Sandiwara
Cinta
Part
2
Alvent melihat selembar gambar yang ada di tangannya. Selembar
foto dirinya dan Vita yang baru saja diambil oleh kamera polaroidnya. Keduanya tersenyum
di sana. Senyum yang jelas berbeda. Senyum yang tulus dan janggal.
“Kok senyumnya gitu sih Vent, jelek tau.”
Vita melihat gambar itu lalu mengambil kamera polaroid
milik Alvent lagi.
“Ulang lagi. Jangan lupa senyum yang manis.”
Alvent menurut. Ditariknya bibirnya sebisa mungkin saat
kamera itu berfokus pada dirinya dan Vita. Mencoba tersenyum seperti Vita. Tersenyum
dan tulus.
Jepret!
Selesai. Kertas gambar keluar dari mulut kamera itu. Dengan
segera Vita mengambilnya dan mengibas-ngibaskan ke udara. Berharap hasil
jepretannya bisa memuaskan hatinya.
Alvent melihat Vita dengan seksama. Sudah tiga hari dia
melewati hari bersama gadis di depannya ini. Semua yang ada di Vita semakin
hari menjadi semakin buram dalam pikirannya. Vita seperti fatamorgana. Bayangan.
Semu. Tapi Vita juga bagai mimpi baginya, dia takut jika waktunya tiba dia akan
terbangun dan kehilangan sosok di depannya ini.
“Kok ngelamun sih?”
Alvent tersadar dari lamunannya. Ternyata Vita juga
sedang memperhatikannya.
“Nggak papa kok,” jawabnya asal.
“Udah yuk pulang.”
Vita mengangguk lalu berdiri dari kursi kafe La Tansa
itu. Meninggalkan tempat favoritnya.
***
Vita menyusuri jalan setapak taman kampusnya sendirian. Langkahnya
menuju kantin yang terletak di seberang taman itu. Dia sudah ditunggu Alvent di
sana.
Bruk!
Buku yang sedang
dibawa Vita jatuh. Seseorang menabraknya dari samping. Seorang laki-laki
tinggi, putih yang sepertinya juga sedang terburu-buru.
“Sorry,”
katanya yang mengambilkan buku milik Vita dan menyodorkannya kepada gadis itu.
Vita hanya bisa diam melihat laki-laki di hadapannya. Kepalanya
sedikit pusing. Seperti ada yang ingin keluar dari kepalanya. Seperti ada yang
ingin berputar di kepalanya.
“Makasih.”
Vita mengambil bukunya kembali. Melihat buku itu. Berwarna
pink dengan gambar hati di pojok kanan bawahnya lalu melihat laki-laki tadi
lagi. Melihatnya seperti melihat bayangan terdahulu.
“Kita pernah ketemu ya?”
“Enggak kok. Kita belum pernah ketemu.”
Laki-laki itu tersenyum lalu meninggalkan Vita yang masih
diam di tempatnya. Meninggalkan gadis yang mengisi hatinya. Meninggalkan gadis
yang ingin direngkuhnya lagi. Dan meninggalkan gadis yang akan disakitinya
sesaat lagi.
Vita berjalan kembali sambil memegang keningnya. Kepalanya
masih terasa pusing. Setelah sampai di kantin dia dikejutkan lagi oleh
laki-laki yang menabraknya tadi. Dia sedang duduk bersama Alvent. Dan laki-laki
itu tersenyum saat mengetahui Vita memandangnya. Senyumnya...
Alvent yang melihat Vita datang langsung memanggilnya.
“Duduk sini.”
Vita langsung mengambil posisi di samping Alvent. Bersebrangan
dengan laki-laki yang menabraknya tadi.
“Kenalin Vit ini Hendra sahabat aku.”
Hendra tersenyum lalu mengulurkan tangannya pada Vita.
“Hendra.”
Vita ikut tersenyum dan menjabat tangan Hendra.
“Vita.”
Dan Alvent mereka berdua. Melihat bagaimana Hendra
memandang Vita. Juga melihat bagaimana Vita membalas pandangan itu. Seperti ada
ikatan yang tersekat. Dan Alvent merasa ada yang panas membara di dadanya.
“Ehm.”
Vita langsung melepaskan tangannya yang masih mengait di
tangan Hendra. Lalu melihat Alvent yang ada di sebelahnya. Wajahnya yang dingin
tak bisa menutupi hatinya yang panas.
“Ke toko bukunya mau sekarang apa nanti?”
Vita melirik Alvent.
“Sekarang juga boleh.”
Alvent menghabiskan minumnya lalu berdiri.
“Gue tinggal dulu ya Ndra.”
Hendra yang dipamiti Alvent hanya mengangguk lalu kembali
memandangi Vita yang berada di belakang Alvent.
“Gue duluan ya Hend,” kata Vita halus lalu menyusul
Alvent yang sudah jalan menjauh.
Hendra hanya bisa membisu di kursinya. Melihat Vita jalan
dengan sahabatnya sendiri. Membiarkan kedua orang yang disayanginya akan hancur
bersama dendam dan keegoisannya. Dia tahu bahwa Alvent mulai menaruh rasa
dengan Vita. Dia tau jelas itu. Tapi sekarang yang dilihat Hendra bukan Vita
yang dua tahun lalu. Yang bersama Alvent bukan Vitanya lagi. Bukan Vita
kekasihnya lagi. Sekarang yang ada hanya Vita yang tak mengenalinya. Vita yang
sudah melupakannya. Melupakannya bersama semua sakit hati dan luka yang jauh
terukir di dalam hati gadis itu.
***
Alvent mengantar Vita pulang ke rumahnya. Selesai dari
toko buku tadi tidak ada pembicaraan dari mereka berdua. Sebenarnya semenjak
mereka meninggalkan kantin siang tadi. Hari ini benar-benar terasa hambar bagi
keduanya.
“Kamu ati-ati ya pulangnya. Jangan lupa minum obat.”
Alvent mengangguk lalu Vita membuka pintu mobil berwarna
putih itu. Turun dan menutupnya lagi. Melihat mobil itu melaju meninggalkannya.
Membiarkan hati sang pengemudinya tetap dingin tanpa sempat dia hangatkan.
Vita memandang bintang malam sebelum masuk ke rumahnya. Memandang
gugusan-gugusan itu sejenak dan tanpa ada alasan yang jelas gambar Hendra
melayang di sana.
Hendra? Siapa sebenernya
dia? Kenapa jadi dia yang muncul di otakku? Kenapa Hendra? Kenapa bukan Alvent?
Kenapa?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar