SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Jumat, 21 Desember 2012

Sandiwara Cinta #7




Sandiwara Cinta
Part 7

***

            Jika mencintaimu akan menimbulkan luka, aku rela terluka lebih lama.

            Tetesan air turun satu demi satu di depan Alvent. Hanya rintikan hujan yang turun sore itu, menemani Alvent yang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Semuanya masih terekam jelas dalam benak Alvent. Semuanya tanpa terkecuali, tanpa ada yang terlupakan sedikit pun. Semua kejadian yang telah berlalu. Semua yang menguras seluruh tangis dan emosi. Semua yang menenggelamkan segala tawa dan bahagia. Bagaimana gadis itu menangis. Bagaimana gadis itu meminta juga memohon dengan seluruh jiwanya. Bagaima Vita terluka karenanya.

            Alvent menghela nafas panjang. Mencoba mengeluarkan sedikit beban yang terasa semakin berat setelah kejadian itu.

***

            “Ngapain sih Vit?”

            Vita menoleh, baru sadar jika Yana ada di sampingnya. Berdiri bersama di tepi koridor depan kelas mereka.

            “Nggak pa-pa,” jawabnya singkat.

            Yana kembali diam. Tak ingin mencampuri terlalu jauh urusan sahabatnya ini. Walaupun tanpa Vita sadari Yana tau segalanya yang telah terjadi. Tapi sekarang dia hanya ingin berada di samping sahabatnya, hanya untuk mengawasi keadaan Vita, hanya itu tak lebih.

            “Lo pasti tau semuanya kan Yan?” Vita menolehkan kepalanya. Memaksimalkan indera penglihatannya agar bisa menatap mata hitam milik Yana.

            “Tau apaan?”

            Vita tersenyum samar. Sudah menduga jika Yana akan diam. Dialihkan pandangannya. Menerawang jauh ke atas awan. Membayangkan wajah itu lagi. Mencoba mengingatnya sekali lagi.

            “Hubungan gue sama Alvent,” katanya lirih. Luka itu tiba-tiba menyeruak kembali ke dadanya, menimbulkan sakit yang tak terurai.

            Yana terkesikap mendengar perkataan Vita. Melihat nanar pada wajah Vita yang lelah dan pucat. Mungkin sekarang sudah waktunya untuk bercerita. Menjelaskan apa yang dia bisa, mengurangi sedikit luka yang menyakiti Vita.

            “Gue nggak maksa lo buat cerita,” kata Vita yang masih menerawang ke atas.

            Yana terpaku. Menunggu. Memberi sedikit waktu bagi Vita.

            “Gue nggak mungkin bisa nginget semuanya sendiri Yan. Gue butuh orang lain buat bantu nginget dia.”

            Yana menyimaknya dengan bungkam. Ada nada meminta yang keluar dari bibir Vita yang bertolak dengan pernyataannya tadi.

            “Tapi gue tau kondisinya. Ngelakuin apapun juga jadi serba salah. Jadi lo nggak usah ngerasa bersalah karna nggak cerita.” Vita menatap Yana lalu tersenyum, ingin memberitahu Yana dalam bentuk lain jika itu bukan masalah besar, bukan kesalahan yang fatal jika itu semua disembunyikan.

            “Juga karna...” Vita menggantung kalimatnya, mencoba mencari ketegaran dirinya sebelum melanjutkan kalimat itu. “Juga karna Alvent nggak minta gue buat inget dia lagi. Bahkan nggak ngasih kesempatan ke gue buat nginget.” Vita tersenyum getir setelah mengatakn itu. “Dia juga bilang, kalo dia bakalan ngelupain gue kayak gue yang ngelupain dia,” lanjutnya lirih. Vita diam, tertegun sendiri mendengar kalimat yang dia utarakan. Kata-kata yang keluar dari mulut Alvent kemarin. Kata-kata yang begitu menyayat dan menghancurkan hatinya dengan sedemikian rupa.

            Yana memalingkan pandangannya. Menatap pohon yang berdiri dengan angkuh di depannya. Melihat Vita hancur untuk kedua kalinya. Menjadi saksi sakit hati yang begitu dalam membuat Yana sangat bersalah. Dulu air mata itu dikeluarkannya untuk Hendra dan sekarang air mata itu mengalir lagi hanya sekarang beningan itu untuk Alvent.

            “Gue emang tau semuanya.”

            Satu kalimat yang akan membuka semuanya. Menyuarakan segala yang tersembunyi. Mengurai luka satu demi satu.

            “Udah gue tabak,” kata Vita yang masih enggan melihat Yana. Membiarkan Yana begitu saja.

            Yana berbalik. Menyenderkan punggungnya di tepi koridor itu. Menghela nafas. Mempersiapkan segala yang akan terjadi sesudah ini.

            “Gue bakal cerita semuanya.”

            Vita ikut berbalik, menyenderkan punggungnya di samping Yana hingga salah satu bahunya menyentuh bahu kanan Yana. Mengusap air matanya sebelum mendengar segala pengakuan Yana.

            Dengan tenang Yana menceritakan semuanya. Semua kisah yang tak diingat Vita. Mengajak Vita sakit untuk kedua kalinya. Membuat Vita harus menahan segala tangis, emosi dan amarahnya. Semuanya harus dipendamnya keras saat ini. Semuanya dengan jelas diputar oleh Yana. Segala bentuk luka dengan detail. Segala kesenangan yang begitu mudah terlupakan. Segala bentuk cinta yang membuat bahagia dan lara.

            Vita mendengar Yana tanpa menatapnya. Mendengar tanpa bersuara. Mendengar dengan segala bentuk penyesalan yang terjadi. Semua yang dia dengan begitu menyakitkan. Bahkan berkali-kali dia harus membekap mulutnya karna isakan yang keluar terlalu kuat.

            “Dulu Hendra kita jadiin bahan taruhan. Elo menang karna bisa jadiin dia pacar,” kata Yana lalu menatap Vita, meyakinkan gadis itu jika itu benar-benar terjadi. “Tapi lo jatuh cinta beneran sama Hendra,” lanjutnya lagi.

            Vita tersenyum saat mendengar itu. Ternyata dia tak benar-benar jahat.

            “Tapi semuanya terlambat, Hendra keburu tau. Dia marah besar. Elo diputusin saat itu juga. Elo dimaki, diteriakin, disumpahin. Semua yang jelek keluar dari mulut dia buat elo.”

            Vita menekan dadanya. Membekap mulutnya.

            “Hendra pergi tapi elo nerus nahan dia. Elo buntutin dia sampe-sampe elo nggak tau kalo ada mobil. Terus lo ketabrak dan lupa ingatan.”

            Isak tangis Vita membuat bahu gadis itu berkuncang.

            “Terus?”

            Yana kembali bercerita. Mendongengkannya lagi untuk Vita dengan baik. Bagaimana gadis itu bertemu Alvent dan mulai jatuh cinta dengan salah satu bintang kampus mereka saat ingatannya masih hilang.

            “Tapi karma buat lo Vit. Alvent deketin lo cuma karna dia taruhan sama Hendra. Mereka jadiin lo bahan taruhan kayak kita yang jadiin Hendra bahan taruhan dulu.”

            “Ternyata Alvent nggak bener-bener suka sama gue,” sangat lirih Vita bekata, bahkan nyaris berbisik. Pelan tubuh Vita jatuh. Terduduk di lantai.

            “Huffttt,” Yana menghela nafas. Menundukan kepalanya. Meluruhkan badannya ke lantai mengikuti Vita.

            “Elo salah. Sama kayak elo dulu. Alvent beneran cinta sama elo.”

            Vita hanya diam. Tak ada respon yang terpancar dari raut wajahnya. Dia begitu tertegun dengan semua yang diceritakan Yana.

            “Sekarang gue mau tanya sama elo,” kata Yana yang menatap Vita.

            “Apa?” balas Vita yang juga menatap Yana tanpa ekspresi.

            “Siapa yang ada di hati lo sekarang? Hendra apa Alvent?”

            Vita membeku. Matanya tajam menatap Yana, seolah mengatakan bahwa dia tak pantas menanyakan hal itu.

            “Nggak tau. Gue bingung. Tapi gue rasa yang ada di hati gue Hendra.”

            Vita memalingkan pandangannya. Mengatakan itu dengan jelas tanpa ragu. Meyakinkan dirinya sendiri jika memang Hendra yang ada di hatinya.

            “Gue suka sama Alvent waktu gue lupa ingatan dan setelah ingetan gue balik gue lupa semuanya. Berarti Alvent cuma cinta sesaat gue.”

            “Tapi waktu lo dulu lupa ingatan lo nggak pengen tau Hendra lagi. Lo nggak berusaha buat nginget Hendra lagi. Walaupun elo sering ketemu dia di kampus. Tapi sekarang saat lo udah inget lagi, lo lupa sama Alvent. Apa yang lo lakuin? Lo bela-belain cari siapa yang namanya Alvent. Lo bela-belain buat janji sama cowok itu kalo lo bakal inget sama dia lagi.”

            Vita tertegun mendengar penjelasan Yana.

            “Cinta cuma perlu dirasain pake hati, nggak perlu diinget pake otak. Karna pada akhirnya kalo itu emang cinta, sepikun apa pun kita, kita bakal selalu inget sama dia.”

***

            Hendra benar-benar emosi kali ini. Dia begitu marah. Sekarang posisinya telah berubah. Dia sudah tak bisa memegang kendali lagi. Vita sudah tau segalanya. Walaupun bukan dari kesadarannya sendiri. Tapi itu membuat medan perang semakin berbahaya. Sekecil apapun kesalahan akan membuat semuanya kacau, atau bahkan akan mematikan seluruhnya. Mematikan seluruh cinta yang pernah tumbuh di antara mereka semua.

            “Ngomong apa lo sama Vita!” Hendra berteriak di depan Alvent. Berdiri di depan Alvent yang tengah duduk di pinggir lapangan basket.

            “Ck,” Alvent berdecak, malas berurusan dengan orang di depannya ini.

            Emosi Hendra semakin memuncak ketika melihat Alvent tak memberikan respon. “Berdiri nggak lo!” teriaknya lagi, tapi lagi-lagi Alvent menghiraukannya.

            Sikap Alvent yang seperti ini membuat Hendra yakin jika mantan sahabatnya ini memang ingin benar-benar berperang dengannya.

            Hendra langsung bergerak. Ditariknya kaos Alvent hingga laki-laki itu berdiri lalu dipukilanya bertubi-tubi. Meluapkan segala kemarahannya kepada Alvent. Kepada laki-laki yang dicintai Vita. Kepada mantan sahabatnya yang begitu dia benci.

            Alvent masih tetap diam. Menerima semua yang akan dilakukan Hendra.

            Buk. Satu pukulan keras mendarat di pipi kanan Alvent.

            Buk. Satu pukulan lagi menjurus pada perut Alvent yang membuat laki-laki itu terhuyung kebelakang dan jatu.

            “Hosh hosh hosh,” nafas Hendra tersengal-tersengal. Didekatinya Avent yang jatuh tak jauh darinya, lalu diinjaknya perut Alvent. Hendra membungkukkan badannya, mendekatkan wajahnya dengan Alvent.

            “Gue udah bilang sama lo. Jauhin Vita!” katanya dengan berdesis. Hendra menendang Alvent sebelum berlalu dari sana.

            Buk. Satu tendangan mendarat di punggung Hendra dari Alvent yang membuat Hendra tersungkur ke tanah. Sekarang Alvent akan menerima tantangan Hendra.

            Hendra berdiri, menatap Alvent yang ada di depannya. Menatap tajam laki-laki yang penuh luka di badannya.

            “Lo nantangin gue?” tanya Hendra dengan nada penuh amarah.

            Tanpa banyak berkata kedua laki-laki itu adu fisik. Mendaratkan satu pukulan demi pukulan ke badan lawan. Hendra maupun Alvent telah diselubungi emosi, dendam, amarah yang tak bisa dikendalikan. Keduanya hanya memikirkan bagaimana membuat luka pada lawannya. Tanpa memikirkan bagaiman indahnya persahabatan yang pernah terjalin di antara mereka.

            Buk. Satu pukulan terakhir mendarat di perut Alvent dan membuat laki-laki itu tersungkur. Kalah dengan telak.

            “Rasain lo!” desis Hendra yang kemudian meninggalkan Alvent di pinggir lapangan basket. Meninggalkan Alvent yang tetap tersungkur di atas tanah.

***

            Vita menampar Hendra berkali-kali. Dengan penuh tangis dan rasa benci tak henti-hentinya gadis itu menampar bahkan memukuli Hendra.

            “Kenapa lo bunuh Alvent? Kenapa?!” teriaknya dengan histeris. Vita benar-benar benci pada laki-laki di depannya ini. Benar-benar ingin membunuh Hendra sekarang juga jika dia tak ingat bahwa sekarang dia berada di tempat para pembunuh ditahan.

            Hendra hanya diam menerima segala tindakan Vita. Dia rela menerima segala luapan emosi gadis itu.

            “Maaf Vit. Aku nggak sadar waktu ngelakuin itu semua. Aku lagi emosi gara-gara kamu putusin aku karna Alvent. Alvent itu nggak pantes buat kamu.”

            “Terus yang pantes buat gue siapa? Elo? Iya? Gue pantesnya sama pembunuh kaya elo gitu?”

            Hendra kembali diam. Dia hanya bisa diam ketika Vita menyebutnya pembunuh.

            “Gue berdoa semoga Tuhan ngampuni segala dosa-dosa lo!” Lalu Vita pergi dari hadapan Hendra. Meninggalkan Hendra yang kembali harus masuk ruang tahanannya.

***

           Vita menatap gundukan tanah yang masih merah itu. Di bawah sana telah terkubur jasad laki-laki yang dicintainya. Laki-laki yang mencintainya dengan segala keterbatasan yang ada. Sudah tiga hari sejak hari kematian Alvent, Vita selalu berkunjung di sini. Biasanya Vita akan datang ketika sore menjelang. Ketika banyak burung yang pulang ke sarangnya. Gadis itu akan bersimpu di samping gundukan itu hingga sang mentari pulang keperaduannya.

           “Kamu bilang kapan aku inget kamu? Aku inget kamu tiga hari yang lalu. Yah walaupun Yana yang cerita sih, tapi aku langsung inget kamu.”

           Vita diam lagi. Menatap kayu yang tertancap di atas tanah itu. Membaca nama yang tertulis di sana.

           “Alvent Yulianto Candra,” dia mengejanya pelan. “Nama kamu bagus juga ya ternyata,” lanjutnya lagi.

           “Aku cinta sama kamu Vent, tapi aku nggak bisa janji cuma cinta sama kamu. Aku cuma bisa janji kalo aku nggak akan ngelupain kamu, kamu akan aku taruh di sini,” Vita menunjuk dadanya lalu tersenyum. “Separuh hatiku udah jadi milik kamu. Tapi aku minta ijin buat kasih separuhnya buat pendampingku kelak.”

           Vita memandang langit. Menyaksikan matahari tenggelam ketiga kalinya di makan Alvent. Menikmati pemandangan sore yang begitu hening. Dan kali ini air mata Vita keluar lagi. Menangisi kepergian Alvent untuk entah keberapa kali.

           “Aku janji ini air mata yang terakhir.”

           Vita beranjak dari sana. Meninggalkan Alvent yang sudah damai tidur dalam dekapan bumi.

           Walaupun kamu tiada tapi aku akan tetap mencintaimu walau dengan sederhana.

Tamat
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar