SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Selasa, 25 Desember 2012

Pengorbanan Untuk Cinta #3



            Pengorbanan Untuk Cinta
            Part 3

            ***

            Vita merasa sedikit lebih senang hari ini. Bukan hanya karena dia sudah ikhlas menerima semua yang terjadi juga karena gadis itu bisa kembali ke kampusnya. Menjalani rutinitasnya seperti sedia kala. Walau dia tau ini tak akan berlangsung lama karena setelah semuanya siap gadis itu akan mengasingkan diri dari lingkungannya sekarang.
            “Weh saudari Vita akhirnya muncul juga,” ledek Age sahabat Alvent yang sedang nongkrong di kantin bersama yang lain.
            Vita tersenyum simpul. Dibuntuti Alvent di belakangnya dia ikut nimbrung bersama teman-temannya.
            “Udah lama gue nggak liat lo Vit, tambah subur aja,” sekarang giliran Hendra yang menyela Vita. Maklumlah setelah kejadian yang memilukan itu Vita menghilang dari kampus selama dua minggu.
            “Enak aja lo,” bela Vita sembari melemparkan tisu yang sebelumnya diremas-remasnya. “Gue slim gini dibilang subur.”
            “Slimpitan lemak kali,” cela Hendra lagi yang mengundang tawa di antara mereka. Memang seperti ini suasana jika mereka sedang berkumpul. Pasti ada saja orang yang dibully dan sekarang giliran Vita, mungkin karena mereka rindu dengan sosok Vita yang ceria.
            “Ngaco lu Ndra,” Yana memukul lengan Hendra.
            “Tapi beneran loh Vit elo sekarang gendut deh,” kata Age lagi yang melihat tubuh Vita dari atas ke bawah dan kembali ke atas lagi. “Elo diapain Alvent sampe gendut kayak gini?” tanyanya dengan menatap Vita. Menggoda sahabatnya itu.
            Vita salah tingkah. Jika dihitung-hitung kandungannya memang sudah memasuki usia satu bulan dan itu cukup membuat perubahan bentuk tubuhnya walau sedikit.
            “Kalo ngomong dijaga,” ujar Alvent dingin. entah mengapa dia tak suka dengan ucapan Age walau dia tau jika sahabatnya itu hanya bercanda tapi dia tak ingin sahabat-sahabatnya itu tau jika dia sudah berbuat tak senonoh bersama Vita.
            Vita hanya menatap Alvent yang raut mukanya berubah menjadi dingin. diikutinya Alvent yang duduk di samping Hendra.
            “Emang gue mau ngapain sama dia coba,” kata Vita mencobba menyudahi obrolan tak bermutu itu.
            “Siapa tau elo hamil.”
            Satu pernyataan dari Hendra benar-benar membuat suasana di sana menjadi mencekam. Bagi Hendra dan Age yang tak tau apa-apa mungkin tak merasakannya. Tapi bagi Alvent dan Vita itu benar-benar kalimat yang tak seharusnya diucapkan Hendra. Polosnya keterlaluan.
            Yana menghembuskan nafasnya. Pasrah jika pacarnya ini ternyata benar-benar tak tau kondisi.
            “Jangan didengerin tuh ucapan Hendra, dia kan orangnya suka ngaco. Kalo ngomong nggak difilter dulu,” kata Yana yang berusaha membuat keadaan menjadi lebih baik. “Jangan didenger ya Vit, elo tau kan Hendra kalo akhir bulan gini otaknya agak geser gara-gara duit kirimannya abis?”
            Vita tersenyum lalu mengangguk. Dia tau Yana sedang berusaha membuat semuanya lebih baik.
            “Vit, ikut gue bentar yuk,” ucap Greys yang tiiba-tiba menarik tangan Vita. “Elo, elo dan lo juga ikut sama gue,” lanjutnya lagi sembari menunjuk Pia, Nitya dan Yana bergantian. Dan dalam sesaat kelima sahabat itu menghilang dari kantin.
            Greys baru melepaskan gandengannya saat mereka semua sampai di depan toilet. Ditatapnya Vita dengan seksama seperti saat Age tadi memandangi Vita.
            “Bener kata Age lo sekarang gendut,” katanya kemudia dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
            Vita tersenyum. Dia baru sadar jika di antara mereka hanya Yana yang tau jika dia tak benar-benar menggugurkan janinnya.
            “Iyalah, gimana nggak tambah gendut coba, dia makan mulu kemaren,” seloroh Nitya yang melihat dengan kedua mata kepalanya jika aktivitas Vita selama dua minggu hanya makan dan bermalas-malasan di rumah.
            “Diet ah kak, jelek tau kalo gendut,” timpal Pia yang tak suka melihat Vita menjadi gendut.
            Yana yang mendengar itu semua hanya bisa tertawa. Juga dengan Vita yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
            “Masa orang hamil di suruh diet,” kata Vita dengan mencubit pipi Pia saking gemasnya dia kepada sahabat yang sudah dianggapnya seperti adek sendiri itu.
            “Hamil?” kata Greys, Pia dan Nitya bersamaan. Mereka menghujani Vita dengan tatapan penuh dengan permintaan penjelasan.
            “Iya,” jawab Vita singkat.
            Nitya yang melihat keanehan pada diri Yana langsung menatap gadis berwajah oriental dengan rambut pendek itu tajam. Melihat Yana hanya tertawa saat mendengar Vita hamil dia yakin jika ada yang tak beres dalam diri Yana.
            “Kok lo ketawa sih Na?”
            Yana terkesikap mendengar pertanyaan Nitya, ternyata sahabatnya itu menyadarinya juga.
            “Lo udah tau ya?” tanya Nitya lagi.
            Yana menganggukan kepalanya. “Udah tau dari dua minggu yang lalu.”
            “Curaaangg!!!!” koor Greys, Pia dan Nitya bersamaan. Mereka langsung memukuli Yana dengan segala jurus andalan masing-masing yang membuat Yana hanya bisa meringkuk di tempatnya.
            “Eh udah dong, kasian itu anak orang dikeroyok gitu,” Vita mencoba melerai adegan berantem itu. Tapi bukannya pisah, Vita jadi ikut-ikutan menjadi objek bullyan selanjutnya.
            “Iya salah lo juga, makannya lo harus dihukum,” kata Nitya yang mencoba menggelitiki Vita.
            Dan adegan itu berubah menjadi arena canda tawa. Begitu lepasnya mereka sampai tak tahu jika sedaritadi ada seseorang yang melihatnya. Melihat dan mendengar semuanya dengan jelas. Memperhatikan setiap detil yang terjadi dari jarak yang begitu dekat.
            “Hebat banget!” kata orang itu yang membuat kelima gadis di depannya berhenti tertawa. Menghentikan kebahagiaan mereka. Melenyapkan setiap tawa yang keluar saat melihat siapa orang yang hadir di antara mereka.
            “Ngebohongin aku dan ngebuat aku menjadi sangat bersalah setelah kejadian itu. Hebat!” katanya lagi yang masih menatap kelima gadis di depannya. Tapi matanya sekarang tertuju kepada satu orang di antarnya. Memandang dengan dingin dan tajam pada Vita. Mengunci pergerakan gadis itu.
            “Puas?” tanyanya lagi.
            Vita gemetaran. Alvent tiba-tiba muncul di hadapannya. Rahasianya juga ikut terbongkar saat itu juga. Sia-sia saja jika dia ingin menyanggah.
            “Kamu sekarang ikut aku. Kita pergi ke dukun anak dan gugurin janin itu.”
            Vita terkejut dengan kalimat Alvent. Ternyata Alvent benar-benar ingin melenyapkan janin itu. Melenyapkan calon anaknya.
            “Nggak akan!” kata Vita tegas. Matanya yang berkaca-kaca sedang menandingin tatapan Alvent yang dingin dan penuh amarah itu. “Cukup kemaren dan itu nggak akan terulang lagi.”
            Alvent meradang. Digenggamnya pergelangan tangan kiri Vita dan ditariknya Vita bersamanya. Membawa Vita ikut bersamanya.
            “Nggak mau Vent,” Vita meronta, berusaha lepas dari genggaman Alvent.
            Alvent tak menggubris. Kekuatan gadis itu tak sebanding dengannya. Sekuat apapun Vita mencoba meronta maka sekuat itu juga Alvent akan menahannya.
            “Lepasin Vita!” kata Yana yang ikut berusaha melepaskan tangan Alvent pada pergelangan tangan Vita.
            Alvent mendorong Yana. Membuatnya tersungkur. “Ini masalah gue sama Vita. Jangan ikut campur! Gue peringatin, elo ikut campur sahabat lo ini bakal celaka!”
            Alvent melangkah lagi. Menarik Vita yang sedikit melunak. Meninggalkan Yana, Nitya, Greys dan Pia yang hanya bisa meratapi kepergian mereka.
            “Jangan paksa aku buat buang anak ini,” kata Vita lemah yang membuat Alvent menghentikan langkahnya. Berbalik dan memandang Vita. “Kalo kamu nggak mau akuin nggak papa, aku nggak maksa kamu buat tanggung jawab sama aku.”
            Alvent menyimak perkataan Vita dengan seksama. Ditatanya bola mata Vita yang hitam itu. Tatapan yang penuh dengan permintaan.
            “Enggak!” Alvent menggelengkan kepalanya. Dilepaskan genggaman tangannya dan dipegangnya kedua bahu Vita. “Aku sayang sama kamu. Aku belum siap buat ini semua. Aku mohon gugurin janin itu.”
            Alvent meluruh dihadapan Vita. Memohon dengan segenap jiwanya. Meminta kepada wanita yang dikasihinya ini jika dia benar-benar tak menginginkan keberadaan janin yang berada di perut Vita.
            Vita menggeleng. Pandangannya masih tertuju pada Alvent, air matanya meluruh bersamanya lalu dengan perlahan diturunkannya tangan Alvent yang sedang memegang pundaknya lalu digenggam kedua tangan itu dengan lembut.
            “Aku baik-baik aja tanpa kamu. Percaya. Aku yang milih ini semua. Kamu nggak perlu tanggung jawab.”
            Lalu Vita memeluk Alvent. Lembut dan dalam. Mungkin pelukan yang terakhir kalinya. Ini yang dipilih olehnya. Dia akan melepaskan Alvent untuk melindungi janinnya. Melindungi yang lebih berarti dalam hidupnya. Karena dengan dia memilih janin yang ada di perutnya maka dia juga bisa memiliki Alvent setengahnya. Memiliki Alvent yang akan hidup bersama anaknya kelak.
            “Kalo kamu mau itu aku turutin,” bisik Alvent yang masih mendekap Vita. Ditelungkupkan kepalanya pada pundak Vita. Air matanya meleleh di sana. Membasahi sebagian baju Vita. “Tapi maaf, aku nggak bisa temenin kamu lagi,” bisiknya lagi dengan suara yang parau.
            Vita menangis mendengarnya. Dia tau jika ini akan terjadi.
            “Iya nggak papa, aku tau kok,” balasnya yang semakin erat memeluk Alvent. Merasakan untuk sesaat sebelum semuanya benar-benar berakhir.
            Bersama air mata yang meluruh. Alvent dan Vita memilih jalan masing-masing. Air mata yang menjadi saksi kesedihan jalan yang harus dihadapi keduanya. Takdir yang akan dibuat oleh masing-masing bahwa sekarang mereka tak bisa satu jalan, harus ada yang mengalah walau itu sama-sama akan membuat semuanya terluka.
            Vita mengurai pelukannya lalu menatap Alvent lembut. “Boleh aku minta satu permintaan?”
            Alvent mengusap air matanya lalu mengangguk. “Apa?”
            Vita mengatur nafasnya. “Untuk yang pertama dan terakhir kalinya, aku minta kamu ngusap perut aku dan nyium perut aku,” ujar Vita yang penuh dengan permohonan itu.
            Alvent menutup matanya sesaat lalu menyerahkan tubuhnya kepada bumi. Menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Menjajarkan wajahnya kepada perut Vita yang baru disadarinya mulai membuncit. Diusapnya perut itu dengan pelan lalu diciumnya beberapa menit. Membiarkan wajahnya yang penuh dengan air mata itu jatuh ke dalam perut Vita. Menikmati sesaat sebelum pergi dan melepas tanggung jawab.
            Makasih Vent. Aku bakal pergi dan jaga dia. Aku bakal mencintai anak ini kayak aku mencintaimu.

            ***

            TAMAT

            ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar