SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Kamis, 13 Oktober 2011

Ternyata Aku Suka Kamu (1 Hari Bareng Panda Jepang)


Ternyata Aku Suka Kamu
1 Hari Bareng Panda Jepang
-ooo-

            Dor!!

            Dorr!!!


            “Maju terus.. tembak...”

            “Abang berisik!!!!”


            Vita muncul dari balik kamarnya. Terganggu oleh suara Hendra yang sedang asik bermasin video game. Udeh gede masih aja suka main kayak gitu, gerutu Vita kesal.

            “Elo kecilin suara apa gamenya gue ambil!” Teriak Vita dengan setengah mengancam. Dia memang harus berteriak mengatakannya, karena kamarnya berada di lantai dua sedangkan Hendra ada di bawah. “Iya bawel,” jawab abangnya dengan berteriak juga.

            Brak!!!

            Pintu coklat itu tertutup rapat. Keras dan bergetar. Setelah sukses membuat abangnya mengecilkan volume suaranya, Vita langsung kembali ke kamar. Merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Mencoba melepaskan peluh.

            “Dan.. bukan maksudku.. bukan inginku.. melukaimu...”

            Baru saja Vita akan terlelap dalam mimpi. Benda mungil di atas meja itu bergetar, melantunkan lagu milik Sheila On 7. Menggangu kedamaian, batinnya.

            “Hallo,” ucap Vita spontan setelah menekan tombol hijau di handphone-nya. Malas sekali menerima telepon.

            “Hallo,” sahut orang di sebrang sana. Vita belum juga mengenal suara yang ada di balik handphone-nya. “Hallo bebek cina.”

            Vita melonjak kaget. Tak menduga bahwa yang telepon malam-malam adalah Alvent. Tau dari mana nomor gue? tanyanya sendiri.

            “Vit?” panggil Alvent dari balik teleponnya.

            Cewek itu canggung. Gagap menanggapi percakapan ini, sampai ahirnya hanya kata, “ya,” yang terlontar dari bibirnya. Vita mendengar suara Alvent terkikik di sebrang sana. Malu diketawain panda Jepang itu.

            “Ngapaain lo ketawa,” tanya Vita galak. Sekarang Dia sudah bisa menjaga emosinya.

            “Enggak.”

            Hening cukup lama di antara mereka. Vita bingung harus bagaimana dan Alvent juga tak tahu harus bertanya apa.

            “Tau dari mana lo nomor gue?” Akhirnya pertanyaan itu terlontar. Dan sekarang, Dia sudah bersumpah, orang yang memberikan nomornya ke Alvent akan Dia bunuh besok.

            “Nggak penting juga gue tau dari mana.”

            “Hshh..” Vita mendesis. Sebal sama orang yang ada di balik telepon ini. Gagal gue bunuh orang besok, batinnya kemudian.

            Alvent tertawa mendengar Vita mendesisi dari gagang teleponnya. Seperti ular, pikir cowok itu.

            “Besok gue jemput lo.” Lalu komunikasi via telepon itu terputus. Suara Alvent menghilang begitu saja dari handphone Vita, meninggalkan nada-nada tak beraturan.

            Vita meletakan benda mungil itu ke tempat semula. Masih dengan ekspresi datar. Alvent sukses membuat Vita kebingungan di kamarnya. Ternganga tak percaya mendengar ucapan panda Jepang itu. Alvent mau jemput gue besok?.

-ooo-

            Masih banyak jalan menuju Roma. Sepertinya peribahasa itu cocok untuk keadaan Vita sekarang. Alvent memang mau menjemputnya pagi ini. Tapi bagi Vita naik bus ke sekolah pagi ini adalah jalan alternatif menuju sekolahnya dan itu jalan yang paling aman.

            Sengaja gadis itu bangun lebih pagi dari kebiasaannya. Setengah enam Vita sudah siap di depan meja makan. Tinggal sarapan dan berangkat ke sekolah. Kejadian yang sangat langka. Ratu molor bangun pagi.

            Hendra baru ke luar dari kamarnya dengan handuk biru tersampir di bahunya. Mulutnya baru akan menguap tapi terkatup kembali saat melihat Vita sudah duduk manis di meja makan.

            “Lo mau kemana?” Hendra mendekat ke arah Vita. Berdiri tepat di sebelah adiknya itu.

            Vita menelan potongan terakhir roti tawarnya. Meliat abangnya yang berdiri di sampinya membuat bibir gadis itu tertarik ke belakang lalu terbuka lebar. Dia geli melihat ekspresi abangnya itu. Melongo dengan belek masih melekat di matanya.

            “Menurut lo kemana?”

            Hendra mengamati adiknya dengan teliti. Vita sudah rapi dengan balutan seragam putih abi-abunya. Tas sekolah juga sudah ada di sampingnya. Dia juga sudah memakai sepatu. “Ke sekolah,” jawab Hendra polos.

            “Udah tau kok tanya,” cela Vita. “Gue berangkat dulu.”

            Dan cup. Satu kecupan mendarat di pipi Hendra. Kebiasaan Vita sebelum berangkat sekolah, selalu mencium pipi orang tua dan abangnya ini. Berhubung sekarang hanya ada Hendra, jadi yang dicium Vita hanya abangnya itu.

            Bergegas Vita meninggalkan Hendra menuju halte bus dekat kompleks rumahnya. Tujuan gadis itu berangkat sekolah sepagi ini adalah untuk menghindari Alvent. Menghindari perasaan yang akan timbul kembali jika mereka sering bertemu. Vita takut masa lalunya akan mengganggu. Merusak segala sandiwara yang telah Dia mainkan.

            Riang sekali Vita melangkahkan kakinya. Udara Jakarta masih segar. Tidak seperti siang hari nanti yang akan mulai dipadati polusi. Dengan sedikit bersenandung Vita menuju halte bus. Sesekali Dia menyapa petugas kebersihan di pinggir jalan atau menegur penjual sayur yang sedang menawaarkan dagangan di daerah perumahannya.

            “Gue udah ngomong mau jemput pagi ini. Tapi lo malah milih naik bis daripada berangkat sama gue. Susah amat dibilangin.”

            Dingin orang itu mengatakan. Agak berbisik dan sedikit tekanan emosi terdengar dari suaranya. Matanya tajam menatap ke depan, tak terfokuskan ke Vita.

            Halte bus sudah terlihat oleh mata Vita tapi sayang sebuah suara mengagetkannya. Langkah gadis itu terhenti. Mulutnya ternganga lebar. Kaget dengan pemandangan di depannya. Tak menyangka cowok itu akan bergerak lebih cepat daripada pikirannya.

            “Alvent..” pekiknya pelan. Otaknya berputar keras mencari kebenaran dengan apa yang dilihatnya sekarang.

            Alvent menyeringai. Senang bisa melihat Vita. Dia berdiri dari besi yang menyangga tubuhnya. Berjalan perlahan mendekati Vita. Tanpa kata, tanpa penjelelasan, Alvent langsung mengaitkan jarinya ke jari lentik milik Vita. Menggenggamnya erat dan membawa gadis itu masuk ke mobil jazz merah miliknya. Sesuai janjinya tadi malam, Dia akan menjemput Vita. Dan peribahasa, yang digunakan Vita tadi juga cocok untuk Alvent sekarang. Banyak jalan menjemput Vita.

            Seperti 5 tahun yang lalu. Dengan lugu Vita menuruti perintah cowok dihadapannya itu. Tangan yang dulu sering dipegangnya, sekarang sudah kembali merengkuhnya. Walaupun waktu merubahnya. Tangan itu bertambah besar, tapi semakin membuat rasa nyaman digenggamannya.

            “Udah sarapan?” suara Alvent terdengar lembut sekarang. Tak seperti saat di halte bus tadi.

            Vita mengangguk. “Udah.”

            “Tapi gue belom.” Senyum itu keluar kembali. Kewaspadaan Vita yang tadi sudah melunak sekarang menegang lagi. Alarm waspada berbunyi di otaknya,   mengingatkan Vita bahwa dirinya harus berhati-hati dengan cowok di sampingnya ini.

            Vita duduk dan diam di samping Alvent. Tak berniat untuk memulai perbincangan. Mengobrol seperti dua orang sahabat yang telah terpisah lama. Menceritakan segala hal yang terlewatkan 5 tahun ini. Bagi Vita semua itu tidak perlu. Cukup seperti ini, duduk berdua dan membiarkan keheningan menyelimuti. Menambah jarak di antara mereka.

            Tidak untuk Alvent yang duduk di sebelahnya. Walaupun Dia fokus menyetir, sudut matanya tetap menangkap sosok Vita. Duduk dengan badan sedikit ke depan, tegang sekali sikapnya. Cowok ini bukan seperti Vita. Dia tak suka hening. Dia ingin bercerita banyak hal. Tentang Dia dan hidupnya. Berbagi bersama orang yang telah terlewatkan belakangan ini.

            “Ini mau ke mana?” tanya Vita yang mulai menyadari bahwa ini bukan jalan menuju SMA Persada.

            Alvent tak menjawab. Mebiarkan gadis itu dalam kebingungannya. “Vent, kita mau ke mana?” suara Vita terdengar lagi.

            “Lo tinggal duduk aja,” jawabnya. “Dan lo bakal tau kita mau ke mana.”

            Vita melongo. Alarm otaknya berbunyi lagi menunjukan bahaya yang mulai meningkat. Bukan siaga lagi tapi sudah memasuki waspada tingkat akut.

            “Jangan macem-macem lo sama gue!” Vita ingin mengancam Alvent, tapi suaranya malah terdengar bergetar. Ada rasa takut, marah, bingung, semuanya bercampur tak karuan.

            Untuk ketiga kalinya senyum itu keluar. Menyeringai dengan lembut.

            “Gue nggak bakal macem-macem...” sengaja kalimat itu digantungkan oleh Alvent. Ingin melihat ekspresi takut dari wajah gadis di sampingnya ini.

            “Cuma satu macem yang bakal gue lakuin ke elo.”

            Dan jazz merah itu melaju cepat. Meninggalkan ibu kota yang akan memulai kesibukannya. Meninggalkan jalanan Jakarta yang mulai padat dengan mobil dan kendaraan.

            Gue mau di bawa kemana? Yana tolongin gue. Bang Hendra tolong...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar