Kamu???
-ooo-
4 hari lagi hasil wawancaranya dengan kapten basket harus diserahkan kepada Pak Christ. Vita bingung sendiri. Draft pertanyaannya sudah siap dari kemarin tapi narasumbernya tak bisa ditemui. Bukan tak bisa tapi belum ditemui.
“Apa gue ngarang aja ya?”
Tiba-tiba ide nakal muncul dikepala cewek tomboy itu.
“Ngarang aja Vit. Daripada lo pusing,” malaikat jahat membujuk Vita. Tapi malaikat baik tak terima. “Jangan Vita kamu itu anak baik. Berbohong itu perbuatan tidak terpuji.”
Vita bingung sendiri melihat malaikat jahat dan baik malah berantem.
“Ngarang Vit.”
“Jangan Vita.”
“Ngarang!”
“Jangan!!”
“Bang Hendra!!!”
Vita keluar mencari abangnya. Meninggalkan malaikat-malaikat yang sedang berantem itu.
“Kemana sih tu orang,” gumam Vita yang tak kunjung menemukan abangnya.
Di kamarnya nggak ada. Di teras juga nggak ada. Di ruang tamu, ruang keluarga, dapur, toilet. Hampir seluruh penjuru rumahnya Vita kelilingi, tapi Hendra tak juga ditemukan.
“Ha ha ha, kamu bisa aja.”
Samar-samar Vita mendengar suara bang Hendra sedang tertawa.
“Pasti lagi telpon-telponan.”
Dengan segera Vita menuju loteng rumanya. Tempat favorit Hendra dan Vita. Karena di sini mereka bisa melihat keindahan dunia di malam hari. Dengan angin malam dan bintang yang bertaburan.
Hendra menoleh karna mendengar suara langkah Vita. Dia tersenyum dan menaikan tangannya yang membentuk angka satu. Isyarat untuk Vita agar menunggunya sebentar.
“Udah dulu ya. Entar aku telpon kamu lagi.”
Klik. Hendra memutuskan sambungan teleponnya.
“Kenapa?” tanyanya yang melihat Vita sudah duduk disampingnya. Walaupun Hendra sering isenga sama Vita, bagi Vita, Hendra adalah abang terbaiknya. Dia selalu tau apa yang terjadi pada Vita, padahal Vita tak pernah cerita.
Vita cerita semuanya. Cerita tentang hukuman Pak Christ. Kapten basket yang susah banget ditemuin. Dari awal hingga akhir. Mulutnya terus bergerak mengeluarkan unek-uneknya. Tak pernah Dia senyaman ini mengeluarkan pikirannya.
“Terus gue bisa bantu lo apa?” tanya Hendra saat Vita telah menyelesaikan ceritanya.
“Nggak usah bang. Gue cuma mau cerita.”
Hendra merangkul adik perempuannya itu. “Entar gue sms Age aja, biar dia bisa bantuin lo ketemu Alvent.”
Vita tersenyum. Ditaruh kepalanya dibahu abangnya. Nyaman sekali.
“Tadi lo telpon sama siapa?”
“Sama Butet.”
“Udah jadian emangnya?” Iseng Vita tanya.
“Udah gue tembak tapi belom dijawab.”
“Kaisan deh lo. Ha ha ha .”
“Suka bener lo godain gue.”
Lalu mereka tertawa bersama. Bulan dan bintang jadi saksi mereka. Malam yang indah bagi kakak-beradik itu.
-ooo-
Pletak!!!
Kaleng bekas minuman itu menimpuk kepala Alvent. Walaupun nggak begitu keras tapi cukup meninggalkan rasa sakit.
“Siapa sih nih yang iseng???” Alvent celingak-celinguk mencari orang yang entah sengaja atau tidak menimpuknya tadi.
“Mampus gue, bisa mati kalo ketauan,” kata seseorang yang sedang berlindung dibalik pohon beringin dekat lapangan basket sekolahnya.
“Vent!!! Buruan latian!!!” teriak Age saat melihat Alvent tak kunjung bergabung dengan anak basket lainnya.
Dengan masih penasaran, Alvent berjalan menuju teman-temannya. Sesekali menengok ke belakang. Siapa tau orang yang menimpuknya menampakkan diri.
“Untung nggak ketauan,” ucap orang yang dibalik pohon beringin itu seraya mengelus dadanya.
“Eh, itu yang namanya Alvent? Kok gue kayak pernah liat, tapi dimana?
Orang itu menggumam sendiri. Dari balik pohon, Dia terus menerus memperhatikan Alvent yang berada di tengah lapangan basket. Seperti fatamorgana. Antara ada dan tiada.
“Oper...”
“Shoot...”
“Lari... Lari...”
Ramai sekali suara anak basket SMA Persada. Gemuruh dan penuh semangat. Teriakan yang saling saut menyaut menjadi selingan diantara suara pantulan bola basket mereka.
Alvent tak fokus latihan sore ini. Perasaannya mengatakan bahwa ada orang yang memperhatikan. Memang dari kecil Alvent sangan sensitif perasaannya. Dan tanpa disengaja bola basket yang ingin dimasukan ke ring terlempar jauh ke pinggir lapangan.
Duk!!!
Sepertinya takdir sedang mempermainkan dua anak manusia ini. Tanpa saling sengaja, mereka ‘menyakiti’ satu sama lain. Dan masih di tempat yang sama. Di balik pohon beringin.
“Aduh,” rintih seorang yang terkena bola basket Alvent. “Siapa sih nih yang nimpuk?”
Alvent menemukan bola basketnya yang sedang dipegang oleh seorang wanita. Tapi dalam sekejap Dia terpanah. Tak menyangka akan secepat ini bertatap muka dengan wanita itu.
“Vi..ta..???” dengan terbata Alvent menyebutkan nama wanita itu.
Vita melihat seorang cowok berdiri dihadapannya.
“Iya gue Vita,” jawabnya. “Lo yang nimpuk gue ya?”
“Ck, masih aja galak,” gumam Alvent.
“Apa lo bilang?” Vita sepertinya mendengar ucapan Alvent tadi.
“Enggak. Siniin bola gue!”
Alvent berusaha merebut bola dari tangan Vita. Tapi dengan lihai Vita menghalanginya.
“Stop!” kata Vita akhirnya. “Lo Alvent ya?” tanyanya masih dengan menggenggam bola basket Alvent.
“Iya gue Alvent,” jawabnya. “Udah siniin bolanya! Gue mau latian lagi bebek Cina.” Sengaja Alvent memanggil Vita ‘bebek Cina’, karena itu adalah sebutan Alvent kepada Vita sewaktu kecil.
Vita kaget mendengar ucapan Alvent. Bebek Cina. Dia kangen dengan sebutan itu.
Hup!!
Alvent akhirnya merebut bola dari tangan Vita yang sedang melamun.
“Entar gue sms lo,” bisik Alvent ditelinga Vita lalu meninggalkannya.
Alvent senyum-senyum sendiri melihat ekspresi Vita.
“Akhirnya bebek Cina ketemu juga sama...”
“Dasar lo panda Jepang!!!” Vita teriak ke Alvent.
“Bebek Cina!!!” Alvent balas berteriak lalu tertawa senang.
“Benerkan gue pernah liat Alvent.” Ucap Vita.
“Alvent itu panda Jepang. Jadi gue harus wawancara sama panda Jepang jelek itu???”
Vita melongo tak percaya. Tak menduga dengan permainan takdir. 2 tahun sekolah di SMA Persada. Sekolah yang sama dengan Alvent tapi baru bertemu hari ini. Tepat 5 tahun mereka berpisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar