SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Jumat, 21 Desember 2012

Sandiwara Cinta #6




Sandiwara Cinta
Part 6

***

            Siang ini cuaca di Jakarta begitu terik. Matahari bak berada di atas kepala. Vita yang selalu bersemangat melakukan aktivitasnya menjadi sedikit malas bergerak. Tubuhnya terkulai lemas di atas meja kelas. Kepalanya juga terasa pusing sejak dia bangun tidur tadi pagi.

            “Elo sakit Vit?” tanya Yana yang bingung melihat tingkah laku sahabatnya itu.

            “Nggak papa kok.” Dengan samar Vita menggeleng. Tubuhnya tak berubah sedikit pun.

            Nitya yang juga bersama mereka dengan paksa menegakkan tubuh Vita, ditariknya sampai dia bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas.

            “Pucet banget. Pulang gih.” Sarannya yang kaget melihat keadaan Vita yang jauh dari kata baik-baik saja. “Panas pula,” lanjutnya lagi setelah memegang kening Vita.

            Gadis itu lagi-lagi menggeleng. Enggan mengikuti saran dari salah satu sahabatnya.

            “Masih ada kelas,” jawabnya dengan suara yang timbul tenggelam.

            “Entar gue ijinin deh.” Bujuk Yana yang tak tega melihat kondisi Vita seperti itu.

            “Udah sono balik. Gue telepon Hendra ya biar nganterin pulang?” Tawar Nitya, sedangkan Yana langsung membereskan buku-buku milik Vita.

            Vita menghela nafas dengan lesu. Dia tidak bisa menolak untuk tidak menuruti permintaan sahabat-sahabatnya itu.

            “Hendra lagi ada rapat sama anak BEM,” kata Nitya setelah menghubungi Hendra. “Kita anter deh.”

            “Gue bisa balik sendiri. Bisa naik taksi ini,” tolak Vita yang langsung menenteng tasnya. “Gue nggak mau kalian cabut dengan mengatas namakan nganterin gue pulang.”

            Yana dan Nitya menyeringai bersamaan. Mereka memang senang jika bisa cabut dari kelas Pak Nova yang terkenal killer itu. Apalagi alasannya jelas.

            “Udah ah gue balik dulu.”

            Vita melangkah pelan keluar dari kelasnya. Dengan sisa-sisa energi yang dimiliki, gadis itu memaksakan kakinya untuk terus menopang tubuhnya yang semakin lama terasa berat. Vita terus berjalan dan tanpa sadar jika sedaritadi ada sepasang mata yang mengikuti pergerakannya,.

            “Siniin kuncinya.”

            Vita yang baru saja sampai di parkiran dan mengeluarkan kunci dari tas langsung terperangah melihat Alvent yang tau-tau menodongnya.

            Vita tak memberikan apa yang diminta Alvent tapi ternyata Alvent bergerak lebih cepat. Belum sempat Vita berujar sesuatu dia sudah merebut kunci yang ada di tangan gadis itu tanpa ijin.

            “Gue anter pulang. Sana masuk.” Kata Alvent dengan nada memerintah.

            “Gue bisa pulang sendiri.” Vita menolak dan berusaha mengambil kembali kunci mobilnya.

            Alvent mencoba berkelit dari tangan Vita yang berusaha mengambil kembali kuncinya. Laki-laki itu mendengus setelah melihat usaha Vita yang begitu keras. Dengan terpaksa dia memegang kedua tangan Vita. Menguncinya agar tidak bergerak.

            “Liat.” Seru Alvent yang memaksa Vita menunduk guna melihat kondisinya dari spion mobilnya sendiri.

            “Elo tuh pucet banget. Masih bisa pulang sendiri? Bisa bawa mobil? Mana mungkin gue biarin cewek yang gue sayang pulang sendiri dengan keadaan kayak gini.”

            Vita terpaku melihat bayangan wajahnya. Dia begitu pucat. Tapi wajahnya begitu tegang setelah mendengar ocehan Alvent tadi. Ada sesuatu yang ganjal yang tak begitu jelas ditangkap oleh pendengarannya.

            Vita mencoba mengurai genggaman Alvent pada tangannya. Ditatapnya Alvent dalam-dalam. Mencoba mencari kesungguhan dari mata laki-laki itu. Mencari pengulangan kata-kata tadi  dalam bentuk yang lain.

            “Coba ulangin,” pinta Vita dengan lemah. Badannya mulai gemetar. Kepalanya begitu pusing.

            “Aku sayang sama kamu,” ualang Alvent tanpa basa-basi. Tapi ternyata sebelum kata-kata itu tertangkap sempurna oleh pendengaran Vita, gadis itu keburu ambruk di depan Alvent. Meluruh ke tanah bersama gaya gravitasi yang ada.     

***

            Alvent duduk bersila di balkon kamarnya. Laki-laki itu menghirup rokok yang ada di tangannya dengan menatap matahari yang mulai menghilang dari bumi. Alvent memang anti tembakau, tapi jika sudah begini, jika emosinya sudah tak terbendung, prinsip itu tak berlaku. Hanya dengan menghisap kuat-kuat rokok itu dan mengepulkannya ke udara dia berharap bisa mengurangi penat di dalam kepalanya. Tapi bayangan Vita yang tiba-tiba terjatuh di depannya tidak bisa begitu saja hilang. Wajahnya yang pucat terus berkelebat.

***

            Vita belum sadar sejak tadi siang. Tubuhnya masih terkulai lemas di atas kasur. Matanya terus saja tertutup dengan tenang bahkan nyaris seperti orang mati jika saja dadanya tidak naik turun untuk menghirup nafas.

            Saat semua orang terlelap. Saat itulah Vita mulai sadar. Dini hari Vita mulai membuka matanya. Kepalanya masih pusing, pandangannya pun sedikit kabur. Tapi tetap saja gadis itu berusaha untuk bangun. Tenggorokannya terasa kering. Dengan meraba benda yang ada di sekitarnya Vita mencoba berjalan menuju dapur. Memegang apa saja yang sekiranya kuat untuk menopang tubuhnya.

            Bruk.

            Vita terjatuh lagi. Tubuhnya langsung tersungkur di lantai kamarnya. Kotak yang mirip kotak sepatu itu juga ikut terpelanting karena tertendang oleh Vita. Kotak yang menjadi penyebab dia jatuh. Benda-benda yang ada di dalam kotak itu mencuat begitu saja. Berhamburan ke sana kemari. Memperlihatkan rahasia yang tersembunyi selama ini. Ada lembaran foto, kaset, kalung, flashdisk dan benda-benda lainnya.

            Vita meruntuk dalam hati. Sekarang bukan hanya kepalanya yang pusing badannya juga ikut sakit karena terbentur tepi tempat tidur yang terbuat dari kayu itu.

            Dengan enggan Vita memunguti benda-benda itu. Tanpa menghiraukan apa yang ada di genggamannya dia langsung memasukkan benda-benda itu ke dalam kotak lagi. Tapi kegiatannya terhenti pada satu lembar foto, benda terakhir yang masih tertinggal di lantai kamarnya. Satu lembar foto yang sangat berarti bagi wajah-wajah yang ada di dalamnya. Momen yang tak akan bisa diulang kembali. Vita masih melihatnya dengan terperangah. Kecurigaannya mencuat kembali. Di dalam kertas foto itu, tergambar dirinya dan Alvent yang sedang tertawa lepas di atas komedi putar.

            Dufan, main bareng lagi. Love you ya...

            Vita membacanya berulang-ulang tulisan yang berada di balik foto itu. Membacanya dengan keterperangahan yang memuncak.

            Seperti kesetanan dia mengeluarkan kembali isi dari kotak di depannya itu. Ternyata semua foto yang tersimpan adalah foto dirinya bersama Alvent. Foto-foto yang terlewatkan. Juga dengan tulisan di baliknya. Selalu tertulis kata cinta di dalamnya.

            Vita mengambil flashdisk yang berbentuk raket, yang menjadi bagian dari kotak itu, lalu menancapkannya ke komputer dengan cepat-cepat. Hanya ada satu file di sana. Sebuah video tanpa judul. Dengan ragu Vita membukanya.

            Gadis itu menahan nafas saat gambar itu mulai muncul di layar komputer. Wajahnya yang berada di sana juga kadang berganti dengan wajah Alvent. Hanya ada tawa di dalam rekaman itu. Tampak sangat dekat dan bahagia.

            “Vit ayo bilang sesuatu.” Suara Alvent terdengar dalam rekaman itu.

            Wajah Vita tampak kebingungan. Tapi ada semburat merah di pipinya.

            “Ngomong apa?”

            “Terserah. Cepetan keburu abis ini film nya,” ujar Alvent yang terus memaksa Vita mengatakan sesuatu.

            “Hallo, ini gue Vita, gue pacarnya Alvent. Gue nggak tau kenapa gue suka sama dia mungkin pake pelet kali ya.”

            “Yee ngeledek. Yang bener dong Vit,” protes Alvent menghentikan Vita. Hanya suara yang terus terekam dari sosok Alvent.

            “Cerewet!” kata Vita galak yang sesaat gambarnya hilang.

            “Alvent tuh cerewet tapi nggak tau kenapa gue sayang banget sama cowok badung ini,” lanjut Vita yang dibarengi dengan kemunculan gambarnya juga Alvent yang sudah dirangkul di sampingnya.

            “Gue juga sayang banget sama cewek satu ini,” kata Alvent menutup video itu dengan mengacak-acak rambut Vita.

            Vita menutup mulutnya. Menekannya kuat-kuat agar tangisnya tak pecah di tengah sepinya malam. Dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Kedekatannya dengan Alvent yang tak dia ingat. Hubungannya dengan Alvent yang ternyata menempatkan dirinya sebagai kekasih laki-laki itu begitu telak memukul Vita. Dia lupa segalanya.

***

            Alvent memegang pipinya. Entah dari mana hadirnya Vita yang tiba-tiba datang dan menamparnya begitu saja. Setelah satu tamparan itu Vita hanya diam dan menghujaninya dengan tatapan yang tajam.

            “Lo jahat!” kata itu keluar dengan lirih dari mulut Vita. Matanya tetap tajam menatap Alvent.

            “Lo jahat sama gue Vent.” Ulangnya lagi.

            “Siapa yang jahat? Coba ulang sekali lagi.” Tantang Alvent. Laki-laki itu mulai mengetahui arah pembicaraan gadis di depannya ini.

            Vita memalingkan pandangannya. Ditekannya kuat-kuat perasaannya kali ini. Ditahannya benar-benar air mata yang ingin menetes ini.

            “Siapa yang jahat? Gue?” tanya Alvent yang memegang rahang gadis itu dan memaksa Vita untuk menatapnya. “Gue?” ulang Alvent setengah berbisik dengan menjajarkan kepalanya dengan kepala Vita.

            Vita tak menjawab. Dia hanya bisa memandangi Alvent dalam diam. Dia benci dengan laki-laki di hadapannya ini.

            “IYA LO YANG JAHAT!” Vita berteriak. Dihempaskannya tangan Alvent yang memegang rahangnya. Nafasnya memburu.

            “Lo boong sama gue. Lo jahat Vent. Gue benci! Kenapa lo nggak bilang kalo kita ini pacaran. Kenapa malah ngehindar? Biar apa?”

            “Gue nggak menghindar. Elo yang menghindar. Gue tanya? Kalo gue bilang kalo gue ini pacar lo apa lo percaya? Elo yang lupa sama gue Vit bukan gue yang lupa sama lo. Apa masih bisa gue dibilang jahat? Sekarang siapa yang jahat? Gue apa elo?”

            Vita mendengar perkataan Alvent dengan sedih. Memang benar dia yang lupa segalanya. Dia melupakaan Alvent. Bahakan sampai saat ini, sampai dia memuntahkan segala amarahnya kepada laki-laki di depannya dia belum ingat sedekat apa hubungan mereka. Tragis.

            “Sekarang yang ada diingetan lo cuma Hendra. Bukan gue. Bahkan nama gue udah nggak punya tempat di memori otak lo. Gue yakin sampe sekarang pun elo juga belum inget siapa gue dengan jelas. Kalo bukan gara-gara kotak yang gue kasih di kamar lo kemaren mungkin sekarang elo nggak bakalan ngomong kayak gini. Gue tau elo cuma sayang sama Hendra.”

            Dipandanginya Vita dalam-dalam. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca. Sedikit terluka di sana. Alvent menggeleng-gelengkan kepalanya dengan senyuman ketir. Dia menemukan jawaban dari mata Vita. Ternyata dugaannya benar. Vita memang belum mengingatnya.

            “Kalo gue cuma sayang sama Hendra kenapa kita pacaran?” tanya Vita dengan telak. Alasan yang tak ingin diungkapakan oleh Alvent. Alasan yang akan menimbulkan luka baru.

            “Kenapa cuma diem? Jawab dong!” paksa Vita yang tak sanggup menahan emosinya lagi.

            “Gue sayang sama elo Vit dan saat gue bilang gitu elo juga jawab kalo lo sayang sama gue.”

            “Terus kalo lo udah tau kalo gue sayang sama lo kenapa lo masih ragu sama gue?”

            Vita menangis di hadapan Alvent. Dia tak tahu mengapa dia dengan bodoh bisa melupakan laki-laki di hadapannya ini. Ditatapnya Alvent yang hanya diam di depannya. Memohon agar Alvent percaya padanya.

            “Kenapa lo ragu sama gue?” tanya Vita sekali lagi. Suaranya beradu dengan isak yang timbul dari bibirnya.

            Alvent balas menatap Vita. Menimbulkan hening yang dalam di antara mereka.

            “Elo mau tau kenapa gue ragu?” tanyanya kepada Vita. “Karna lo lupa saa gue,” lanjutnya lagi tanpa menunggu jawaban dari Vita.

            Alvent mengatakannya dengan jelas. Menatap gadis itu dengan tajam. Menutupi semua perasaan yang bergejolak di hatinya. Membohongi semua akal pikirannya. Dia rindu pada gadis ini, dia rindu walaupun dia tetap tak teringat.

            “Tapi gue bakal berusaha,” ucap Vita seperti memohon. Meluruhkan segala gengsinya demi laki-laki yang bernama Alvent.

            “Gue bakal inget semua tentang lo. Gue janji.”

            “Kapan lo bakal inget? Sampe kapan gue bakal nunggu?”

            Vita terdiam. Dia tak menyangka bahwa kata-kata Alvent akan begitu dingin. Menyayat sampai tak terhitung jumlahnya.

            “Nggak usah maksa. Gue juga udah nggak berharap kalo lo inget lagi. Bagi gue semuanya udah berakhir. Mending sekarang lo pergi dan balik ke Hendra. Gue udah rela.”

            Alvent sadar dengan kata-katanya. Dia sadar dengan efek yang akan timbul setelahnya. Vita akan terluka bahkan dirinya juga akan terluka. Sekali lagi dia melakukan hal yang tak diinginkan.

            “Kalo lo bisa lupa sama gue, gue juga bisa lupa sama lo.” Dingin Alvent mengatakannya kemudian berlalu dari hadapan Vita.

            Vita hanya bisa terdiam di tempat melihat Alvent menjauh darinya. Meninggalkan semua sakit di dadanya. Suara laki-laki itu masih terngiang di otaknya. Suara yang dingin tapi rapuh.

            Gue bakal inget Vent. Walaupun seumur hidup gue cuma habis buat nginet lo bakal gue lakuin.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar