SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Kamis, 27 Oktober 2011

Ternyata Aku Suka Kamu ( 1 Permintaan )


            Ternyata Aku Suka Kamu
            Peluk Aku Boleh???

            -ooo-

            Biarkanlah hening ini terus menyapa. Membiarkan semesta membawa dengan caranya.


           “Lupakanlah saja diriku... bila itu bisa membuatmu... kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala...”

            Benda mungil itu terus bergetar, menyerukan lirik-lirik lagu untuk tanda panggilan masuk, tapi sayang si empunya tak mau mengangkat, membiarkan rasa cemas menggantung orang di sebrang sana.

            “Kok nggak diangkat?” Alvent gusar dengan suara handphone Vita.

            “Nggak penting juga,” jawab Vita sambil melirik layar handphone miliknya. “Yana,” katanya lirih.

            Lalu hening menyelimuti mereka. Lagi dan lagi mereka tak meyuarakan satu katapun. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Masih saling beradaptasi dengan situasi yang tak seperti dulu, tak sehangat dulu, tak seceria dulu.

            -ooo-

            “Kurang ajar banget nih orang nggak angkat telepon gue!!!” Yana menggerutu sendiri. Sebal sama sikap Vita yang menghiraukan panggilan via handphonenya. Sepuluh kali Dia menghubungi Vita dan sepuluh kali juga tak dijawab oleh Vita.

            “Awas aja kalo entar ketemu, gue gorok!” Masih dengan kesal, Yana balik badan ingin masuk ke kelasnya tapi...

            Brakk!!!

            Dia menabrak seseorang. Cowok. Tinggi dan ganteng!

            “Ck.” Cowok itu berdecak. Kesal juga pagi-pagi udah ditabrak sama cewek yang nggak Dia kenal.

            “Maaf, maaf.” Buru-buru Yana meminta maaf. Menyesali kecerobohannya.

            Cowok itu sedikit menunduk, melihat Yana yang sedang membungkukan badannya sambil terus-terusan meminta maaf.

            “Elo temennya Vita ya?” Tanyanya yang membuat Yana menghentikan aktivitas meminta maafnya.

            Yana mendongak dan mengangguk.

            “Sekarang Vita masuk?”

            “Enggak.”

             “Kenapa?”

           “Nggak tau gue, abisnya udah dihubungi nggak diangkat-angkat juga.” Yana malah curhat.

            “Pasti dibawa Alvent kabur,” gumamnya lalu pergi dari hadapan Yana tanpa pamit. Hilang begitu saja.

            Yana bingung melihat cowok itu. Datang tiba-tiba dan pergi seenaknya. Percakapan yang singkat tapi menimbulkan rasa penasaran di hati Yana. Kenapa cowok itu mencari Vita? Ada hubungan apa? Yana makin pusing.

-ooo-

            Mobil itu makin jauh dari pusat kota. Menjauh dari kebisingan Jakarta menuju ke sebuah suasana baru. Suasana yang diinginkan. Suasana yang dapat membangkitkan kenangan.

            Diam. Alvent dan Vita tetap bertahan dalam kebisuan. Tak ada yang mau memulainya. Tak ada yang mau mengungkit kenangan terlebih dahulu. Semuanya tetap kukuh dalam pendirian. Saling menunggu sampai ada salah satunya yang tak mampu mengatasi keheningan itu.

            Keduanya bertahan. Keheningan yang mereka lalui selama berpuluh-puluh kilometer, berpuluh-puluh suara musisi yang berganti, ocehan penyiar radio yang menghiasi, mereka lalui begitu saja. Tanpa ada kesan. Hanya sebuah keheningan yang luar biasa.

            Bahkan mereka tetap diam walaupun tempat yang dituju sudah sampai. Tempat yang sudah tak asing bagi keduanya. Tempat yang tetap sama seperti 5 tahun yang lalu. Pohon mangga yang besar. Dua buah ayunan di batangnya. Tak ada yang berubah bahkan suasananya, tetap indah dan damai.

            Alvent duduk di sisi kanan sedangkan Vita di sebelahnya. Beban tubuh keduanya membuat goyangan dari ayunan itu.

            “Vit.” Akhirnya belenggu keheningan itu pecah. Alvent tunduk dalam keinginannya. Keinginan untuk membuka masa lalunya. Di sini. Di tempat ini.

            Vita menoleh, melihat wajah Alvent. Dia terdiam, tersihir oleh tatapan mata Alvent. Tatapan mata itu makin tajam. Lebih tajam saat terakhir Dia menatapnya 5 tahun yang lalu. Ternyata bagi Vita semuanya telah berubah. Waktu telah merubahnya.

            “Apa?” Jawab Vita setelah sadar dari lamunannya tadi.

            Alvent tersenyum kepada Vita. Manis sekali.

            “Ada banyak hal yang pengen gue ceritain ke elo.” Alvent menerawang ke depan, mengalihkan pandangannya dari Vita. “Tapi gue takut elo nggak mau dengerin.”

            Vita tertawa mendengarnya. “Masa gue kayak gitu sih? Gue ini anaknya baik tau,” kata Vita. “Udah ayo mau ngomong apa gue dengerin,” sambungnya lagi.

            Alvent menatap Vita lagi. Menceritakan apa yang seharusnya diceritakan. Membagi apa yang seharusnya dibagi. Dan semuanya dengan lancar meluncur dari bibir Alvent. Semuanya tak terkecuali. Semua perasaannya selama ini. Selama Dia menanti Vita kembali di kehidupannya.

            Vita diam dan mendengarkan apa yang sedang dicurahkan Alvent kepadanya. Semuanya, tak ada yang dilewatkan. Bukan sekedar mendengar. Bukan sekedar menjadi pendengar. Dia ikut merasakan apa yang sedang diceritakan Alvent. Betapa cowok itu rindu pada dirinya. Mencari sosoknya dalam cewek lain. Mempertahankan perasaanya yang entah apa itu namanya dan mencari pelabuhan hati sementara selama menunggu Vita kembali ke pelukannya. Vita benar-benar mendengarkan tak sedetikpun Dia memotong perkataan Alvent.

            “Makasih ya Vit udah mau dengerin gue,” kata Alvent setelah curahan hatinya selesai.

            Vita mengangguk dan terseyum. “Sama-sama.”

            Keheningan kembali menyapa keduanya. Alvent diam. Vita diam. Keduanya diam. Sepertinya mereka suka dengan suasana ini. Dimana hembusan nafas satu sama lain terdengar. Dimana hanya semesta yang tahu takdir di antara mereka.

            Vita tak menatap Alvent sepenuhnya. Terkadang mencuri pandang lewat ekor matanya. Kagum dengan cowok di sebelahnya ini. Cowok yang setia. Setia dengan perasaannya. Perasaan yang dipendam 5 tahun lamanya. Bukan hal mudah untuk tetap setia pada satu perasaan saat dimana tak ada kepastian. Tapi Alvent berbeda, Dia mampu menjaganya. Menjaga perasaannya hanya untuk Vita seorang. Perasaan yang dianggap cinta monyet bagi Vita dulu.

            “Tapikan elo punya cewek.” Kata-kata itu terlontar dari mulut Vita begitu saja. Sederhana tapi sangat mengusik. Bahkan Vita tak menyadarinya.

            Alvent tersenyum kecut mendengarnya. Ada rasa cemburu yang tersirat dari suara Vita. Tapi apa benar itu cemburu atau hanya perasaan Alvent saja?

            “Tau dari mana lo berita kayak gitu? Ternyata elo perhatian juga ya.”

            Vita melotot. Nggak percaya ternyata Alvent ini benar-benar narsis. Narsis tingkat dewa. “Gue itu disuruh Pak Christ buat wawancara elo. Jadi, sebelumnya gue udah cari-cari informasi tentang lo dulu.”

            “Masa sih? Bilang aja kalo elo emang perhatian,” kata Alvent dengan mengedipkan matanya.

            “Tau ah.”

            “Yah Vita jangan ngambek dong,” kata Alvent sambil mencolek dagu Vita. Genit banget ternyata. 

            “Gue emang punya cewek tapi dulu,” sambung Alvent sengaja biar Vita nggak marah lagi.

            “Maksudnya?” Benar ternyata Vita langsung tertarik dengan bahan pembicaraan Alvent.

            “Kemaren gue habis putus. Jadi sekarang gue jomblo.”

            “Jomblo ngenes,” cela Vita.

            “Emang gue poconggg,” jawab Alvent tak terima dikatai Vita. “Sekarang gue ah yang marah.”

            “Yee marah bilang-bilang. Sok atuh marah aja emang gue peduliin gitu???”

            “Curang deh, masa tadi elo marah gue harus baik-baikin lo biar nggak marah. Eh gue lagi marah malah didiemin,” kata Alvent lalu menggembungkan mulutnya. Bener-bener ngambek sama Vita.

            Bumm!!

            Pipi Alvent dipukul Vita. Gembungannya jadi hilang. Benar-benar jahil Vita. Dia tertawa lepas sekali. Tertawa yang tidak dibuat-buat. Suasana antara mereka sedikit demi sedikit menjadi cair. Skat yang ada saat pertama bertemu kembali mulai luntur. Mereka sudah merasa nyaman satu sama lain. Tak ada lagi rasa canggung itu. Semuanya lenyap seiring waktu yang berjalan.

            Alvent mengejar Vita yang lari dari hadapannya. Ingin membalas kejahilan Vita. Mereka jadi seperti anak kecil. Seperti 5 tahun yang lalu. Saling mengejar dengan mengitari pohon mangga. Pohon yang mereka putari dulu.

            Dan hap!

            Alvent berhasil menangkap Vita dari belakang.

            “Hayo lho mau kemana,” bisiknya di telinga Vita. Sekarang mereka benar-benar dekat.

            “Ah gue nyerah deh Vent. Lepasain gue ya.”

            Tapi pelukan Alvent dari belakang tubuh Vita makin erat. “Boloh gue minta permintaan ke elo Vit?”

            “Apaan?”

            “Boleh gue peluk elo?”

            Vita mengangguk dan membalikan badannya. Memeluk Alvent seperti apa yang cowok ini inginkan. Memeluknya dengan erat. Seperti tak ingin melepaskan sahabat kecilnya kembali.

            Alvent juga memeluk Vita seperti apa yang Dia inginkan. Menelungkupkan kepalanya di bahu cewek yang Dia sayangi ini. Nyaman sekali. Pelukan yang memang Dia inginkan dari dulu. Pelukan yang sudah kembali. Dia berterimakasih kepada Tuhan yang telah mempertemukan mereka kembali. Mempertemukan dengan Vita, sahabat kecilnya. Sahabat yang mungkin sekarang ada rasa yang berbeda. Dia ingin lebih dari sekedar sahabat.

            “Boleh gue minta satu permintaan lagi?” tanya Alvent sambil mengurai pelukannya.

            “Apa lagi?”

            “Boleh gue cium elo???”

            “.....”




Jumat, 21 Oktober 2011

Kisah seminggu bersama UTS ku..


Seneng banget gue sebagai pelajar bisa menyelesaikan salah satu tugasnya. Selesai sudah uts seminggu ini. Materi yang harus dipelajari lebih ekstra selesai sudah. Dan pastinya minggu ini gue bakal balas dendam. Gue bakal weekend tanpa buku pelajaran. Yiaayyy hidup ini bener-bener indah. Kalo gini aja dibilang indah haha ;p

Buku-buku itu menyesakanku, membuat hidupku tersiksa riweh untuk sementara

haha lebay banget deh ya kalo gue mengartikan uts menyikas. Tapi emang kok sedikit menyiksa menguras pikiran. Bakal kangen juga sama suasana kelas waktu uts, gimana cara temen-temen minta contekan, gimana kita-kita ini pinter ngambil kesempatan waktu pengawasnya lihai. Pokoknya seru abis deh waktu-waktu kayak gitu. Kayak lagi berpetualanag dengan takdir. Pengawas baik maka nilai kita bisa menjadi baik haha ;p

Yang paling gue inget sebelum uts, malemnya entah ide dari temen gue yang mana, hp gue ada pesan masuk dari nomer yang nggak gue kenal.

from: +6285727xxx

Temn2 XI IPA 5 besok kalo bisa bantu membantu agar kelas kita nilainya bagus2 dan gak ada yang remidi. apa salahnya membantu?
Oke. suwun. sebarkan bosss!!!

Habis baca sms itu gue cuma diem, terus gue baca lagi sampe tiga kali gue ulang baca itu sms. Langsung aja gue ketawa. Kreatif bener anak kelas gue, rasa korsanya tiga mamen haha, walopun gue tau tanpa di sms kayak gitu kita tetep contek contekan bantu membantu.

Selama uts kelas gue isinya anak kelas ia5 setengah dan anak kelas x5 setengah. Dan yang paling pinter di setengah anak ia5 kelas gue itu Laelatul. Bener-bener deh ini orang pinternya nggak ketulungan. Mungkin waktu pembagian otak Dia dateng pertama kali ya ckck. So, jangan ditanya lagi kita-kita menggantungkan nilai pada cewek satu ini, walaupun nggak seraus persen tapi adalah beberapa nomer kita nyontek nanya Dia.
Pertama-tamanya gue nanya ke Dia tapi berikutnya gue susah menembus pertahanan para pengawas yang tiba-tiba aja punya mata elang. Bener-bener nggak mendukung. Jadi kalo nilai gue ancur jagan salahkan jari-jemari gue tapi salahkan para pengawas yang tidak baik hati itu haha *peace ^^v

Namanya Adi sama Lewi. Ini anak siapa coba tiba-tiba muncul ke cerita gue -__-" . Bercanda deng, mereka itu temen gue, waktu uts kemaren Lewi duduk di sebrang kiri gue sedangkan Adi di depannya Lewi. Ini anak berdua yang bikin gue ketawa di kelas selama uts. Bener-bener kocak mereka kalo udah contek-contekan. Bisa-bisanya berantem waktu contek-contekan. Adi yang nggak sabaran waktu kasih contekan dan Lewi yang sedikit lemot waktu nyontek. Bener-bener kombinasi yang pas haha. Sabar ya Di...

Ada lagi Musasi, Ota Musasi. Anak siapa lagi ini yang muncul dicerita gue --". Ini juga temen gue. Anak keturunan Jepang. Bener-bener pinter bahasa Jepang. Dan waktu jadwal bahasa Jepang kita mengandalkan cowok ini untuk membantu orang peribumi haha. Tapi kalo masalah bahasa Jawa, cowok ini kurang beruntung. Dia nggak bisa bahasa Jawa. Ya lumayan gue lah jawanya tapi Jepangnya pinteran sono *yaiyalah keturunan Jepang ini* Musasi duduknya di urutan paling depan, depannya Muklis, dan Muklis inilah sebagai penyelamat keturunan Jepang ia5 dari bahaya bahasa Jawa. Walau cara nyonteknya terlalu frontal, terlalu memutarkan badannya menghadap belakang. Tapi Dia nggak ketauan, gila punya tameng apa ini orang...

Sebenernya masih ada cerita dari temen-temn gue selama uts tapi nggak mungkin gue ceritain dari Eka yang baik hati, Mawar yang duduk di belakang Eka, Luga yang tak berdosa, Lena yang suka ngejahilin gue, Mega yang suka pinjem bolpoin buat presensi, Muklis yang baik hati, Putri yang pendiam, Tandon yang namanya Rahmat, Vella yang berambut panjang, Laelatul yang pintar, Tatang yang jarang gue contekin, Winda yang sering liat hp, sampe Yara yang punya kembaran anak kelas sepuluh.

Semoga ujian besok-besok kita bisa tetap kompak ya kawan-kawanku haha... ;DD

Jumat, 14 Oktober 2011

Sahabat Jadi Cinta


Sahabat pastikan datang, dikala sedih dan senang. Sahabat tak kan pernah hilang, menemani di setiap hariku...

Banyak kata yang bisa mengartikan persahabatan. Cantik, damai, asik, dan masih banyak lainnya. Terlalu banyak yang bisa melukiskan indahnya persahabatan. Tak bisa dipungkiri, persahabatan tidak hanya bisa dijalin oleh sesama wanita ataupun sesama pria. Kadang persahabatan terjadi antara pria dan wanita. Bermula dengan rasa nyama satu dengan lainnya. Menghiraukan apapun yang mungkin bisa terjadi. 

"Tapi apa jadinya jika rasa nyaman itu berubah? Menjadi cinta mungkin?"

Jika salah satu merasakannya. Merasakan perubahan rasa itu. Apakah satunya akan mengerti? Membalas perasaan yang sama? Atau memutuskan persahabatan yang sudah lama terjalin.

Sahabat Jadi Cinta, mungkin itu salah satu rintangan yang harus dilalui mereka. Menjaga rasa satu sama lain jika tak ingin terjadi. Menerima permainan takdir jika memang itulah jalan Tuhan.

Dan aku akan tetap mencintai sahabatku...


Kamis, 13 Oktober 2011

Ternyata Aku Suka Kamu (1 Hari Bareng Panda Jepang)


Ternyata Aku Suka Kamu
1 Hari Bareng Panda Jepang
-ooo-

            Dor!!

            Dorr!!!


            “Maju terus.. tembak...”

            “Abang berisik!!!!”


            Vita muncul dari balik kamarnya. Terganggu oleh suara Hendra yang sedang asik bermasin video game. Udeh gede masih aja suka main kayak gitu, gerutu Vita kesal.

            “Elo kecilin suara apa gamenya gue ambil!” Teriak Vita dengan setengah mengancam. Dia memang harus berteriak mengatakannya, karena kamarnya berada di lantai dua sedangkan Hendra ada di bawah. “Iya bawel,” jawab abangnya dengan berteriak juga.

            Brak!!!

            Pintu coklat itu tertutup rapat. Keras dan bergetar. Setelah sukses membuat abangnya mengecilkan volume suaranya, Vita langsung kembali ke kamar. Merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Mencoba melepaskan peluh.

            “Dan.. bukan maksudku.. bukan inginku.. melukaimu...”

            Baru saja Vita akan terlelap dalam mimpi. Benda mungil di atas meja itu bergetar, melantunkan lagu milik Sheila On 7. Menggangu kedamaian, batinnya.

            “Hallo,” ucap Vita spontan setelah menekan tombol hijau di handphone-nya. Malas sekali menerima telepon.

            “Hallo,” sahut orang di sebrang sana. Vita belum juga mengenal suara yang ada di balik handphone-nya. “Hallo bebek cina.”

            Vita melonjak kaget. Tak menduga bahwa yang telepon malam-malam adalah Alvent. Tau dari mana nomor gue? tanyanya sendiri.

            “Vit?” panggil Alvent dari balik teleponnya.

            Cewek itu canggung. Gagap menanggapi percakapan ini, sampai ahirnya hanya kata, “ya,” yang terlontar dari bibirnya. Vita mendengar suara Alvent terkikik di sebrang sana. Malu diketawain panda Jepang itu.

            “Ngapaain lo ketawa,” tanya Vita galak. Sekarang Dia sudah bisa menjaga emosinya.

            “Enggak.”

            Hening cukup lama di antara mereka. Vita bingung harus bagaimana dan Alvent juga tak tahu harus bertanya apa.

            “Tau dari mana lo nomor gue?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar. Dan sekarang, Dia sudah bersumpah, orang yang memberikan nomornya ke Alvent akan Dia bunuh besok.

            “Nggak penting juga gue tau dari mana.”

            “Hshh..” Vita mendesis. Sebal sama orang yang ada di balik telepon ini. Gagal gue bunuh orang besok, batinnya kemudian.

            Alvent tertawa mendengar Vita mendesisi dari gagang teleponnya. Seperti ular, pikir cowok itu.

            “Besok gue jemput lo.” Lalu komunikasi via telepon itu terputus. Suara Alvent menghilang begitu saja dari handphone Vita, meninggalkan nada-nada tak beraturan.

            Vita meletakan benda mungil itu ke tempat semula. Masih dengan ekspresi datar. Alvent sukses membuat Vita kebingungan di kamarnya. Ternganga tak percaya mendengar ucapan panda Jepang itu. Alvent mau jemput gue besok?.

-ooo-

            Masih banyak jalan menuju Roma. Sepertinya peribahasa itu cocok untuk keadaan Vita sekarang. Alvent memang mau menjemputnya pagi ini. Tapi bagi Vita naik bus ke sekolah pagi ini adalah jalan alternatif menuju sekolahnya dan itu jalan yang paling aman.

            Sengaja gadis itu bangun lebih pagi dari kebiasaannya. Setengah enam Vita sudah siap di depan meja makan. Tinggal sarapan dan berangkat ke sekolah. Kejadian yang sangat langka. Ratu molor bangun pagi.

            Hendra baru ke luar dari kamarnya dengan handuk biru tersampir di bahunya. Mulutnya baru akan menguap tapi terkatup kembali saat melihat Vita sudah duduk manis di meja makan.

            “Lo mau kemana?” Hendra mendekat ke arah Vita. Berdiri tepat di sebelah adiknya itu.

            Vita menelan potongan terakhir roti tawarnya. Meliat abangnya yang berdiri di sampinya membuat bibir gadis itu tertarik ke belakang lalu terbuka lebar. Dia geli melihat ekspresi abangnya itu. Melongo dengan belek masih melekat di matanya.

            “Menurut lo kemana?”

            Hendra mengamati adiknya dengan teliti. Vita sudah rapi dengan balutan seragam putih abi-abunya. Tas sekolah juga sudah ada di sampingnya. Dia juga sudah memakai sepatu. “Ke sekolah,” jawab Hendra polos.

            “Udah tau kok tanya,” cela Vita. “Gue berangkat dulu.”

            Dan cup. Satu kecupan mendarat di pipi Hendra. Kebiasaan Vita sebelum berangkat sekolah, selalu mencium pipi orang tua dan abangnya ini. Berhubung sekarang hanya ada Hendra, jadi yang dicium Vita hanya abangnya itu.

            Bergegas Vita meninggalkan Hendra menuju halte bus dekat kompleks rumahnya. Tujuan gadis itu berangkat sekolah sepagi ini adalah untuk menghindari Alvent. Menghindari perasaan yang akan timbul kembali jika mereka sering bertemu. Vita takut masa lalunya akan mengganggu. Merusak segala sandiwara yang telah Dia mainkan.

            Riang sekali Vita melangkahkan kakinya. Udara Jakarta masih segar. Tidak seperti siang hari nanti yang akan mulai dipadati polusi. Dengan sedikit bersenandung Vita menuju halte bus. Sesekali Dia menyapa petugas kebersihan di pinggir jalan atau menegur penjual sayur yang sedang menawaarkan dagangan di daerah perumahannya.

            “Gue udah ngomong mau jemput pagi ini. Tapi lo malah milih naik bis daripada berangkat sama gue. Susah amat dibilangin.”

            Dingin orang itu mengatakan. Agak berbisik dan sedikit tekanan emosi terdengar dari suaranya. Matanya tajam menatap ke depan, tak terfokuskan ke Vita.

            Halte bus sudah terlihat oleh mata Vita tapi sayang sebuah suara mengagetkannya. Langkah gadis itu terhenti. Mulutnya ternganga lebar. Kaget dengan pemandangan di depannya. Tak menyangka cowok itu akan bergerak lebih cepat daripada pikirannya.

            “Alvent..” pekiknya pelan. Otaknya berputar keras mencari kebenaran dengan apa yang dilihatnya sekarang.

            Alvent menyeringai. Senang bisa melihat Vita. Dia berdiri dari besi yang menyangga tubuhnya. Berjalan perlahan mendekati Vita. Tanpa kata, tanpa penjelelasan, Alvent langsung mengaitkan jarinya ke jari lentik milik Vita. Menggenggamnya erat dan membawa gadis itu masuk ke mobil jazz merah miliknya. Sesuai janjinya tadi malam, Dia akan menjemput Vita. Dan peribahasa, yang digunakan Vita tadi juga cocok untuk Alvent sekarang. Banyak jalan menjemput Vita.

            Seperti 5 tahun yang lalu. Dengan lugu Vita menuruti perintah cowok dihadapannya itu. Tangan yang dulu sering dipegangnya, sekarang sudah kembali merengkuhnya. Walaupun waktu merubahnya. Tangan itu bertambah besar, tapi semakin membuat rasa nyaman digenggamannya.

            “Udah sarapan?” suara Alvent terdengar lembut sekarang. Tak seperti saat di halte bus tadi.

            Vita mengangguk. “Udah.”

            “Tapi gue belom.” Senyum itu keluar kembali. Kewaspadaan Vita yang tadi sudah melunak sekarang menegang lagi. Alarm waspada berbunyi di otaknya,   mengingatkan Vita bahwa dirinya harus berhati-hati dengan cowok di sampingnya ini.

            Vita duduk dan diam di samping Alvent. Tak berniat untuk memulai perbincangan. Mengobrol seperti dua orang sahabat yang telah terpisah lama. Menceritakan segala hal yang terlewatkan 5 tahun ini. Bagi Vita semua itu tidak perlu. Cukup seperti ini, duduk berdua dan membiarkan keheningan menyelimuti. Menambah jarak di antara mereka.

            Tidak untuk Alvent yang duduk di sebelahnya. Walaupun Dia fokus menyetir, sudut matanya tetap menangkap sosok Vita. Duduk dengan badan sedikit ke depan, tegang sekali sikapnya. Cowok ini bukan seperti Vita. Dia tak suka hening. Dia ingin bercerita banyak hal. Tentang Dia dan hidupnya. Berbagi bersama orang yang telah terlewatkan belakangan ini.

            “Ini mau ke mana?” tanya Vita yang mulai menyadari bahwa ini bukan jalan menuju SMA Persada.

            Alvent tak menjawab. Mebiarkan gadis itu dalam kebingungannya. “Vent, kita mau ke mana?” suara Vita terdengar lagi.

            “Lo tinggal duduk aja,” jawabnya. “Dan lo bakal tau kita mau ke mana.”

            Vita melongo. Alarm otaknya berbunyi lagi menunjukan bahaya yang mulai meningkat. Bukan siaga lagi tapi sudah memasuki waspada tingkat akut.

            “Jangan macem-macem lo sama gue!” Vita ingin mengancam Alvent, tapi suaranya malah terdengar bergetar. Ada rasa takut, marah, bingung, semuanya bercampur tak karuan.

            Untuk ketiga kalinya senyum itu keluar. Menyeringai dengan lembut.

            “Gue nggak bakal macem-macem...” sengaja kalimat itu digantungkan oleh Alvent. Ingin melihat ekspresi takut dari wajah gadis di sampingnya ini.

            “Cuma satu macem yang bakal gue lakuin ke elo.”

            Dan jazz merah itu melaju cepat. Meninggalkan ibu kota yang akan memulai kesibukannya. Meninggalkan jalanan Jakarta yang mulai padat dengan mobil dan kendaraan.

            Gue mau di bawa kemana? Yana tolongin gue. Bang Hendra tolong...