SELAMAT DATANG

Ingin mengetahui siapa saya? Ayo, tinggal baca blog saya. Banyak hal yang akan saya bagi disini. Let's fun with me...

Sabtu, 22 Desember 2012

Cinta Diam-Diam



Cinta Diam-Diam

***

            Walaupun hanya bisa memandang, ini sudah cukup membuatku bahagia...

            Yana memandang lapangan basket dari tempat duduknya dengan senyum yang terus mengembang di wajahnya. Hanya sesekali dia mendengarkan kata-kata Pak Wid yang sedang menerangkan tentang medan listrik.
            “Yan, diliatin Pak Wid tuh,” tegur Nitya teman sebangku Yana.
            Gadis itu terkesikap. Dialihkannya pandangan dari lapangan basket ke muka Pak Wid. Objek yang benar-benar berbeda. Mendengarkan penjelasan Pak Wid tentang fisika sungguh membuat bosan dan mengantuk. Baginya seseorang yang ada di lapangan basket sana lebih menarik untuk dijadikan tontonan daripada Pak Wid yang sudah tua.
            “Ngantuk gue kalo harus dengerin Pak Wid ngomong dua jem,” omel Yana dengan menopang kepalanya dengan kedua tangannya.
            Nitya nyengir menanggapi omelan Yana. Bahkan hampir semua penghuni kelas itu terus menguap tanpa bisa dihitung frekuensinya.
            “Enakan ngeliatin Hendra deh, segerrr,” lanjutnya lagi dengan sesekali melirik lapangan basket yang tak jauh dari kelasnya.
            “Itu sih mau lo,” kata Nitya sambil menoyor kepala Yana.
            Yana nyengir setelah ditoyor Nitya. Dipandangnya lagi Hendra yang sedang pelajaran olah raga itu. Hendra, objek yang sangat membahagiakan Yana dalam hidupnya. Laki-laki yang dari awal masuk SMA menarik perhatiannya. Laki-laki yang entah darimana sudah menetap di hati gadis itu.

***

            Aku hanya bisa memandangnya dari jauh, karena cintaku untuknya hanya sekedar cinta diam-diam...

            “Elo betah tuh mendem cinta kayak gitu, udah mau lulus tetep aja ngeliatin doang, deketin kek,” celoteh Nitya kepada Yana pada jam istirahat ini. Gadis kelahiran Bali itu sebenarnya bosen melihat Yana yang hanya bisa mengagumi.
            Yana tak menggubris omongan Nitya. Ada benarnya juga perkataan temannya tadi. Memang sudah hampir tiga tahun dia memendam cintanya. Memberikan tempat khusus bagi Hendra di hatinya. Tapi itu hanya dari Yana. Hanya dari satu pihak.
            “Susah Nit. Apalagi gue cewek, malu tau kalo cewek duluan yang harus maju. Cewek itu takdirnya nunggu bukan ngejar,” kata Yana dengan mengaduk-aduk jus mangga yang ada di hadapannya.
            Nitya menyesap teh botolnya sampai habis lalu memandang Yana.
            “Sekarang udah modern. Nggak ada hukumnya kalo cewek cuma bisa nunggu. Kalo lo mau dapetin cinta, nggak peduli lo cewek atau cowok, lo harus perjuangin, usaha dengan segala cara tanpa rasa malu,” ujarnya memberi nasehat kepada Yana. Menyadarkan temannya itu bahwa cinta yang hanya dipendam akan menimbulkan penyesalan. Karena dia telah merasakannya. Dimana dia dulu pernah memendam cinta.
            “Tapi lo harus tau, cinta yang nggak diungkapin punya sensasi yang lebih,” kata Yana membela diri.
            “Iye tau, papasan dikit aja senengnya tujuh hari tujuh malem. Tapi kalo liat dia ngandeng cewek nangisnya tujuh turunan kali,” ledek Nitya yang kemudian meninggalkan Yana di kantin.
            Yana enggan mengikuti Nitya kembali ke kelas. Walaupun bel masuk sudah berbunyi beberapa detik yang lalu, dia memilih tetap duduk di kursi kantin itu. Ingin sedikit terlambat.

            Gue cuma bisa gini, mencintai dalam diam. Entah sampe kapan, tapi untuk sekarang gue cuma bisa melihat dan merasakannya sendiri.

***
            Aku mencintaimu dalam batas imajinasi tanpa berani mewujudkannya...

            Hendra menggores-goreskan pensilnya di buku tulis matematika bagian belakang. Seorang gadis dengan wajah oriental dan rambut pendek. Senyum yang sama persis dengan aslinya. Semuanya terekam jelas diingatan Hendra dan dituangkannya dalam bentuk sketsa. Entah sudah berapa banyak wajah gadis itu digambar olehnya. Dengan berbagai gaya juga dengan bermacam-macam ekspresi wajah yang sungguh membuat Hendra tersenyum seketika jika melihat sketsa itu.
            “Kalo suka ngomong jangan dipendem.”
            Hendra menoleh, ternyata Bu Endang berada di sampingnya.
            “Enggak bu, cuma iseng,”  Hendra segera menutup sketsa itu dan kembali menyatat materi trigonometri yang berada di papan tulis.
            “Rasain lo,” ledek Age, teman sebangku Hendra setelah Bu Endang berlalu dari tempat duduk mereka. “Tapi bener tuh kata Bu Endang, kalo suka ngomong jangan dipendem.”
            Hendra menoyor kepala Age. “Jangan sok ngajarin.”

***

            Kadang takdir itu lucu, kayak jodoh, udah di depan mata tapi lewat gitu aja...

            Waktu memang berjalan dengan cepat. Siap atau enggak semuanya akan berlalu silih berganti. Seperti sekarang. Untuk Hendra juga Yana yang sedang menunggu kelulusan di halam sekolah mereka. Entah mengapa ada sedikit rasa sedih menyisip di hati mereka. Bagi keduanya, waktu tiga tahun tidak terasa, seperti kemarin baru saja mengikuti MOS tapi sekarang sudah harus meninggalkan bangunan bertingkat tiga itu. Membawa semuanya dalam bentuk kenangan. Juga tentang cinta mereka berdua. Keduanya memendam cinta di sini tanpa berani untuk menunjukannya. Bagi Yana, seorang cewek tak pantas untuk mengungkapkan cinta terlebih dahulu. Bagi Hendra, dia belum cukup mengerti tentang perasaannya ini, tapi yang dia tau untuk sekarang, Yana telah menempati hatinya sejak kelas satu dulu.
            Brukk!!!
            “Sorry,” ucap keduanya bersamaan. Hendra dan Yana saling bertatapan lalu menggumbar senyum diantara keduanya.
            “Sorry, gue buru-buru mau liat pengumuman, katanya udah keluar ya?” ujar Hendra sembari menatap Yana yang baru saja ditabraknya. Untung saja gadis mungil itu tak jatuh ke tanah.
            Yana mengangguk, entah kenapa darahnya berdesir dengan cepat. Hendra ada di hadapannya, sedekat ini. “Iya, tuh ditempel di mading,” lanjutnya dengan tersenyum tanpa sadar.
            “Lulus?”
            “Puji Tuhan.”
            “Wah selamet ya,” kata Hendra sembari menjulurkan tangannya.
            Yana mengangguk lalu menyalami tangan Hendra. Entah mimpi apa yang dialaminya tadi malam.
            “Gue ke sana dulu ya,” ujarnya kemudian meninggalkan Yana.
            Hendra berjalan menuju mading dengan wajah riang. Hari yang sudah sangat lama ditunggunya. Setelah hampir tiga tahun akhirnya dia bisa berbicara dengan gadisnya itu. Menatap dengan sangat dekat. Sungguh itu sudah cukup baginya. Karena terkadang cinta itu perlu pengertian, bahwa tak semua cinta yang terucap akan berakhir bahagia, baginya cinta dalam diam akan abadi.
            Yana menatap punggung Hendra yang menjauh kemudian ikut berlalu dari sana. Berjalan menuju gerbang sekolah, bergabung dengan teman-temannya yang sedang sibuk membubuhkan tanda tangan pada baju sekolah mereka. Yana ikut larut dalam kegembiraan itu. Yana tak menyesal karena dia tetap menyimpan cintanya. Jika memang ini terakhir baginya untuk menatap Hendra, maka dia akan tetap bahagia. Karena segala bentuk cinta adalah kebahagiaan.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar