue nggak bakal mau putusin Vita walopun teruhan kita
batal.”
Kelas itu sunyi. Dua orang yang di dalamnya hanya berdiri
dan saling menatap. Hanya sengalan nafas diantara keduanya yang terdengar.
“Kalo elo nggak mau putusin Vita biar gue yang ngerebut
dia lagi. Inget elo nggak bakal bisa miliki dia. Jangan pernah mimpi buat jadi
pacar Vita!”
Hendra mengatakannya ditengah deraan emosinya yang dalam.
Ditekannya setiap kata itu.
Tapi entah disadari atau tidak. Ada yang menyaksikan
adegan itu. Ada yang mendengar pembicaraan mereka. Di ambang pintu ada Age yang
menyaksikannya. Tak disangkanya Alvent dan Hendra sedang memperebutkan Vita. Bahan
taruhan mereka sendiri lalu diliriknya orang yang ada di sampingnya. Gadis itu
memangis sembari menutup mulutnya, menekannya agar isaknya tak terdengar. Vita
menangis di samping Age. Dia tak menyangka dengan apa yang dilihat, dengan apa
yang didenger. Kedua laki-laki di depannya ini begitu jahat kepada dirinya. Begitu
kejam. Tapi Vita takut untuk bergerak. Dia takut untuk berteriak, memaki dan
menampar mereka.
“Harusnya gue yang ngomong gitu. Elo yang jangan ngimpi
bisa ngerebut Vita dari gue.”
Perkataan itu selesai. Alvent berbalik dan berjalan
keluar. Tapi begitu kagetnya saat dia melihat Vita menangis di samping Age. Gadis
itu memandangnya. Mata menyiratkan kepedihan yang mendalam. Alvent berjalan
mendekati Vita tapi saat di depan gadis itu dia tak berkata apa-apa. Vita dan
Alvent hanya saling memandang. Mencoba berbicara dan menjelaskan lewat tatapan.
“Sakit Vent,” kata Vita di tengah isakannya.
“Kamu bisa liat nggak? Di sini,” Vita menunjuk dadanya. “Di
sini rasanya sakit banget. Kamu bisa liat nggak?”
“Kenapa aku yang dijadiin tarohan? Kenapa? Apa aku pernah
jahat sama kamu?”
Vita menghapus air matanya. Dipalingkannya tatapannya
dari Alvent. dia menatap Hendra yang berada di belakang Alvent. Dia juga begitu
marah kepada laki-laki itu.
“Aku tulus sayang sama kamu Vent. Sayang banget. Tapi
kalo yang sayang cuma aku nggak ada gunanya Vent,” lanjut Vita lagi.
Alvent diam terpaku. Tak bisa berkata apa-apa lagi.
Vita ikut diam. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk
berbicara. Dan kalimat tadi sudah jelas untuk mengakhiri semuanya. Tatapannya
masih beradu dengan Alvent.
Hendra yang menyaksikan itu hanya bisa diam di tempatnya.
Dia tak bisa menjelaskan apa-apa. Dia tak bisa berkata bahwa dialah yang salah.
Bukan Alvent tapi dirinya. Dia tak bisa melakukan itu, tubuhnya seperti
terkunci dan di saat matanya bertatapan dengan Vita ada rasa menyesal yang
dalam.
“Makasih buat semuanya Vent,” kata Vita yang coba
tersenyum. Tapi kepalanya tiba-tiba pusing. Pusing yang tiba-tiba muncul
akhir-akhir ini.
“Hend, makasih juga ya. Kamu sama jahatnya kayak Alvent.”
Bughh.
Vita terjatuh di depan Alvent. Tubuhnya merosot ke lantai
dengan bebas. Setelah kata-kata itu Vita sudah tidak kuat menahan tubuhnya
untuk tetap berdiri.
Hendra mengikuti Alvent dari belakang. Dilihatnya tubuh
Vita bergelayut dalam gendongan Alvent. Dia melakukan kesalahan. Dia menyakiti
Vita saat gadis itu tak mengenalinya. Tidak adil. Dia membalas semua rasa
sakitnya bukan kepada lawan yang sesungguhnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar