Cinta
Diam-Diam
***
Walaupun hanya bisa
memandang, ini sudah cukup membuatku bahagia...
Yana memandang lapangan basket dari tempat duduknya
dengan senyum yang terus mengembang di wajahnya. Hanya sesekali dia
mendengarkan kata-kata Pak Wid yang sedang menerangkan tentang medan listrik.
“Yan, diliatin Pak Wid tuh,” tegur Nitya teman sebangku
Yana.
Gadis itu terkesikap. Dialihkannya pandangan dari
lapangan basket ke muka Pak Wid. Objek yang benar-benar berbeda. Mendengarkan
penjelasan Pak Wid tentang fisika sungguh membuat bosan dan mengantuk. Baginya
seseorang yang ada di lapangan basket sana lebih menarik untuk dijadikan
tontonan daripada Pak Wid yang sudah tua.
“Ngantuk gue kalo harus dengerin Pak Wid ngomong dua
jem,” omel Yana dengan menopang kepalanya dengan kedua tangannya.
Nitya nyengir menanggapi omelan Yana. Bahkan hampir semua
penghuni kelas itu terus menguap tanpa bisa dihitung frekuensinya.
“Enakan ngeliatin Hendra deh, segerrr,” lanjutnya lagi
dengan sesekali melirik lapangan basket yang tak jauh dari kelasnya.
“Itu sih mau lo,” kata Nitya sambil menoyor kepala Yana.
Yana nyengir setelah ditoyor Nitya. Dipandangnya lagi
Hendra yang sedang pelajaran olah raga itu. Hendra, objek yang sangat
membahagiakan Yana dalam hidupnya. Laki-laki yang dari awal masuk SMA menarik
perhatiannya. Laki-laki yang entah darimana sudah menetap di hati gadis itu.
***
Aku hanya bisa
memandangnya dari jauh, karena cintaku untuknya hanya sekedar cinta
diam-diam...
“Elo betah tuh mendem cinta kayak gitu, udah mau lulus
tetep aja ngeliatin doang, deketin kek,” celoteh Nitya kepada Yana pada jam
istirahat ini. Gadis kelahiran Bali itu sebenarnya bosen melihat Yana yang
hanya bisa mengagumi.
Yana tak menggubris omongan Nitya. Ada benarnya juga
perkataan temannya tadi. Memang sudah hampir tiga tahun dia memendam cintanya.
Memberikan tempat khusus bagi Hendra di hatinya. Tapi itu hanya dari Yana.
Hanya dari satu pihak.
“Susah Nit. Apalagi gue cewek, malu tau kalo cewek duluan
yang harus maju. Cewek itu takdirnya nunggu bukan ngejar,” kata Yana dengan
mengaduk-aduk jus mangga yang ada di hadapannya.
Nitya menyesap teh botolnya sampai habis lalu memandang
Yana.
“Sekarang udah modern. Nggak ada hukumnya kalo cewek cuma
bisa nunggu. Kalo lo mau dapetin cinta, nggak peduli lo cewek atau cowok, lo
harus perjuangin, usaha dengan segala cara tanpa rasa malu,” ujarnya memberi
nasehat kepada Yana. Menyadarkan temannya itu bahwa cinta yang hanya dipendam
akan menimbulkan penyesalan. Karena dia telah merasakannya. Dimana dia dulu
pernah memendam cinta.
“Tapi lo harus tau, cinta yang nggak diungkapin punya
sensasi yang lebih,” kata Yana membela diri.
“Iye tau, papasan dikit aja senengnya tujuh hari tujuh malem.
Tapi kalo liat dia ngandeng cewek nangisnya tujuh turunan kali,” ledek Nitya
yang kemudian meninggalkan Yana di kantin.
Yana enggan mengikuti Nitya kembali ke kelas. Walaupun bel
masuk sudah berbunyi beberapa detik yang lalu, dia memilih tetap duduk di kursi
kantin itu. Ingin sedikit terlambat.
Gue cuma bisa gini,
mencintai dalam diam. Entah sampe kapan, tapi untuk sekarang gue cuma bisa
melihat dan merasakannya sendiri.
***
Aku mencintaimu dalam batas imajinasi tanpa berani mewujudkannya...
Hendra menggores-goreskan pensilnya di buku tulis
matematika bagian belakang. Seorang gadis dengan wajah oriental dan rambut
pendek. Senyum yang sama persis dengan aslinya. Semuanya terekam jelas
diingatan Hendra dan dituangkannya dalam bentuk sketsa. Entah sudah berapa
banyak wajah gadis itu digambar olehnya. Dengan berbagai gaya juga dengan
bermacam-macam ekspresi wajah yang sungguh membuat Hendra tersenyum seketika
jika melihat sketsa itu.
“Kalo suka ngomong jangan dipendem.”
Hendra menoleh, ternyata Bu Endang berada di sampingnya.
“Enggak bu, cuma iseng,” Hendra segera menutup sketsa itu dan kembali menyatat
materi trigonometri yang berada di papan tulis.
“Rasain lo,” ledek Age, teman sebangku Hendra setelah Bu
Endang berlalu dari tempat duduk mereka. “Tapi bener tuh kata Bu Endang, kalo
suka ngomong jangan dipendem.”
Hendra menoyor kepala Age. “Jangan sok ngajarin.”
***
Kadang takdir itu
lucu, kayak jodoh, udah di depan mata tapi lewat gitu aja...
Waktu memang berjalan dengan cepat. Siap atau enggak
semuanya akan berlalu silih berganti. Seperti sekarang. Untuk Hendra juga Yana
yang sedang menunggu kelulusan di halam sekolah mereka. Entah mengapa ada
sedikit rasa sedih menyisip di hati mereka. Bagi keduanya, waktu tiga tahun
tidak terasa, seperti kemarin baru saja mengikuti MOS tapi sekarang sudah harus
meninggalkan bangunan bertingkat tiga itu. Membawa semuanya dalam bentuk
kenangan. Juga tentang cinta mereka berdua. Keduanya memendam cinta di sini
tanpa berani untuk menunjukannya. Bagi Yana, seorang cewek tak pantas untuk
mengungkapkan cinta terlebih dahulu. Bagi Hendra, dia belum cukup mengerti
tentang perasaannya ini, tapi yang dia tau untuk sekarang, Yana telah menempati
hatinya sejak kelas satu dulu.
Brukk!!!
“Sorry,” ucap keduanya bersamaan. Hendra dan Yana saling
bertatapan lalu menggumbar senyum diantara keduanya.
“Sorry, gue buru-buru mau liat pengumuman, katanya udah
keluar ya?” ujar Hendra sembari menatap Yana yang baru saja ditabraknya. Untung
saja gadis mungil itu tak jatuh ke tanah.
Yana mengangguk, entah kenapa darahnya berdesir dengan
cepat. Hendra ada di hadapannya, sedekat ini. “Iya, tuh ditempel di mading,”
lanjutnya dengan tersenyum tanpa sadar.
“Lulus?”
“Puji Tuhan.”
“Wah selamet ya,” kata Hendra sembari menjulurkan
tangannya.
Yana mengangguk lalu menyalami tangan Hendra. Entah mimpi
apa yang dialaminya tadi malam.
“Gue ke sana dulu ya,” ujarnya kemudian meninggalkan
Yana.
Hendra berjalan menuju mading dengan wajah riang. Hari
yang sudah sangat lama ditunggunya. Setelah hampir tiga tahun akhirnya dia bisa
berbicara dengan gadisnya itu. Menatap dengan sangat dekat. Sungguh itu sudah
cukup baginya. Karena terkadang cinta itu perlu pengertian, bahwa tak semua
cinta yang terucap akan berakhir bahagia, baginya cinta dalam diam akan abadi.
Yana menatap punggung Hendra yang menjauh kemudian ikut
berlalu dari sana. Berjalan menuju gerbang sekolah, bergabung dengan
teman-temannya yang sedang sibuk membubuhkan tanda tangan pada baju sekolah
mereka. Yana ikut larut dalam kegembiraan itu. Yana tak menyesal karena dia
tetap menyimpan cintanya. Jika memang ini terakhir baginya untuk menatap
Hendra, maka dia akan tetap bahagia. Karena segala bentuk cinta adalah
kebahagiaan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar