Pengorbanan Untuk Cinta
Part 3
***
Vita merasa sedikit lebih senang hari ini. Bukan hanya
karena dia sudah ikhlas menerima semua yang terjadi juga karena gadis itu bisa
kembali ke kampusnya. Menjalani rutinitasnya seperti sedia kala. Walau dia tau
ini tak akan berlangsung lama karena setelah semuanya siap gadis itu akan
mengasingkan diri dari lingkungannya sekarang.
“Weh saudari Vita akhirnya muncul juga,” ledek Age
sahabat Alvent yang sedang nongkrong di kantin bersama yang lain.
Vita tersenyum simpul. Dibuntuti Alvent di belakangnya
dia ikut nimbrung bersama teman-temannya.
“Udah lama gue nggak liat lo Vit, tambah subur aja,”
sekarang giliran Hendra yang menyela Vita. Maklumlah setelah kejadian yang
memilukan itu Vita menghilang dari kampus selama dua minggu.
“Enak aja lo,” bela Vita sembari melemparkan tisu yang
sebelumnya diremas-remasnya. “Gue slim gini dibilang subur.”
“Slimpitan lemak kali,” cela Hendra lagi yang mengundang
tawa di antara mereka. Memang seperti ini suasana jika mereka sedang berkumpul.
Pasti ada saja orang yang dibully dan sekarang giliran Vita, mungkin karena
mereka rindu dengan sosok Vita yang ceria.
“Ngaco lu Ndra,” Yana memukul lengan Hendra.
“Tapi beneran loh Vit elo sekarang gendut deh,” kata Age
lagi yang melihat tubuh Vita dari atas ke bawah dan kembali ke atas lagi. “Elo diapain
Alvent sampe gendut kayak gini?” tanyanya dengan menatap Vita. Menggoda sahabatnya
itu.
Vita salah tingkah. Jika dihitung-hitung kandungannya
memang sudah memasuki usia satu bulan dan itu cukup membuat perubahan bentuk
tubuhnya walau sedikit.
“Kalo ngomong dijaga,” ujar Alvent dingin. entah mengapa
dia tak suka dengan ucapan Age walau dia tau jika sahabatnya itu hanya bercanda
tapi dia tak ingin sahabat-sahabatnya itu tau jika dia sudah berbuat tak
senonoh bersama Vita.
Vita hanya menatap Alvent yang raut mukanya berubah
menjadi dingin. diikutinya Alvent yang duduk di samping Hendra.
“Emang gue mau ngapain sama dia coba,” kata Vita mencobba
menyudahi obrolan tak bermutu itu.
“Siapa tau elo hamil.”
Satu pernyataan dari Hendra benar-benar membuat suasana
di sana menjadi mencekam. Bagi Hendra dan Age yang tak tau apa-apa mungkin tak
merasakannya. Tapi bagi Alvent dan Vita itu benar-benar kalimat yang tak
seharusnya diucapkan Hendra. Polosnya keterlaluan.
Yana menghembuskan nafasnya. Pasrah jika pacarnya ini
ternyata benar-benar tak tau kondisi.
“Jangan didengerin tuh ucapan Hendra, dia kan orangnya
suka ngaco. Kalo ngomong nggak difilter dulu,” kata Yana yang berusaha membuat
keadaan menjadi lebih baik. “Jangan didenger ya Vit, elo tau kan Hendra kalo
akhir bulan gini otaknya agak geser gara-gara duit kirimannya abis?”
Vita tersenyum lalu mengangguk. Dia tau Yana sedang
berusaha membuat semuanya lebih baik.
“Vit, ikut gue bentar yuk,” ucap Greys yang tiiba-tiba
menarik tangan Vita. “Elo, elo dan lo juga ikut sama gue,” lanjutnya lagi
sembari menunjuk Pia, Nitya dan Yana bergantian. Dan dalam sesaat kelima
sahabat itu menghilang dari kantin.
Greys baru melepaskan gandengannya saat mereka semua
sampai di depan toilet. Ditatapnya Vita dengan seksama seperti saat Age tadi
memandangi Vita.
“Bener kata Age lo sekarang gendut,” katanya kemudia
dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Vita tersenyum. Dia baru sadar jika di antara mereka
hanya Yana yang tau jika dia tak benar-benar menggugurkan janinnya.
“Iyalah, gimana nggak tambah gendut coba, dia makan mulu
kemaren,” seloroh Nitya yang melihat dengan kedua mata kepalanya jika aktivitas
Vita selama dua minggu hanya makan dan bermalas-malasan di rumah.
“Diet ah kak, jelek tau kalo gendut,” timpal Pia yang tak
suka melihat Vita menjadi gendut.
Yana yang mendengar itu semua hanya bisa tertawa. Juga dengan
Vita yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Masa orang hamil di suruh diet,” kata Vita dengan
mencubit pipi Pia saking gemasnya dia kepada sahabat yang sudah dianggapnya
seperti adek sendiri itu.
“Hamil?” kata Greys, Pia dan Nitya bersamaan. Mereka menghujani
Vita dengan tatapan penuh dengan permintaan penjelasan.
“Iya,” jawab Vita singkat.
Nitya yang melihat keanehan pada diri Yana langsung
menatap gadis berwajah oriental dengan rambut pendek itu tajam. Melihat Yana
hanya tertawa saat mendengar Vita hamil dia yakin jika ada yang tak beres dalam
diri Yana.
“Kok lo ketawa sih Na?”
Yana terkesikap mendengar pertanyaan Nitya, ternyata
sahabatnya itu menyadarinya juga.
“Lo udah tau ya?” tanya Nitya lagi.
Yana menganggukan kepalanya. “Udah tau dari dua minggu
yang lalu.”
“Curaaangg!!!!” koor Greys, Pia dan Nitya bersamaan. Mereka
langsung memukuli Yana dengan segala jurus andalan masing-masing yang membuat
Yana hanya bisa meringkuk di tempatnya.
“Eh udah dong, kasian itu anak orang dikeroyok gitu,”
Vita mencoba melerai adegan berantem itu. Tapi bukannya pisah, Vita jadi
ikut-ikutan menjadi objek bullyan selanjutnya.
“Iya salah lo juga, makannya lo harus dihukum,” kata
Nitya yang mencoba menggelitiki Vita.
Dan adegan itu berubah menjadi arena canda tawa. Begitu lepasnya
mereka sampai tak tahu jika sedaritadi ada seseorang yang melihatnya. Melihat dan
mendengar semuanya dengan jelas. Memperhatikan setiap detil yang terjadi dari
jarak yang begitu dekat.
“Hebat banget!” kata orang itu yang membuat kelima gadis
di depannya berhenti tertawa. Menghentikan kebahagiaan mereka. Melenyapkan setiap
tawa yang keluar saat melihat siapa orang yang hadir di antara mereka.
“Ngebohongin aku dan ngebuat aku menjadi sangat bersalah
setelah kejadian itu. Hebat!” katanya lagi yang masih menatap kelima gadis di
depannya. Tapi matanya sekarang tertuju kepada satu orang di antarnya. Memandang
dengan dingin dan tajam pada Vita. Mengunci pergerakan gadis itu.
“Puas?” tanyanya lagi.
Vita gemetaran. Alvent tiba-tiba muncul di hadapannya. Rahasianya
juga ikut terbongkar saat itu juga. Sia-sia saja jika dia ingin menyanggah.
“Kamu sekarang ikut aku. Kita pergi ke dukun anak dan
gugurin janin itu.”
Vita terkejut dengan kalimat Alvent. Ternyata Alvent
benar-benar ingin melenyapkan janin itu. Melenyapkan calon anaknya.
“Nggak akan!” kata Vita tegas. Matanya yang berkaca-kaca
sedang menandingin tatapan Alvent yang dingin dan penuh amarah itu. “Cukup
kemaren dan itu nggak akan terulang lagi.”
Alvent meradang. Digenggamnya pergelangan tangan kiri
Vita dan ditariknya Vita bersamanya. Membawa Vita ikut bersamanya.
“Nggak mau Vent,” Vita meronta, berusaha lepas dari
genggaman Alvent.
Alvent tak menggubris. Kekuatan gadis itu tak sebanding
dengannya. Sekuat apapun Vita mencoba meronta maka sekuat itu juga Alvent akan
menahannya.
“Lepasin Vita!” kata Yana yang ikut berusaha melepaskan
tangan Alvent pada pergelangan tangan Vita.
Alvent mendorong Yana. Membuatnya tersungkur. “Ini
masalah gue sama Vita. Jangan ikut campur! Gue peringatin, elo ikut campur
sahabat lo ini bakal celaka!”
Alvent melangkah lagi. Menarik Vita yang sedikit melunak.
Meninggalkan Yana, Nitya, Greys dan Pia yang hanya bisa meratapi kepergian
mereka.
“Jangan paksa aku buat buang anak ini,” kata Vita lemah
yang membuat Alvent menghentikan langkahnya. Berbalik dan memandang Vita. “Kalo
kamu nggak mau akuin nggak papa, aku nggak maksa kamu buat tanggung jawab sama
aku.”
Alvent menyimak perkataan Vita dengan seksama. Ditatanya bola
mata Vita yang hitam itu. Tatapan yang penuh dengan permintaan.
“Enggak!” Alvent menggelengkan kepalanya. Dilepaskan genggaman
tangannya dan dipegangnya kedua bahu Vita. “Aku sayang sama kamu. Aku belum
siap buat ini semua. Aku mohon gugurin janin itu.”
Alvent meluruh dihadapan Vita. Memohon dengan segenap
jiwanya. Meminta kepada wanita yang dikasihinya ini jika dia benar-benar tak
menginginkan keberadaan janin yang berada di perut Vita.
Vita menggeleng. Pandangannya masih tertuju pada Alvent,
air matanya meluruh bersamanya lalu dengan perlahan diturunkannya tangan Alvent
yang sedang memegang pundaknya lalu digenggam kedua tangan itu dengan lembut.
“Aku baik-baik aja tanpa kamu. Percaya. Aku yang milih
ini semua. Kamu nggak perlu tanggung jawab.”
Lalu Vita memeluk Alvent. Lembut dan dalam. Mungkin pelukan
yang terakhir kalinya. Ini yang dipilih olehnya. Dia akan melepaskan Alvent
untuk melindungi janinnya. Melindungi yang lebih berarti dalam hidupnya. Karena
dengan dia memilih janin yang ada di perutnya maka dia juga bisa memiliki
Alvent setengahnya. Memiliki Alvent yang akan hidup bersama anaknya kelak.
“Kalo kamu mau itu aku turutin,” bisik Alvent yang masih
mendekap Vita. Ditelungkupkan kepalanya pada pundak Vita. Air matanya meleleh
di sana. Membasahi sebagian baju Vita. “Tapi maaf, aku nggak bisa temenin kamu
lagi,” bisiknya lagi dengan suara yang parau.
Vita menangis mendengarnya. Dia tau jika ini akan
terjadi.
“Iya nggak papa, aku tau kok,” balasnya yang semakin erat
memeluk Alvent. Merasakan untuk sesaat sebelum semuanya benar-benar berakhir.
Bersama air mata yang meluruh. Alvent dan Vita memilih
jalan masing-masing. Air mata yang menjadi saksi kesedihan jalan yang harus
dihadapi keduanya. Takdir yang akan dibuat oleh masing-masing bahwa sekarang
mereka tak bisa satu jalan, harus ada yang mengalah walau itu sama-sama akan
membuat semuanya terluka.
Vita mengurai pelukannya lalu menatap Alvent lembut. “Boleh
aku minta satu permintaan?”
Alvent mengusap air matanya lalu mengangguk. “Apa?”
Vita mengatur nafasnya. “Untuk yang pertama dan terakhir
kalinya, aku minta kamu ngusap perut aku dan nyium perut aku,” ujar Vita yang
penuh dengan permohonan itu.
Alvent menutup matanya sesaat lalu menyerahkan tubuhnya
kepada bumi. Menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Menjajarkan wajahnya kepada perut
Vita yang baru disadarinya mulai membuncit. Diusapnya perut itu dengan pelan
lalu diciumnya beberapa menit. Membiarkan wajahnya yang penuh dengan air mata
itu jatuh ke dalam perut Vita. Menikmati sesaat sebelum pergi dan melepas
tanggung jawab.
Makasih Vent. Aku bakal
pergi dan jaga dia. Aku bakal mencintai anak ini kayak aku mencintaimu.
***
TAMAT
***