Pengorbanan Untuk Cinta
Part 2
***
Masih seperti biasa, hari-hari Vita berjalan seperti
tidak terjadi apa-apa. Dimata seluruh anggota keluarga juga teman-teman kampus
tak ada yang berbeda dari sosok Vita Marissa. Masih gadis yang cantik, ceria
juga baik hati. Gadis yang diidolakan oleh lawan jenisnya. Tapi bagi para
sahabatnya tidak ada yang bisa ditutupi oleh Vita. Dia tak pandai berbohong di
depan Yana, Nitya, Greys maupun Pia. Bahkan kata-kata ‘baik-baik saja’ terasa
lebih memilukan daripada keadaan sebenarnya. Menyedihkan.
“Hey,” sapa Vita kepada keempat sahabatnya yang sore ini
datang ke rumahnya.
Pia yang berumur paling muda di antara mereka langsung
menghambur kepelukan Vita setelah si empu rumah membuka pintu. Pia mendekap
Vita erat. Dia hanya ingin seperti ini untuk sekarang. Memeluk sahabatnya yang
sedang melewati masa tersulit dalam hidupnya. Mencoba menjadi sahabat yang
semestinya. Sahabat yang seharusnya ada di kala senang dan susah.
“Yang kuat ya kak,” kata Pia yang masih memeluk Vita. Pia
selalu seperti itu, memanggil yang lain dengan sebutan ‘kak’.
Vita mengangguk. Dan entah dorongan darimana, Nitya,
Greys dan Yana ikut memeluk Vita. Menguatkan salah satu dari mereka. Memberi sandaran
kepada Vita. Lalu setelah itu, tanpa dikomando, semua mengalir begitu saja sore
itu. Seluruh kisah memilukan pada malam itu. Sesuatu yang harus merubah masa
depan Vita. Malam yang terlalu singkat untuk merelakan harga diri. Kenyataan yang
membawa Vita menuju jalan yang benar-benar gelap. Juga tentang sebuah rahasia
yang harus disimpan.
Kempat sahabat itu mendengarkan dengan seksama kata demi
kata yang keluar dari mulut Vita. Cerita yang benar-benar membuat jantung
mereka berdetak dengan frekuensi lebih cepat. Membawa suasana menjadi tegang. Bahkan
Pia harus meremas tangan Yana yang ada di sebelahnya saat Vita menceritakan
bagian dimana dia harus kehilangan kebanggaan dari seorang gadis.
“Jadi gue udah nggak perawan lagi,” kata Vita berat
diakhir cerita. Sesuatu yang sungguh menohok dirinya sendiri. Kenyataan yang
benar-benar tak bisa diulangi lagi.
Setelah kalimat itu suasana menjadi hening. Kelima sahabat
itu sibuk dalam pikiran masing-masing. Greys mengusap air matanya. Yana
memalingkan wajahnya. Nitya menunduk sedangkan Pia menatap Vita yang sedang
melihat langit yang berubah warna dengan semburat jingganya. Vita gadis yang
paling tegas di antara mereka. Seseorang yang paling disegani karena prinsip
hidupnya yang kuat. Tapi semuanya lenyap begitu saja. Menguap tanpa tersisa. Karena
semua itu manusiawi. Hidup tak segampang menulis keinginan di kertas putih, ada
banyak hal yang bisa merubah angan-angan.
***
Kadang hidup itu
susah ya. Udah diperhitungin baik-baik ternyata bisa meleset juga.
Pagi yang tak secerah biasanya. Sedikit awan hitam
menggantung di langit kota Jakarta. Tapi Alvent tak menggubris itu semua. Setelah
memarkirkan mobil hitam kesayangannya, dia berjalan dengan santai di koridor
kampus. Menikmati cuaca Jakarta yang tak begitu panas. Berjalan dengan
bersenandung pelan. Begitu bahagianya dia pagi ini. Semua masalahnya dengan
Vita telah selesai. Tak ada yang perlu dipertanggung jawabkan lagi. Janin itu
telah lenyap dari perut Vita. Jadi sekarang dia bebas. Bisa bermain dan
berpetualang lagi. Senyum simpul menghiasi wajahnya setelah memikirkan hal itu.
Alvent memang terkenal bad boy di
kampus. Anak orang kaya yang senang menghambur-hamburkan uang, mengencani
banyak wanita, penebar harapan-harapan palsu, juga pecandu party. Tapi jika untuk seks bebas, dia bukan tipikal seperti itu. Jika
dia bisa melakukannya dengan Vita, itu memang murni atas dasar cinta. Vita
adalah wanita pertama yang tidur dengannya dan dia memang hanya ingin tidur
dengan Vita dalam hidupnya. Wanita yang benar-benar dicintainya. Tapi cara
Alvent salah. Dia tak tahu bagaimana menghormati wanita yang dicintainya itu. Bahkan
dia tak sadar jika telah membuat Vita benar-benar hancur dengan cinta yang
diberikannya. Hancur, berkeping-keping dan berantakan.
“Heh bajingan!” seorang gadis berteriak di depan Alvent. “Cowok
brengsek!” lanjutnya lagi yang mendekati Alvent. Tapi ada tiga orang lainnya
yang membuntuti gadis itu. Empat orang yang sangat dikenal Alvent. Para sahabat
Vita.
Bug!
Satu tonjokan mendarat di perut Alvent dari Yana.
“Ini buat keperawanan Vita yang ilang,” desis Yana tepat
di depan muka Alvent.
Bug! Sekarang giliran pipi Alvent yang mendapat hantaman
dari Yana.
“Ini buat sikap lo yang pengecut!”
Plak! Tamparan dari Greys di pipi kanan Alvent, tempat
yang sama saat Yana memberi tonjokan tadi.
“Ini buat calon anak yang nggak lo akuin,” kata Greys
setelahnya.
Alvent hanya bisa terdiam di tempatnya melihat Yana dan
Greys yang menjadi liar seperti ini. Walaupun tonjokan dan tamparan tadi tak
begitu keras dan menyakitkan tapi kata-kata yang diucapkan setelahnya membuat
Alvent sedikit bergidik. Pengecut?
“Gue bilangin ya, semua yang terjadi itu nggak murni
kesalahan gue, Vita juga mau kok nyerahin keperawanannya sama gue,” kata Alvent
dingin. sedikit menyanggah dan membela diri. Matanya yang hitam tampak menyala
saat melihat keempat orang di hadapannya.
“Kalo lo mau marah jangan sama gue doang, Vita juga patut
lo marahin. Jadi cewek kok murahan,” lanjutnya lagi yang benar-benar membuat
kumpulan gadis di depannya meradang.
Yana mengepalkan tangannya. Cewek murahan? Vita cewek
murahan?
Bug!
Satu pukulan mendarat lagi di pipi kanan Alvent. Kalo yang
sekarang benar-benar menyakitkan. Pukulan yang penuh dengan rasa amarah. Pukulan
dari Pia yang sejak tadi diam.
“Apa lo bilang? Cewek murahan? Siapa yang cewek murahan?
Vita? Lo emang cowok brengsek ya! Maunya enak doang! Lo nggak mikir gimana jadi
Vita hah? Dia udah kehilangan kesuciannya terus dia harus ngegugurin anaknya
sendiri. Lo manusia apa setan sih bisa kejem kayak gitu! Gue sumpahin lo mandul
seumur hidup!” Pia mengeluarkan sumpah serapahnya. Nafasnya terengah-engah
setalah mengucapkan itu semua. Ditatapnya dengan tajam bola mata Alvent. Menantang
cowok pengecut di hadapannya ini.
“Gue sumpahin lo cepet mati!” sumpah Pia lagi lalu segera
meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat-cepat dengan diikuti Yana dan
Greys di belakangnya.
“Gue nggak mau nakut-nakutin lo, karma itu masih ada
Vent. Ati-ati aja,” kata Nitya sesaat sebelum berlalu bersama yang lain.
Dalam diam Alvent menatap kepergian empat orang sahabat
Vita itu. Menatap punggung-punggung yang begitu setia membuat pagar untuk Vita.
Melindungi salah satu diantara mereka yang sedang terluka. Bahkan badan-badan
itu siap maju menjadi tameng Vita menghadapi cowok egois seperti Alvent.
***
Dengan menelungkupkan badannya di atas tempat tidur, Vita
terus menerus melihat gambar-gambar yang dengan rapi tertempel di album foto
itu. Gambar-gambarnya dari kecil sampai dewasa seperti ini. Senyum yang ada di
gambar itu begitu memilukan jika dilihat. Senyum yang masih ringan, gadis yang
masih polos, gadis yang benar-benar tak tahu betapa kejamnya dunia ini. Dan pada
lembar terakhir ada gambarnya bersama keempat sahabat tercinta. Lalu sebuah
senyum menghias di wajah Vita. Dalam senyum itu Vita memohon kepada Tuhan agar
Dia senantiasa menjaga persahabatan mereka. Melindungi setiap individu yang ada
di dalamnya agar tetap bisa bahagia dengan segala jalan yang dipilih oleh
masing-masing juga dengan jalan yang Vita pilih sekarang.
Vita berbalik. Membaringkan tubuhnya sembari mengelus
perutnya. Janin yang tak jadi dibuangnya. Janin yang berusaha dia lindungi
untuk hidup walaupun dia harus berbohong kepada Alvent.
Kamu jangan takut
ya, kita bakal hidup berdua dengan bahagia, kata Vita dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar