SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Selasa, 25 Desember 2012

Pengorbanan Untuk Cinta #3



            Pengorbanan Untuk Cinta
            Part 3

            ***

            Vita merasa sedikit lebih senang hari ini. Bukan hanya karena dia sudah ikhlas menerima semua yang terjadi juga karena gadis itu bisa kembali ke kampusnya. Menjalani rutinitasnya seperti sedia kala. Walau dia tau ini tak akan berlangsung lama karena setelah semuanya siap gadis itu akan mengasingkan diri dari lingkungannya sekarang.
            “Weh saudari Vita akhirnya muncul juga,” ledek Age sahabat Alvent yang sedang nongkrong di kantin bersama yang lain.
            Vita tersenyum simpul. Dibuntuti Alvent di belakangnya dia ikut nimbrung bersama teman-temannya.
            “Udah lama gue nggak liat lo Vit, tambah subur aja,” sekarang giliran Hendra yang menyela Vita. Maklumlah setelah kejadian yang memilukan itu Vita menghilang dari kampus selama dua minggu.
            “Enak aja lo,” bela Vita sembari melemparkan tisu yang sebelumnya diremas-remasnya. “Gue slim gini dibilang subur.”
            “Slimpitan lemak kali,” cela Hendra lagi yang mengundang tawa di antara mereka. Memang seperti ini suasana jika mereka sedang berkumpul. Pasti ada saja orang yang dibully dan sekarang giliran Vita, mungkin karena mereka rindu dengan sosok Vita yang ceria.
            “Ngaco lu Ndra,” Yana memukul lengan Hendra.
            “Tapi beneran loh Vit elo sekarang gendut deh,” kata Age lagi yang melihat tubuh Vita dari atas ke bawah dan kembali ke atas lagi. “Elo diapain Alvent sampe gendut kayak gini?” tanyanya dengan menatap Vita. Menggoda sahabatnya itu.
            Vita salah tingkah. Jika dihitung-hitung kandungannya memang sudah memasuki usia satu bulan dan itu cukup membuat perubahan bentuk tubuhnya walau sedikit.
            “Kalo ngomong dijaga,” ujar Alvent dingin. entah mengapa dia tak suka dengan ucapan Age walau dia tau jika sahabatnya itu hanya bercanda tapi dia tak ingin sahabat-sahabatnya itu tau jika dia sudah berbuat tak senonoh bersama Vita.
            Vita hanya menatap Alvent yang raut mukanya berubah menjadi dingin. diikutinya Alvent yang duduk di samping Hendra.
            “Emang gue mau ngapain sama dia coba,” kata Vita mencobba menyudahi obrolan tak bermutu itu.
            “Siapa tau elo hamil.”
            Satu pernyataan dari Hendra benar-benar membuat suasana di sana menjadi mencekam. Bagi Hendra dan Age yang tak tau apa-apa mungkin tak merasakannya. Tapi bagi Alvent dan Vita itu benar-benar kalimat yang tak seharusnya diucapkan Hendra. Polosnya keterlaluan.
            Yana menghembuskan nafasnya. Pasrah jika pacarnya ini ternyata benar-benar tak tau kondisi.
            “Jangan didengerin tuh ucapan Hendra, dia kan orangnya suka ngaco. Kalo ngomong nggak difilter dulu,” kata Yana yang berusaha membuat keadaan menjadi lebih baik. “Jangan didenger ya Vit, elo tau kan Hendra kalo akhir bulan gini otaknya agak geser gara-gara duit kirimannya abis?”
            Vita tersenyum lalu mengangguk. Dia tau Yana sedang berusaha membuat semuanya lebih baik.
            “Vit, ikut gue bentar yuk,” ucap Greys yang tiiba-tiba menarik tangan Vita. “Elo, elo dan lo juga ikut sama gue,” lanjutnya lagi sembari menunjuk Pia, Nitya dan Yana bergantian. Dan dalam sesaat kelima sahabat itu menghilang dari kantin.
            Greys baru melepaskan gandengannya saat mereka semua sampai di depan toilet. Ditatapnya Vita dengan seksama seperti saat Age tadi memandangi Vita.
            “Bener kata Age lo sekarang gendut,” katanya kemudia dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
            Vita tersenyum. Dia baru sadar jika di antara mereka hanya Yana yang tau jika dia tak benar-benar menggugurkan janinnya.
            “Iyalah, gimana nggak tambah gendut coba, dia makan mulu kemaren,” seloroh Nitya yang melihat dengan kedua mata kepalanya jika aktivitas Vita selama dua minggu hanya makan dan bermalas-malasan di rumah.
            “Diet ah kak, jelek tau kalo gendut,” timpal Pia yang tak suka melihat Vita menjadi gendut.
            Yana yang mendengar itu semua hanya bisa tertawa. Juga dengan Vita yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Masa orang hamil di suruh diet,” kata Vita dengan mencubit pipi Pia saking gemasnya dia kepada sahabat yang sudah dianggapnya seperti adek sendiri itu.
            “Hamil?” kata Greys, Pia dan Nitya bersamaan. Mereka menghujani Vita dengan tatapan penuh dengan permintaan penjelasan.
            “Iya,” jawab Vita singkat.
            Nitya yang melihat keanehan pada diri Yana langsung menatap gadis berwajah oriental dengan rambut pendek itu tajam. Melihat Yana hanya tertawa saat mendengar Vita hamil dia yakin jika ada yang tak beres dalam diri Yana.
            “Kok lo ketawa sih Na?”
            Yana terkesikap mendengar pertanyaan Nitya, ternyata sahabatnya itu menyadarinya juga.
            “Lo udah tau ya?” tanya Nitya lagi.
            Yana menganggukan kepalanya. “Udah tau dari dua minggu yang lalu.”
            “Curaaangg!!!!” koor Greys, Pia dan Nitya bersamaan. Mereka langsung memukuli Yana dengan segala jurus andalan masing-masing yang membuat Yana hanya bisa meringkuk di tempatnya.
            “Eh udah dong, kasian itu anak orang dikeroyok gitu,” Vita mencoba melerai adegan berantem itu. Tapi bukannya pisah, Vita jadi ikut-ikutan menjadi objek bullyan selanjutnya.
            “Iya salah lo juga, makannya lo harus dihukum,” kata Nitya yang mencoba menggelitiki Vita.
            Dan adegan itu berubah menjadi arena canda tawa. Begitu lepasnya mereka sampai tak tahu jika sedaritadi ada seseorang yang melihatnya. Melihat dan mendengar semuanya dengan jelas. Memperhatikan setiap detil yang terjadi dari jarak yang begitu dekat.
            “Hebat banget!” kata orang itu yang membuat kelima gadis di depannya berhenti tertawa. Menghentikan kebahagiaan mereka. Melenyapkan setiap tawa yang keluar saat melihat siapa orang yang hadir di antara mereka.
            “Ngebohongin aku dan ngebuat aku menjadi sangat bersalah setelah kejadian itu. Hebat!” katanya lagi yang masih menatap kelima gadis di depannya. Tapi matanya sekarang tertuju kepada satu orang di antarnya. Memandang dengan dingin dan tajam pada Vita. Mengunci pergerakan gadis itu.
            “Puas?” tanyanya lagi.
            Vita gemetaran. Alvent tiba-tiba muncul di hadapannya. Rahasianya juga ikut terbongkar saat itu juga. Sia-sia saja jika dia ingin menyanggah.
            “Kamu sekarang ikut aku. Kita pergi ke dukun anak dan gugurin janin itu.”
            Vita terkejut dengan kalimat Alvent. Ternyata Alvent benar-benar ingin melenyapkan janin itu. Melenyapkan calon anaknya.
            “Nggak akan!” kata Vita tegas. Matanya yang berkaca-kaca sedang menandingin tatapan Alvent yang dingin dan penuh amarah itu. “Cukup kemaren dan itu nggak akan terulang lagi.”
            Alvent meradang. Digenggamnya pergelangan tangan kiri Vita dan ditariknya Vita bersamanya. Membawa Vita ikut bersamanya.
            “Nggak mau Vent,” Vita meronta, berusaha lepas dari genggaman Alvent.
            Alvent tak menggubris. Kekuatan gadis itu tak sebanding dengannya. Sekuat apapun Vita mencoba meronta maka sekuat itu juga Alvent akan menahannya.
            “Lepasin Vita!” kata Yana yang ikut berusaha melepaskan tangan Alvent pada pergelangan tangan Vita.
            Alvent mendorong Yana. Membuatnya tersungkur. “Ini masalah gue sama Vita. Jangan ikut campur! Gue peringatin, elo ikut campur sahabat lo ini bakal celaka!”
            Alvent melangkah lagi. Menarik Vita yang sedikit melunak. Meninggalkan Yana, Nitya, Greys dan Pia yang hanya bisa meratapi kepergian mereka.
            “Jangan paksa aku buat buang anak ini,” kata Vita lemah yang membuat Alvent menghentikan langkahnya. Berbalik dan memandang Vita. “Kalo kamu nggak mau akuin nggak papa, aku nggak maksa kamu buat tanggung jawab sama aku.”
            Alvent menyimak perkataan Vita dengan seksama. Ditatanya bola mata Vita yang hitam itu. Tatapan yang penuh dengan permintaan.
            “Enggak!” Alvent menggelengkan kepalanya. Dilepaskan genggaman tangannya dan dipegangnya kedua bahu Vita. “Aku sayang sama kamu. Aku belum siap buat ini semua. Aku mohon gugurin janin itu.”
            Alvent meluruh dihadapan Vita. Memohon dengan segenap jiwanya. Meminta kepada wanita yang dikasihinya ini jika dia benar-benar tak menginginkan keberadaan janin yang berada di perut Vita.
            Vita menggeleng. Pandangannya masih tertuju pada Alvent, air matanya meluruh bersamanya lalu dengan perlahan diturunkannya tangan Alvent yang sedang memegang pundaknya lalu digenggam kedua tangan itu dengan lembut.
            “Aku baik-baik aja tanpa kamu. Percaya. Aku yang milih ini semua. Kamu nggak perlu tanggung jawab.”
            Lalu Vita memeluk Alvent. Lembut dan dalam. Mungkin pelukan yang terakhir kalinya. Ini yang dipilih olehnya. Dia akan melepaskan Alvent untuk melindungi janinnya. Melindungi yang lebih berarti dalam hidupnya. Karena dengan dia memilih janin yang ada di perutnya maka dia juga bisa memiliki Alvent setengahnya. Memiliki Alvent yang akan hidup bersama anaknya kelak.
            “Kalo kamu mau itu aku turutin,” bisik Alvent yang masih mendekap Vita. Ditelungkupkan kepalanya pada pundak Vita. Air matanya meleleh di sana. Membasahi sebagian baju Vita. “Tapi maaf, aku nggak bisa temenin kamu lagi,” bisiknya lagi dengan suara yang parau.
            Vita menangis mendengarnya. Dia tau jika ini akan terjadi.
            “Iya nggak papa, aku tau kok,” balasnya yang semakin erat memeluk Alvent. Merasakan untuk sesaat sebelum semuanya benar-benar berakhir.
            Bersama air mata yang meluruh. Alvent dan Vita memilih jalan masing-masing. Air mata yang menjadi saksi kesedihan jalan yang harus dihadapi keduanya. Takdir yang akan dibuat oleh masing-masing bahwa sekarang mereka tak bisa satu jalan, harus ada yang mengalah walau itu sama-sama akan membuat semuanya terluka.
            Vita mengurai pelukannya lalu menatap Alvent lembut. “Boleh aku minta satu permintaan?”
            Alvent mengusap air matanya lalu mengangguk. “Apa?”
            Vita mengatur nafasnya. “Untuk yang pertama dan terakhir kalinya, aku minta kamu ngusap perut aku dan nyium perut aku,” ujar Vita yang penuh dengan permohonan itu.
            Alvent menutup matanya sesaat lalu menyerahkan tubuhnya kepada bumi. Menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Menjajarkan wajahnya kepada perut Vita yang baru disadarinya mulai membuncit. Diusapnya perut itu dengan pelan lalu diciumnya beberapa menit. Membiarkan wajahnya yang penuh dengan air mata itu jatuh ke dalam perut Vita. Menikmati sesaat sebelum pergi dan melepas tanggung jawab.
            Makasih Vent. Aku bakal pergi dan jaga dia. Aku bakal mencintai anak ini kayak aku mencintaimu.

            ***

            TAMAT

            ***

Senin, 24 Desember 2012

Kangen

aaaaa entah kenapa diriku pengen nulis ini. KANGEN!!!
bukan kangen sama cowok atau idaman hati ya, gue kangen sama self nih. kelas gue sebelumnya. kelas sebelas yang udah setengah tahun pisah. nggak kebayang ya bro kalo udah lama nggak sekelas lagi. semua udah punya kelas baru. bahkan kita tinggal beberapa bulan lagi ada di smala. un nyari universitas terus mencar deh semuanya. ada yang di luar kota tapi ada juga yang betah di semarang.
kalo ngomongin kelas yang seru, gue milih self, mungkin diantara kaian yang anak self ada yang nggak suka kelas ini dan milih kelas 12 kalian, it's okay, semua kembali pada pribadi masing-masing. tapi kalo gue masih nyaman di self. entah kenapa gue suka aja suasana kelas itu. gimana kita belajar bareng, ketawa, ke bali juga kalo ngasih kue buat yang ulang tahun, ya walaupun nggak semua sih, tapi itu sumpah nyenengin banget.
kangen bu endah, kangen semua temen, kangan gimana gue duduk bareng Lily, kangen gimana cita sama tandon yang duduk di sebrang gue yang sifatnya konyol abis, kangen sama candaannya akbar yang nggak masuk akal tapi bikin ketawa, kangen derrick yang suka 'berantem' sama mukhlis, aaaa kangen mampus deh pokoknya haha
miss you all guys :D
peluk dan cinta buat kita semua :)

Pengorbanan Untuk Cinta 2



            Pengorbanan Untuk Cinta
            Part 2

            ***

            Masih seperti biasa, hari-hari Vita berjalan seperti tidak terjadi apa-apa. Dimata seluruh anggota keluarga juga teman-teman kampus tak ada yang berbeda dari sosok Vita Marissa. Masih gadis yang cantik, ceria juga baik hati. Gadis yang diidolakan oleh lawan jenisnya. Tapi bagi para sahabatnya tidak ada yang bisa ditutupi oleh Vita. Dia tak pandai berbohong di depan Yana, Nitya, Greys maupun Pia. Bahkan kata-kata ‘baik-baik saja’ terasa lebih memilukan daripada keadaan sebenarnya. Menyedihkan.
            “Hey,” sapa Vita kepada keempat sahabatnya yang sore ini datang ke rumahnya.
            Pia yang berumur paling muda di antara mereka langsung menghambur kepelukan Vita setelah si empu rumah membuka pintu. Pia mendekap Vita erat. Dia hanya ingin seperti ini untuk sekarang. Memeluk sahabatnya yang sedang melewati masa tersulit dalam hidupnya. Mencoba menjadi sahabat yang semestinya. Sahabat yang seharusnya ada di kala senang dan susah.
            “Yang kuat ya kak,” kata Pia yang masih memeluk Vita. Pia selalu seperti itu, memanggil yang lain dengan sebutan ‘kak’.
            Vita mengangguk. Dan entah dorongan darimana, Nitya, Greys dan Yana ikut memeluk Vita. Menguatkan salah satu dari mereka. Memberi sandaran kepada Vita. Lalu setelah itu, tanpa dikomando, semua mengalir begitu saja sore itu. Seluruh kisah memilukan pada malam itu. Sesuatu yang harus merubah masa depan Vita. Malam yang terlalu singkat untuk merelakan harga diri. Kenyataan yang membawa Vita menuju jalan yang benar-benar gelap. Juga tentang sebuah rahasia yang harus disimpan.
            Kempat sahabat itu mendengarkan dengan seksama kata demi kata yang keluar dari mulut Vita. Cerita yang benar-benar membuat jantung mereka berdetak dengan frekuensi lebih cepat. Membawa suasana menjadi tegang. Bahkan Pia harus meremas tangan Yana yang ada di sebelahnya saat Vita menceritakan bagian dimana dia harus kehilangan kebanggaan dari seorang gadis.
            “Jadi gue udah nggak perawan lagi,” kata Vita berat diakhir cerita. Sesuatu yang sungguh menohok dirinya sendiri. Kenyataan yang benar-benar tak bisa diulangi lagi.
            Setelah kalimat itu suasana menjadi hening. Kelima sahabat itu sibuk dalam pikiran masing-masing. Greys mengusap air matanya. Yana memalingkan wajahnya. Nitya menunduk sedangkan Pia menatap Vita yang sedang melihat langit yang berubah warna dengan semburat jingganya. Vita gadis yang paling tegas di antara mereka. Seseorang yang paling disegani karena prinsip hidupnya yang kuat. Tapi semuanya lenyap begitu saja. Menguap tanpa tersisa. Karena semua itu manusiawi. Hidup tak segampang menulis keinginan di kertas putih, ada banyak hal yang bisa merubah angan-angan.

            ***

            Kadang hidup itu susah ya. Udah diperhitungin baik-baik ternyata bisa meleset juga.
            Pagi yang tak secerah biasanya. Sedikit awan hitam menggantung di langit kota Jakarta. Tapi Alvent tak menggubris itu semua. Setelah memarkirkan mobil hitam kesayangannya, dia berjalan dengan santai di koridor kampus. Menikmati cuaca Jakarta yang tak begitu panas. Berjalan dengan bersenandung pelan. Begitu bahagianya dia pagi ini. Semua masalahnya dengan Vita telah selesai. Tak ada yang perlu dipertanggung jawabkan lagi. Janin itu telah lenyap dari perut Vita. Jadi sekarang dia bebas. Bisa bermain dan berpetualang lagi. Senyum simpul menghiasi wajahnya setelah memikirkan hal itu. Alvent memang terkenal bad boy di kampus. Anak orang kaya yang senang menghambur-hamburkan uang, mengencani banyak wanita, penebar harapan-harapan palsu, juga pecandu party. Tapi jika untuk seks bebas, dia bukan tipikal seperti itu. Jika dia bisa melakukannya dengan Vita, itu memang murni atas dasar cinta. Vita adalah wanita pertama yang tidur dengannya dan dia memang hanya ingin tidur dengan Vita dalam hidupnya. Wanita yang benar-benar dicintainya. Tapi cara Alvent salah. Dia tak tahu bagaimana menghormati wanita yang dicintainya itu. Bahkan dia tak sadar jika telah membuat Vita benar-benar hancur dengan cinta yang diberikannya. Hancur, berkeping-keping dan berantakan.
            “Heh bajingan!” seorang gadis berteriak di depan Alvent. “Cowok brengsek!” lanjutnya lagi yang mendekati Alvent. Tapi ada tiga orang lainnya yang membuntuti gadis itu. Empat orang yang sangat dikenal Alvent. Para sahabat Vita.
            Bug!
            Satu tonjokan mendarat di perut Alvent dari Yana.
            “Ini buat keperawanan Vita yang ilang,” desis Yana tepat di depan muka Alvent.
            Bug! Sekarang giliran pipi Alvent yang mendapat hantaman dari Yana.
            “Ini buat sikap lo yang pengecut!”
            Plak! Tamparan dari Greys di pipi kanan Alvent, tempat yang sama saat Yana memberi tonjokan tadi.
            “Ini buat calon anak yang nggak lo akuin,” kata Greys setelahnya.
            Alvent hanya bisa terdiam di tempatnya melihat Yana dan Greys yang menjadi liar seperti ini. Walaupun tonjokan dan tamparan tadi tak begitu keras dan menyakitkan tapi kata-kata yang diucapkan setelahnya membuat Alvent sedikit bergidik. Pengecut?
            “Gue bilangin ya, semua yang terjadi itu nggak murni kesalahan gue, Vita juga mau kok nyerahin keperawanannya sama gue,” kata Alvent dingin. sedikit menyanggah dan membela diri. Matanya yang hitam tampak menyala saat melihat keempat orang di hadapannya.
            “Kalo lo mau marah jangan sama gue doang, Vita juga patut lo marahin. Jadi cewek kok murahan,” lanjutnya lagi yang benar-benar membuat kumpulan gadis di depannya meradang.
            Yana mengepalkan tangannya. Cewek murahan? Vita cewek murahan?
            Bug!
            Satu pukulan mendarat lagi di pipi kanan Alvent. Kalo yang sekarang benar-benar menyakitkan. Pukulan yang penuh dengan rasa amarah. Pukulan dari Pia yang sejak tadi diam.
            “Apa lo bilang? Cewek murahan? Siapa yang cewek murahan? Vita? Lo emang cowok brengsek ya! Maunya enak doang! Lo nggak mikir gimana jadi Vita hah? Dia udah kehilangan kesuciannya terus dia harus ngegugurin anaknya sendiri. Lo manusia apa setan sih bisa kejem kayak gitu! Gue sumpahin lo mandul seumur hidup!” Pia mengeluarkan sumpah serapahnya. Nafasnya terengah-engah setalah mengucapkan itu semua. Ditatapnya dengan tajam bola mata Alvent. Menantang cowok pengecut di hadapannya ini.
            “Gue sumpahin lo cepet mati!” sumpah Pia lagi lalu segera meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat-cepat dengan diikuti Yana dan Greys di belakangnya.
            “Gue nggak mau nakut-nakutin lo, karma itu masih ada Vent. Ati-ati aja,” kata Nitya sesaat sebelum berlalu bersama yang lain.
            Dalam diam Alvent menatap kepergian empat orang sahabat Vita itu. Menatap punggung-punggung yang begitu setia membuat pagar untuk Vita. Melindungi salah satu diantara mereka yang sedang terluka. Bahkan badan-badan itu siap maju menjadi tameng Vita menghadapi cowok egois seperti Alvent.

            ***

            Dengan menelungkupkan badannya di atas tempat tidur, Vita terus menerus melihat gambar-gambar yang dengan rapi tertempel di album foto itu. Gambar-gambarnya dari kecil sampai dewasa seperti ini. Senyum yang ada di gambar itu begitu memilukan jika dilihat. Senyum yang masih ringan, gadis yang masih polos, gadis yang benar-benar tak tahu betapa kejamnya dunia ini. Dan pada lembar terakhir ada gambarnya bersama keempat sahabat tercinta. Lalu sebuah senyum menghias di wajah Vita. Dalam senyum itu Vita memohon kepada Tuhan agar Dia senantiasa menjaga persahabatan mereka. Melindungi setiap individu yang ada di dalamnya agar tetap bisa bahagia dengan segala jalan yang dipilih oleh masing-masing juga dengan jalan yang Vita pilih sekarang.
            Vita berbalik. Membaringkan tubuhnya sembari mengelus perutnya. Janin yang tak jadi dibuangnya. Janin yang berusaha dia lindungi untuk hidup walaupun dia harus berbohong kepada Alvent.
            Kamu jangan takut ya, kita bakal hidup berdua dengan bahagia, kata Vita dalam hati.
           
            

Minggu, 23 Desember 2012

Pengorbanan Untuk Cinta



Pengorbanan Untuk Cinta

            Sinar bulan berpendar dengan terang malam ini. Menyinari langit malam yang tampak gelap dan dingin. Suara jangkrik dan sesekali suara tokek berselingan dari kamar Vita. Menemani gadis itu yang sendirian. Mata gadis itu sangat sendu. Pandangannya entah kemana. Malam yang kelam.
            Vita menghela nafas panjang. Gadis itu menatap perutnya. Perutnya masih sama tapi tak akan pernah sama lagi karena di dalam sana ada sebuah kehidupan yang akan direnggutnya. Kehidupan yang tak bisa dipertanggung jawabkannya.
            Air mata itu menetes lagi. Vita terisak lagi, berat dan sesak. Luka yang ditanggungnya semakin lama semakin sakit. Rasa yang dipikirnya akan hilang secara cepat ternyata semakin menusuk dan sakit.
            Vita meraung lagi, berteriak, menjerit entah untuk apa. Masih sakit, sangat sakit. Dia hampir membunuh anaknya sendiri. Hampir menggugurkannya dalam usia dua minggu malam ini tanpa perasaan bersalah.
            “Terserah kamu. Aku nggak akan tanggung jawab sama janin yang kamu kandung. Buang apa kita pisah?”
            Vita menyeka air matanya. Kalimat laki-laki itu masing terngiang di otaknya. Kekasihnya. Laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Laki-laki yang sangat Vita cintai. Tapi setelah semua ini terjadi masih pantaskah Vita mencintai kekasihnya itu?
            “Udah siap?” tanya seseorang yang memasuki kamar Vita dengan menutupi sebagian wajahnya dengan masker dan membalut kedua tangannya dengan sarung tangan latex.
            Vita mengangguk kepada dukun kandungan itu. Orang yang akan membantunya untuk membuang janin di perutnya. Vita terus meremas tepi tempat tidurnya. Meneteskan kembali air matanya sepanjang malam itu.
-ooo-
            Alvent menyusuri koridor kampusnya dengan santai. Earphone menutup telinga kanan dan kirinya. Lagu-lagu berirama kencang keluar dari benda itu. Sedikit menutupi apa yang sedang dipikirkannya sekarang.
            “Vent! Vent!”
            Seorang gadis memanggilnya dari belakang. Sedikit mempercepat langkah kakinya karena Alvent tak menengok juga.
            “Vent!”
            Alvent berhenti setelah punggungnya ditepuk oleh seseorang. Dilihatnya orang itu yang ternyata Nitya, teman sekelasnya.
            “Apaan?” tanyanya dengan mencopot earphone yang masih terpasang di telinganya.
            “Ikut gue.”
            Nitya langsung menyeret Alvent tanpa meminta ijin. Dibawanya Alvent ke tempat yang sepi sehingga dia bisa berbicara berdua dengan sahabatnya yang baru saja melakukan hal gila. Sangat gila.
            “Elo apain Vita?” Nitya langsung menodong Alvent setelah mereka berada di taman belakang Fakultas Ekonomi.
            Alvent mendecak pelan. Ditatapnya Nitya tajam dengan menaikan satu alisnya.
            Nitya yang ditatap Alvent seperti seolah tau jika sahabatnya itu tak ingin hal pribadinya dicampuri oleh orang lain.
            “Tapi Vita juga sahabat gue. Dia udah tiga hari nggak masuk kuliah. Bahkan gue, Yana, Greys, Pia nggak ada yang tau kemana dia. Dan kita yakin elo tau dimana Vita.”
            “Kalo gue tau emang kenapa?”
            “Susah ya ngomong sama orang sedeng kayak elo.”
            Nitya frustasi dengan cowok yang ada di hadapannya ini. Dia mengatur nafasnya agar emosinya tak meledak.
            Plak!
            Sebuah tamparan akhirnya jatuh di pipi Alvent. Ekspresi rasa kecewa Nitya. Pelampiasaan amarah untuk Vita.
            “Elo udah ngerusak masa depan Vita tau nggak. Elo udah ngehamiliin Vita dan sekarang sahabat yang gue sayang itu ngilang tiba-tiba. Siapa yang mesti tanggung jawab? Elo kan? Makannya kasih tau dimana Vita!”
            Alvent mengepalkan tanggannya. Dia tak terima jika dituduh sudah merusak masa depan Vita. Mereka melakukan hal itu berdua, atas dasar cinta. Dan sekarang yang disalahkan oleh gadis di depannya ini hanya dia?
            “Kalo ngomong jangan seenak jidat ya Nit.”
            “Gue mau tanya. Elo udah apain Vita sampe dia ngilang?” Nitya tak menggubris protes dari Alvent. Dia sangat khawatir dengan Vita. “Elo ngehamiliin dia, iya kan?”
            “Gue nggak ngapa-ngapain.”
            Nitya mengibaskan tangannya. Tak percaya dengan ucapan Alvent.
            “Elo denger ya Vent,” ditunjuknya Alvent dengan telunjuknya. “Dari pertama Vita suka sama elo, gue sama yang lain udah nasehatin dia kalo elo bukan cowok yang bisa diajak serius. Elo bisanya cuma maen-maen. Tapi apa? Vita nggak ngedengerin. Dia selalu ngebelain elo meski elo udah buat dia nangis semaleman. Dia tetep sayang sama elo walopun elo cuek sama dia. Sekarang? Mungkin dia bakal tetep cinta sama cowok bajingan kayak elo yang udah ngehamiliin dia tanpa tanggung jawab.”
            Nitya segera berlalu dari hadapan Alvent. Cukup untuk sekarang. Dia dan teman-temannya akan melakukan sesuatu untuk Vita. Akan melindungi salah satu sahabat mereka. Akan mendekapnya agar tak rapuh. Membantunya agar tak terlihat lemah di depan cowok brengsek seperti Alvent.
***
            Dari balik tralis besi kamar, Vita terus menatap bunga yang bermekaran di halaman depan rumah. Berwarna-warni, bermekaran dengan indah. Seketika senyum di wajahnya mengembang.
            “Non Vita ada temennya di depan,” ujar seseorang yang berada di ambang pintu kamarnya.
            Vita berbalik, menatap wanita paruh baya itu dengan bingung. Temannya? Siapa?
            “Siapa bi? Cewek apa cowok?”
            “Cowok.”
            Vita mendesah. Dia mengangguk lalu keluar dari kamar untuk menemui temannya itu. Dia berjalan menuju teras dengan malas. Sesampainya di sana dia melihat seseorang yang sedang duduk sembari memainkan handphone. Seseorang yang sangat dihafal oleh Vita. Objek yang sangat teramat jelas dalam ingatannya.
“Hei Vent,” sapa Vita kepada orang itu. Kekasihnya.
Alvent tersenyum. Memasukkan handphone nya lalu berdiri, mendekat kepada gadisnya itu.
“Gimana keadaan kamu? Masih sakit?” tanyanya sembari mengelus perut Vita. Perut yang beberapa jam yang lalu berisi janinnya.
Vita tersenyum simpul sembari mengangguk. Hatinya terasa sakit. Begitu bahagiakah Alvent dengan ini semua? Senangkah dia setelah pengorbanannya?
“Nah gitu dong, sekarang kan jadi enak, kita jadi nggak ada beban,” kata Alvent ringan sembari tersenyum lalu mendekap gadisnya itu dengan menghujani puncak kepala Vita dengan ciuman.
Dalam dekapan itu Vita menghapus air matanya yang entah mengapa turun begitu saja. Mencoba merasakan kehangatan dari dekapan Alvent yang tiba-tiba terasa kaku dan dingin. Mencoba mengikhlaskan semua yang telah dan akan terjadi. Memilih antara yang harus dipilih. Melepaskan sesuatu untuk mendekap yang lain.
            “Sekarang kita balik ke Jakarta ya?” kata Alvent setelah mengurai pelukannya itu.
            Vita setuju. Sore itu Vita dan Alvent meninggalkan Bandung. Meninggalkan segala kepiluan yang terjadi di kota kembang itu. Kembali menuju Jakarta. Menuju kenyataan yang benar-benar akan dihadapi Vita. Menghadapi semuanya sendirian. Karena ini yang dipilih Vita. Jika Alvent melepas tanggung jawab itu maka dirinyalah yang akan menanggung semua itu.
            Karna cinta tak harus menurut, perlu ketegasan di dalamnya.

Sabtu, 22 Desember 2012

Cinta Diam-Diam



Cinta Diam-Diam

***

            Walaupun hanya bisa memandang, ini sudah cukup membuatku bahagia...

            Yana memandang lapangan basket dari tempat duduknya dengan senyum yang terus mengembang di wajahnya. Hanya sesekali dia mendengarkan kata-kata Pak Wid yang sedang menerangkan tentang medan listrik.
            “Yan, diliatin Pak Wid tuh,” tegur Nitya teman sebangku Yana.
            Gadis itu terkesikap. Dialihkannya pandangan dari lapangan basket ke muka Pak Wid. Objek yang benar-benar berbeda. Mendengarkan penjelasan Pak Wid tentang fisika sungguh membuat bosan dan mengantuk. Baginya seseorang yang ada di lapangan basket sana lebih menarik untuk dijadikan tontonan daripada Pak Wid yang sudah tua.
            “Ngantuk gue kalo harus dengerin Pak Wid ngomong dua jem,” omel Yana dengan menopang kepalanya dengan kedua tangannya.
            Nitya nyengir menanggapi omelan Yana. Bahkan hampir semua penghuni kelas itu terus menguap tanpa bisa dihitung frekuensinya.
            “Enakan ngeliatin Hendra deh, segerrr,” lanjutnya lagi dengan sesekali melirik lapangan basket yang tak jauh dari kelasnya.
            “Itu sih mau lo,” kata Nitya sambil menoyor kepala Yana.
            Yana nyengir setelah ditoyor Nitya. Dipandangnya lagi Hendra yang sedang pelajaran olah raga itu. Hendra, objek yang sangat membahagiakan Yana dalam hidupnya. Laki-laki yang dari awal masuk SMA menarik perhatiannya. Laki-laki yang entah darimana sudah menetap di hati gadis itu.

***

            Aku hanya bisa memandangnya dari jauh, karena cintaku untuknya hanya sekedar cinta diam-diam...

            “Elo betah tuh mendem cinta kayak gitu, udah mau lulus tetep aja ngeliatin doang, deketin kek,” celoteh Nitya kepada Yana pada jam istirahat ini. Gadis kelahiran Bali itu sebenarnya bosen melihat Yana yang hanya bisa mengagumi.
            Yana tak menggubris omongan Nitya. Ada benarnya juga perkataan temannya tadi. Memang sudah hampir tiga tahun dia memendam cintanya. Memberikan tempat khusus bagi Hendra di hatinya. Tapi itu hanya dari Yana. Hanya dari satu pihak.
            “Susah Nit. Apalagi gue cewek, malu tau kalo cewek duluan yang harus maju. Cewek itu takdirnya nunggu bukan ngejar,” kata Yana dengan mengaduk-aduk jus mangga yang ada di hadapannya.
            Nitya menyesap teh botolnya sampai habis lalu memandang Yana.
            “Sekarang udah modern. Nggak ada hukumnya kalo cewek cuma bisa nunggu. Kalo lo mau dapetin cinta, nggak peduli lo cewek atau cowok, lo harus perjuangin, usaha dengan segala cara tanpa rasa malu,” ujarnya memberi nasehat kepada Yana. Menyadarkan temannya itu bahwa cinta yang hanya dipendam akan menimbulkan penyesalan. Karena dia telah merasakannya. Dimana dia dulu pernah memendam cinta.
            “Tapi lo harus tau, cinta yang nggak diungkapin punya sensasi yang lebih,” kata Yana membela diri.
            “Iye tau, papasan dikit aja senengnya tujuh hari tujuh malem. Tapi kalo liat dia ngandeng cewek nangisnya tujuh turunan kali,” ledek Nitya yang kemudian meninggalkan Yana di kantin.
            Yana enggan mengikuti Nitya kembali ke kelas. Walaupun bel masuk sudah berbunyi beberapa detik yang lalu, dia memilih tetap duduk di kursi kantin itu. Ingin sedikit terlambat.

            Gue cuma bisa gini, mencintai dalam diam. Entah sampe kapan, tapi untuk sekarang gue cuma bisa melihat dan merasakannya sendiri.

***
            Aku mencintaimu dalam batas imajinasi tanpa berani mewujudkannya...

            Hendra menggores-goreskan pensilnya di buku tulis matematika bagian belakang. Seorang gadis dengan wajah oriental dan rambut pendek. Senyum yang sama persis dengan aslinya. Semuanya terekam jelas diingatan Hendra dan dituangkannya dalam bentuk sketsa. Entah sudah berapa banyak wajah gadis itu digambar olehnya. Dengan berbagai gaya juga dengan bermacam-macam ekspresi wajah yang sungguh membuat Hendra tersenyum seketika jika melihat sketsa itu.
            “Kalo suka ngomong jangan dipendem.”
            Hendra menoleh, ternyata Bu Endang berada di sampingnya.
            “Enggak bu, cuma iseng,”  Hendra segera menutup sketsa itu dan kembali menyatat materi trigonometri yang berada di papan tulis.
            “Rasain lo,” ledek Age, teman sebangku Hendra setelah Bu Endang berlalu dari tempat duduk mereka. “Tapi bener tuh kata Bu Endang, kalo suka ngomong jangan dipendem.”
            Hendra menoyor kepala Age. “Jangan sok ngajarin.”

***

            Kadang takdir itu lucu, kayak jodoh, udah di depan mata tapi lewat gitu aja...

            Waktu memang berjalan dengan cepat. Siap atau enggak semuanya akan berlalu silih berganti. Seperti sekarang. Untuk Hendra juga Yana yang sedang menunggu kelulusan di halam sekolah mereka. Entah mengapa ada sedikit rasa sedih menyisip di hati mereka. Bagi keduanya, waktu tiga tahun tidak terasa, seperti kemarin baru saja mengikuti MOS tapi sekarang sudah harus meninggalkan bangunan bertingkat tiga itu. Membawa semuanya dalam bentuk kenangan. Juga tentang cinta mereka berdua. Keduanya memendam cinta di sini tanpa berani untuk menunjukannya. Bagi Yana, seorang cewek tak pantas untuk mengungkapkan cinta terlebih dahulu. Bagi Hendra, dia belum cukup mengerti tentang perasaannya ini, tapi yang dia tau untuk sekarang, Yana telah menempati hatinya sejak kelas satu dulu.
            Brukk!!!
            “Sorry,” ucap keduanya bersamaan. Hendra dan Yana saling bertatapan lalu menggumbar senyum diantara keduanya.
            “Sorry, gue buru-buru mau liat pengumuman, katanya udah keluar ya?” ujar Hendra sembari menatap Yana yang baru saja ditabraknya. Untung saja gadis mungil itu tak jatuh ke tanah.
            Yana mengangguk, entah kenapa darahnya berdesir dengan cepat. Hendra ada di hadapannya, sedekat ini. “Iya, tuh ditempel di mading,” lanjutnya dengan tersenyum tanpa sadar.
            “Lulus?”
            “Puji Tuhan.”
            “Wah selamet ya,” kata Hendra sembari menjulurkan tangannya.
            Yana mengangguk lalu menyalami tangan Hendra. Entah mimpi apa yang dialaminya tadi malam.
            “Gue ke sana dulu ya,” ujarnya kemudian meninggalkan Yana.
            Hendra berjalan menuju mading dengan wajah riang. Hari yang sudah sangat lama ditunggunya. Setelah hampir tiga tahun akhirnya dia bisa berbicara dengan gadisnya itu. Menatap dengan sangat dekat. Sungguh itu sudah cukup baginya. Karena terkadang cinta itu perlu pengertian, bahwa tak semua cinta yang terucap akan berakhir bahagia, baginya cinta dalam diam akan abadi.
            Yana menatap punggung Hendra yang menjauh kemudian ikut berlalu dari sana. Berjalan menuju gerbang sekolah, bergabung dengan teman-temannya yang sedang sibuk membubuhkan tanda tangan pada baju sekolah mereka. Yana ikut larut dalam kegembiraan itu. Yana tak menyesal karena dia tetap menyimpan cintanya. Jika memang ini terakhir baginya untuk menatap Hendra, maka dia akan tetap bahagia. Karena segala bentuk cinta adalah kebahagiaan.
***

Jumat, 21 Desember 2012

Curhat Aja

Hallo semua.
Hihi nggak tau nih blog ini ada yang baca apa enggak, semoga ada ya. Aku pengen curhat nih dikit boleh ya? Haha
Entah kenapa belakangan ini aku bingung nih, apalagi habis terima rapor kemaren itu, udah kelas 12 bro. Masa-masa kritis nih buat kita-kita yang ada ditahap ini. Bentar lagi mau UN abis itu nyari kampus impian masing-masing. Kalo masalah UN sih aku yakin kita semua bisa menghadapi itu semua dengan kepala tegak berdiri dan semangat yang membara. Tapi yang jadi masalahnya itu kemana kita selanjutnya. Kampus mana yang pengen kita tuju. Kalo masalah kampus sih pasti kita pengen kampus yang keren, ya nggak? Kayak UI, ITB, UGM, UNDIP dan kawan-kawannya itu. Kita pengen masuk perguruan tinggi yang beken. Keren kan kalo kita bisa pake almameter sekaliber kampus-kampus gitu. Tapi yang bikin aku bingung itu jurusannya, aku takut salah jurusan sodara-sodara. Pengennya komunikasi dan jadi wartawan secara diriku suka dunia tulis menulis, tapi setelah dipikir-pikir lagi kalo mau jurusan komunikasi harus pinter bahasa lah aku? Bahasa Indonesia sih oke oke aja, lah kalo bahasa engris gitu, mana kalo ulangan mesti remed pula, mau ditaruh mana muka ini kalo cas cis cus bahasa asing kagak bisa. Nah jadi ceritanya aku galauuu....
Enaknya diriku gimana ya sodara-sodara?